Diplomasi Indonesia kepada Negara-Negara Berkembang melalui Official Development Assistance (ODA)
Oleh: Lusia Novita Sari *)
Sekilas Sejarah Program ODA Indonesia
Tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Pemerintah Indonesia menerima ODA, khususnya dari Amerika Serikat, Jerman, Prancis, dan Uni Soviet. Meski menjadi penerima ODA, Indonesia sebenarnya juga telah menjadi donor ODA sebagai bagian dari upaya diplomasi di awal kemerdekaan.
ODA, kependekan dari Official Development Assistance, adalah bantuan yang diberikan pemerintah negara donor yang menargetkan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan negara berkembang. ODA identik dengan negara maju diposisikan menjadi donor dan negara berkembang diposisikan menjadi penerima bantuan.
Akan tetapi, sejak tahun 1980-1990-an, seiring dengan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang yang terus meningkat, beberapa negara berkembang tidak hanya menjadi penerima ODA, melainkan juga menjadi donor bagi negara berkembang lainnya, khususnya dalam hal pemberian kerja sama teknik. Berdasarkan laporan OECD Development Cooperation Profiles 2020, OECD telah mengakui beberapa negara berkembang sebagai donor ODA non-tradisional, termasuk Indonesia.
Pada Agustus 1946, Indonesia menyampaikan bantuan beras ke India yang saat itu sedang dilanda bencana kekeringan dan kelaparan. Pada tahun 1955, Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung, dengan dukungan co-sponsor Burma (Myanmar), Ceylon (Sri Lanka), India, dan Pakistan. Bantuan teknik serta sarana dan prasarana yang diberikan Pemerintah Indonesia sebagai tuan rumah dalam persiapan dan pelaksanaan KAA yang dihadiri oleh 29 negara berkembang dapat dicatat sebagai ODA.
Dengan semakin meningkatnya kapasitas Indonesia, khususnya setelah pemulihan ekonomi dari dampak krisis ekonomi Asia tahun 1997/1998, Indonesia semakin memegang peranan kunci dalam politik dan ekonomi internasional. Dalam pidatonya kepada seluruh Kepala Perwakilan RI tahun 2018, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa Indonesia sudah menjadi negara besar dan sudah sepatutnya tidak lagi mencari bantuan negara lain, melainkan mulai membantu negara-negara lain. Diplomasi Indonesia jangan lagi dengan “tangan di bawah” (meminta), melainkan “diplomasi tangan di atas” (memberi). Antusiasme ini diwujudkan melalui pembentukan Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional (LDKPI) pada tahun 2019. LDKPI bertugas melaksanakan pengelolaan dana kerja sama pembangunan internasional (endowment fund) dan dana dalam rangka pemberian hibah kepada pemerintah asing/lembaga asing. Pembentukan LDKPI merupakan perwujudan komitmen Indonesia dalam mendukung dan berpartisipasi secara langsung dalam pembangunan global, khususnya untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial.
Program ODA Indonesia untuk Negara Lain
Dengan masih adanya permasalahan kemiskinan dalam negeri, menyalurkan ODA ke negara lain tentunya menjadi suatu kritik tersendiri. Akan tetapi, praktik mendonorkan ODA ketika masih menjadi negara penerima ODA bukanlah fenomena baru dalam hubungan internasional, dan ini juga dilakukan oleh negara-negara berkembang lainnya, seperti Cina, India, Brazil, dan Afrika Selatan. Bahkan negara-negara di Eropa yang saat ini menjadi negara donor ODA, dahulunya juga adalah negara penerima ODA, melalui Marshall Plan. Norwegia dahulu adalah salah satu negara penerima bantuan Marshall Plan terbesar dari Amerika Serikat, namun kemudian beralih menjadi negara donor ODA dan saat ini Norwegia menjadi salah satu negara pendonor ODA terbesar di dunia.
Memberikan bantuan melalui skema ODA, baik dari sisi politik maupun secara ekonomi, merupakan bagian dari pemenuhan kepentingan nasional. Diplomasi melalui ODA dapat mendukung posisi dan pengaruh negara dalam tatanan politik internasional. ODA juga dapat sejalan dengan diplomasi untuk membuka akses pasar baru bagi perdagangan internasional. Bagaimana dengan kepentingan Indonesia dalam menyalurkan ODA? Hal ini tentunya bisa dilihat dari negara penerima ODA Indonesia.
Negara-negara anggota ASEAN, khususnya Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam, adalah penerima ODA Indonesia, melalui kerja sama teknik dan bantuan humaniter. Manfaat bagi Indonesia menyalurkan ODA ke negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara tidak terlepas dari posisi Indonesia sebagai pemain penting dan pemimpin di kawasan. Selain itu, penting bagi Indonesia untuk menjaga stabilitas keamanan regional. Sebagai contoh adalah bantuan humaniter Indonesia ke Myanmar.
Pendekatan ini juga dilakukan Indonesia ketika terjadi konflik antara Pemerintah Filipina dengan Fron Pembebasan Islam Moro. Saat itu Indonesia berperan aktif menjadi anggota tim monitoring internasional dan turut menyalurkan bantuan humaniter ke Wilayah Otonomi Bangsa Moro.
Indonesia juga aktif memberikan ODA ke Palestina dalam rangka mendukung kemerdekaan Palestina. Selain sentimen keagamaan, ODA ke Palestina juga dipengaruhi oleh semangat untuk menjalankan amanat konstitusi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Indonesia juga mendonorkan ODA ke negara-negara berkembang lainnya di kawasan Asia dan Afrika. Selain karena dipengaruhi oleh hubungan bersejarah Indonesia dengan negara-negara tersebut (melalui Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok), negara-negara di kawasan Asia dan Afrika merupakan pasar penting bagi produk-produk Indonesia. Diplomasi melalui ODA merupakan cara non-tradisional untuk mendorong penetrasi produk Indonesia ke negara-negara tersebut. Sebagai contoh, pada bulan Maret 2022, Indonesia menyalurkan ODA ke Zimbabwe berupa bantuan obat-obatan dan alat kesehatan. Pemberian ODA kepada Zimbabwe ini juga bertujuan untuk membuka kerja sama perusahaan farmasi Indonesia dengan perusahaan farmasi di Zimbabwe dan membuka hub pemasaran produk farmasi Indonesia di wilayah Afrika.
Indonesia juga mendonorkan ODA ke negara-negara Pasifik, seperti Fiji, Vanuatu, Kepulauan Solomon, Papua Nugini, dan sebagainya. Faktor utama menyalurkan ODA ke negara-negara tersebut tidak terlepas dari kepentingan politik untuk menggalang dukungan dan memenangkan hati negara-negara Pasifik terkait gerakan separatis Papua. Secara geografis, Indonesia dekat dengan negara-negara Pasifik. Namun secara politik dan ekonomi, masih ada jarak antara Indonesia dengan negara-negara Pasifik.
Selain memberikan manfaat secara politik untuk menjaga keutuhan NKRI, kebijakan luar negeri melalui ODA juga memberikan manfaat ekonomi. Peningkatan kerja sama teknik di bidang pertanian mendorong ekspor impor Indonesia dengan negara-negara Pasifik. Misalnya, bantuan traktor yang sudah diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada negara-negara di Pasifik ke depannya perlu diarahkan menjadi investasi pembuatan traktor, mengingat kebutuhan negara-negara Pasifik terhadap traktor serta komponennya sudah mulai bergantung pada Indonesia.
Tantangan Program ODA Indonesia
Tantangan pertama adalah terkait koordinasi. LDKPI merupakan badan layanan umum (unit organisasi non-eselon) di bawah Kementerian Keuangan, yang fungsi utamanya adalah melaksanakan pengelolaan dana investasi pemerintah yang dialokasikan pada dana kerja sama pembangunan internasional. Sementara apabila berbicara tentang ODA, tidak hanya menyangkut uang/dana, melainkan juga terkait dengan bantuan humaniter dan kerja sama teknik. Pelaksanaan kerja sama teknik masih tersebar di kementerian/lembaga lain yang memerlukan pengkoordinasian.
Berdasarkan praktik di negara-negara lain, lembaga pengoordinasi ODA berdiri sebagai lembaga mandiri atau berada di bawah koordinasi Kementerian Luar Negeri. Sebagai contoh, (i) Amerika Serikat mengelola ODA di bawah United States Agency for International Development (USAID) yang merupakan lembaga mandiri; (ii) Australia mengelola ODA melalui Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT); (iii) Inggris mengelola ODA melalui Foreign, Commonwealth & Development Office (FCDO); (iv) Brazil mengelola ODA melalui Agência Brasileira de Cooperação (ABC) yang merupakan sub-organisasi dari Ministry of External Relations; (v) India mengelola ODA melalui Development Partnership Administration (DPA) yang bertanggung jawab kepada Ministry of External Affairs (MEA); (vi) dan Afrika Selatan mengelola ODA melalui Department of International Relations and Cooperation (DIRCO). Oleh karena itu, tentunya menjadi tantangan tersendiri bagaimana mengoordinasikan program-program LDKPI dengan program kerja sama teknik Kementerian Luar Negeri dan kementerian/lembaga lainnya.
Tantangan pertama tersebut mempengaruhi tantangan kedua, yaitu menyinergikan LDKPI ke dalam program nasional dan kebijakan luar negeri Indonesia. Meski sejak pendiriannya LDKPI sudah menyalurkan ODA ke beberapa negara, namun keberadaan LDKPI belum tercermin dalam prioritas dan masih belum optimal disinergikan ke dalam program nasional yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri, antara lain Presidensi Indonesia di G20 dan keketuaan Indonesia di ASEAN.
Selama ini komitmen ODA negara-negara anggota ASEAN hanya dikaitkan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Centre). Dibandingkan dengan negara berkembang lainnya di kawasan lain, seperti India, Brazil, dan Afrika Selatan, inisiatif kerja sama ODA Indonesia belum seagresif ketiga negara tersebut. India, Brazil, dan Afrika Selatan sudah menginisasi kerja sama ODA lintas kawasan melalui pembentukan India, Brazil, and South Africa (IBSA) Dialogue Forum pada tahun 2003 dan meluncurkan IBSA Facility for Poverty and Hunger Alleviation Fund sebagai mekanisme bersama menyalurkan ODA ke negara berkembang lainnya.
Tantangan ketiga, terkait hubungan kerja sama dengan negara donor Indonesia. Ketika Indonesia menjadi donor ODA, maka sangat mungkin mempengaruhi hubungan Indonesia dengan negara donor Indonesia. Donor akan cenderung menargetkan ODA ke negara-negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan indikator pembangunan manusia rendah. Dengan Indonesia mulai semakin aktif mendonorkan ODA, tentunya hal ini dapat berpengaruh pada sikap negara yang mendonorkan ODA ke Indonesia.
Tantangan keempat, sebagai tantangan yang paling penting untuk dihadapi adalah terkait monitoring dan evaluasi. Selama ini data mengenai ODA Indonesia tersebar di realisasi belanja beberapa kementerian/lembaga. Meskipun telah terjadi kemajuan signifikan terkait pelaporan ODA semenjak adanya LDKPI, pelaporan ODA yang selama ini ada baru sebatas sisi materiil saja (berapa dan apa yang sudah didonorkan), belum komprehensif, khususnya terkait bagaimana implikasi ODA yang disalurkan terhadap kepentingan Indonesia, dan sejauh mana ODA yang disalurkan Indonesia dapat membantu peningkatan taraf hidup masyarakat di negara penerima. Hal ini mungkin disebabkan karena Indonesia belum memiliki mekanisme untuk me-monitor dan mengevaluasi ODA.
Oleh karena itu, Indonesia tidak bisa sekadar konsisten mendonorkan ODA setiap tahunnya. Apabila Indonesia menginginkan performanya sebagai negara donor ODA semakin baik dan mendapatkan pengakuan internasional, maka tantangan-tantangan tersebut harus mendapat perhatian, khususnya bagaimana memperkuat mekanisme monitoring dan evaluasi untuk menjamin efisiensi dan efektivitas ODA bagi kepentingan nasional dan memberikan manfaat bagi negara penerima.
—
*) Kepala Subbidang Hubungan Bilateral Afrika dan Timur Tengah, Asisten Deputi Bidang Hubungan Internasional, Kedeputian Polhukam, Setkab