Cerita di Balik Lukisan “Mengungsi” Salah Satu Lukisan Maestro Koleksi Istana Kepresidenan Karya S. Sudjojono

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 4 Februari 2019
Kategori: Opini
Dibaca: 122.250 Kali
S.Sudjojono (1948), Mengungsi (105 X 145 cm)

S.Sudjojono (1948), Mengungsi
(105 X 145 cm)

Oleh: Dr. Kukuh Pamuji *)

Lukisan Sudjojono yang bertajuk “Mengungsi” saat ini menjadi salah satu bagian dari  koleksi lukisan yang menjadi milik Istana Kepresidenan. Sebagian masyarakat pecinta seni tentu sudah mengenal baik lukisan ini. Akan tetapi mungkin hanya segelintir orang saja yang mengetahui latar belakang peristiwa yang mengilhami seorang Sudjojono melahirkan karya yang sangat luar biasa ini.

Pelukis yang memiliki nama lengkap Sindudarsono Sudjojono ini, dilahirkan di Kisaran Sumatera Utara tahun 1913. Orang tuanya merupakan keluarga transmigran yang berasal dari Pulau Jawa, dan bekerja sebagai buruh perkebunan.

Sejak berusia empat tahun, Sudjojono diangkat menjadi anak asuh oleh seorang guru Hollandsch-Inlandsche School (HIS) bernama Yudhokusumo. HIS tempat dimana Djon kecil (panggilan Sudjojono) belajar, merupakan sekolah Belanda  setingkat Sekolah Dasar yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Sekolah ini diperuntukkan bagi bumiputera. Berkat kecerdasan serta bakat yang dimilikinya, maka pada tahun 1925 Yudhokusumo membawanya ke Batavia hingga menamatkan HIS.

Berbagai peristiwa dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia ia alami dan turut aktif ambil bagian di dalamnya. Bersama dengan Agus Djaya, Abdulsalam, Rameli, dan beberapa pelukis yang bekerja untuk bidang reklame di percetakan, Sudjojono membidani lahirnya Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI), dimana ia menjadi sekretaris sekaligus juru bicara. Sedangkan sebagai ketuanya diangkatlah Agus Djaja dengan anggota-anggotanya L. Setijoso, Rameli, Abdulsalam, S. Sudiardjo, saptarita Latif, H. Hutagalung, S, Tutur, Sindusisworo, T.B. Ateng Rusy’an, Syuaib Sastradiwirja, Sukirno, dan Suromo. Wakidi di Padang dan Hendrodjasmoro di Yogyakarta juga merupakan anggota Persagi di luar Jakarta. Sebuah semboyan ekstrim yang dimiliki oleh kelompok ini adalah: “Teknik dalam melukis tidaklah penting. Yang penting isi jiwa ini tumpahkan di atas kanvas”.Karena pengaruhnya yang begitu besar dalam dunia seni rupa, maka tidaklah berlebihan apabila kemudian S.Sudjojono disebut sebagai “Bapak Seni Lukis Indonesia Baru”.

Lukisan Mengungsi dengan gaya realis yang bertahun 194 ini dibuat dengan latar belakang peristiwa bersejarah yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda ke-2 yang terjadi  di Yogyakarta. Peristiwa yang dialami oleh Sudjojono dan keluarganya tersebut kemudian diceritakan kembali oleh isterinya Mia Bustam (yang juga sebagai penulis) dalam buku yang berjudul Sudjojono dan Aku  yang secara sederhana dapat dideskripsikan  dalam paragraf berikut ini.

Dalam rangka kegiatan pameran tunggalnya yang telah direncanakan akan dihelat pada bulan Desember 1948, S. Sudjojono pergi ke Yogyakarta untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Peristiwa  ini terjadi pada tanggal 16 atau 17 Desember 1948, kata Mia Bustam.[1] Lukisan yang seluruhnya berjumlah 45 buah telah disiapkan dengan baik. Lukisan-lukisan tersebut merupakan hasil karya Sudjojono sejak dirinya aktif di PERSAGI, pada masa penjajahan Jepang, lukisan dari Biro Perjuangan dan beberapa lukisan yang dibuat di  Desa Bogem, sebuah desa di kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah yang terletak sekitar satu setengah kilometer di sebelah barat Candi Prambanan (Loro Jonggrang).

Pada tanggal 19 Desember 1948, ketika kehidupan mulai menggeliat dan sebagian warga kota Yogyakarta memulai aktivitasnya, tepat pada pukul 05.00 WIB warga dikejutkan oleh pesawat tempur yang menderu, meraung dan bermanuver di langit kota Yogyakarta. Hanya berselang 5 menit secara sporadis Lapangan Terbang Maguwo dijatuhi bom oleh pesawat Belanda yang datang dari arah barat yang kemudian menimbulkan ledakan-ledakan yang begitu dahsyat.

Belasan pesawat tempur canggih di dunia milik Belanda pada masanya, sengaja datang untuk merebut Yogya. Squadron udara yang terdiri dari pesawat pembom F-51 Mustang, B-25 Mitchell dan P-40L Kitty Hawks tersebut membobardir dan menghujani Maguwo dengan senapan mesin.

Pesawat-pesawat Belanda itu terbang rendah di atas rumah penduduk Yogyakarta. Pada hari itu bertepatan dengan hari Minggu Legi yang merupakan hari pasaran masyarakat Prambanan (Minggu Legi, merupakan hari pasar Prambanan) sehingga pada saat itu suasana di pasar sangat ramai.

Suara ledakan bom yang begitu  dahsyat membuat orang-orang yang berada di pasar Prambanan menjadi geger. Mereka masing-masing berusaha untuk menyelamatkan dirinya, berlarian kalang-kabut dan suasananya menjadi kacau balau. Penduduk desa Bogem tak ketinggalan berbondong-bondong pergi mengungsi menjauhi jalan raya Yogya-Solo menuju ke arah utara. Dalam sekejap suasana di desa Bogem menjadi sepi lengang.

Keluarga Sudjojono tetap tinggal dirumah, karena sang kepala keluarga belum juga kembali sejak kepergiannya ke Yogyakarta. Mia Bustam dan ketiga anaknya (Tedja Bayu, Sri Nasti Rukmawati,  dan Watugunung), bapak dan ibunya, dan sepasang suami-isteri keluarga Nrimo, tetangga yang sering diminta bantuan tenaganya untuk membentu pekerjaan rumah hanya bisa mengemasi semua pakaian dan memasukannya ke dalam kopor tua. Sepanjang malam keluarga ini tidak dapat tidur dan dengan hati cemas menunggu kedatangan mas Djon (panggilan Mia Bustam kepada Sudjojono).

Pada 20 Desember 1948  pagi, di serambi depan rumah sambil menggendong Watugunung Mia Bustam melihat Sudjojono muncul dan setibanya di rumah, ia langsung mengemasi lukisan-lukisannya dalam dua gulungan besar yang kemudian dimasukkannya ke dalam dua tabung terbuat dari seng dan kemudian ditutup rapat. Untuk menyelamatkan lukisan-lukisan itu, pak Nrimo membuat lubang dengan menggali lantai tanah di dalam rumah dan memasukkan dua tabung, beberapa barang pecah-belah dan satu set teko Tiongkok serta barang lain yang tidak akan dibawa mengungsi dan kemudian menimbunnya kembali.

Tanggal 21 Desember 1948 dari arah Prambanan terdengar sayup-sayup suara deru kendaraan lapis baja pasukan tentara Belanda. Meraka datang dengan iring-iringan yang besar. Keluarga Sudjojono segera pergi. Pak Nrimo dengan pikulannya membawa ayunan Gunung yang diisi dengan berbagai buntalan kecil di satu sisi. Sementara di sisi yang lain berisi alat-alat dapur dan ember besar tempat mandi Gunung. Semua membawa barang bawaan masing-masing dengan cara digendong, dipikul, atau dipanggul.

Sudjojono menggandeng Tedja sambil membawa buku sketsanya, Gunung di gendong Mia Bustam, sementara Nasti digendongan neneknya, kepalanya diberi topi dari waskom yang sekaligus berfungsi sebagai helm anti peluru. Mereka dalam satu rombongan menuju ke salah satu desa di sebelah utara Bogem, yang bernama desa Tulung. Di desa inilah Sudjojono kemudian mengabadikan peristiwa yang dialami oleh keluarganya dalam sebuah lukisan yang diberi judul “Mengungsi” yang merupakan “potret” yang menggambarkan bagaimana keadaan keluarga dan para tetangganya ketika berupaya untuk menyelamatkan diri dan mencari tempat yang aman dalam pengungsian menghindari serangan yang dilakukan oleh tentara Belanda.

Dari desa Tulung, pengungsian pun kemudian dilanjutkan dan ketika hari sudah senja rombongan pengungsi ini sampai de desa Kragan. Bersama para pengungsi lainnya, keluarga Sudjojono kemudian beristirahat dan bermalam untuk kemudian pada pagi harinya melanjutkan perjalanan ke arah utara di kaki Gunung Merapi.

Ketika Sudjojono dan keluarganya bermaksud melanjutkan perjalanan, Pak Pawiro yang lebih terkenal dengan panggilan Pak Kami, karena pada waktu itu ia menjabat sebagai Kamituwo Desa (jabatan di bawah lurah/sejajar dengan kepala dukuh) yang lazim terdengar di desa-desa pada masa pendudukan Jepang, menahan dan meminta agar Sudjojono dan keluarganya tinggal bersama mereka dengan pertimbangan bahwa Kragan cukup jauh dari jalan raya dan relatif aman dari kemungkinan-kemungkinan jangkauan patroli tentara Belanda. Di desa inilah  keluarga Sudjojono akhirnya menetap sementara.

Atas jasa baik Pak Pawiromiharjo, Sudjojono dan keluarganya menempati satu buah bilik tersendiri yang terbuat dari gedek dan satu bilik lagi diperuntukkan bagi keluarga mertuanya. Suasana pedesaan dengan hawanya yang bersih dan segar, ditambah dengan suasana persaudaraan yang tulus dan ikhlas menjadikan keluarga Sudjojono dan anak-anak mereka menjadi tumbuh dengan sehat.

Setelah beberapa bulan berada di tempat pengungsian di desa Kragan, akhirnya keluarga Sudjojono bersama satuan-satuan gerilya RI dapat kembali ke kota menyusul ditariknya tentara pendudukan Belanda dari Yogyakarta pada 29 Juni 1949. Bersama keluarganya, Sudjojono akhirnya tinggal di sebuah rumah kecil yang disewanya di tengah kampung Sagan Wetan.

[1] Mia Bustam adalah isteri S. Sudjojono yang dinikahinya pada tahun 1943.

*)Dr. Kukuh Pamuji, S.Pd., M.Pd., M.Hum. adalah Widyaiswara Ahli Madya di Pusdiklat Kementerian Sekretariat Negara.

Opini Terbaru