Disahkan Presiden Jadi UU No. 11 Tahun 2016, Inilah Pokok-Pokok UU Pengampunan Pajak

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 18 Juli 2016
Kategori: Berita
Dibaca: 58.162 Kali
Presiden Jokowi saat sosialiasi pengampunan pajak, di Grand City Convention Center, Surabaya, Jatim, Jumat (15/7) malam. (Foto: Oji/Humas)

Presiden Jokowi saat sosialiasi pengampunan pajak, di Grand City Convention Center, Surabaya, Jatim, Jumat (15/7) malam. (Foto: Oji/Humas)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 1 Juli 2016 lalu telah mengesahkan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty, yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR-RI pada Selasa (28/6) lalu, sebagai Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

Dalam UU itu ditegaskan,  bahwa Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Menurut PP ini, setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak, yang diberikan melalui pengungkapan Harta yang dimilikinya dalam Surat Pernyataan.

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud, yaitu Wajib Pajak yang sedang: a. dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan; b. dalam proses peradilan; atau c. menjalani hukuman pidana, atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

“Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud meliputi pengampunan atas kewajiban perpajakan sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang belum atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh Wajib Pajak,” bunyi Pasal 3 ayat (4) UU ini.

Sementara tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diinvestasikan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling singkat 3 (tiga) tahun terhitung sejak dialihkan, adalah sebesar:

  1. 2% (dua persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku;
  2. 3% (tiga persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak UndangUndang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan
  3. 5% (lima persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.

Adapun tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebesar:

  1. 4% (empat persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku;
  2. 6% (enam persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak UndangUndang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016;

dan c. 10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.

Tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada Tahun Pajak Terakhir, menurut UU Nomor 11 Tahun 2016 ini, adalah sebesar: a. 0,5% (nol koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan; atau b. 2% (dua persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan, untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.

Ke Menteri

Menurut UU ini, untuk memperoleh Pengampunan Pajak, Wajib Pajak harus menyampaikan Surat Pernyataan kepada Menteri. Surat Pernyataan ini harus ditandatangani oleh: a. Wajib Pajak orang pribadi; b. pemimpin tertinggi berdasarkan akta pendirian badan atau dokumen lain yang dipersamakan, bagi Wajib Pajak badan; atau c. penerima kuasa, dalam hal pemimpin tertinggi sebagaimana dimaksud pada huruf b berhalangan.

Dalam hal Wajib Pajak bermaksud mengalihkan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud, menurut UU ini, Wajib Pajak harus mengalihkan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menginvestasikan Harta dimaksud di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat selama jangka waktu 3 (tiga) tahun.

UU ini juga menyebutkan, Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan dan menginvestasikan Harta sebagaimana dimaksud harus mengalihkan Harta dimaksud melalui Bank Persepsi yang ditunjuk secara khusus untuk itu paling lambat: a. tanggal 31 Desember 2016 bagi Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan dan menginvestasikan Harta; dan/atau tanggal 31 Maret 2017 bagi Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan dan menginvestasikan Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) huruf b.

“Jangka waktu investasi paling singkat 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud terhitung sejak tanggal dialihkannya Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” bunyi Pasal 12 ayat (2) UU ini.

Investasi sebagaimana dimaksud dilakukan dalam bentuk: a. surat berharga Negara Republik Indonesia; b. obligasi Badan Usaha Milik Negara; c. obligasi lembaga pembiayaan yang dimiliki oleh Pemerintah; d. investasi keuangan pada Bank Persepsi; e. obligasi perusahaan swasta yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan; f. investasi infrastruktur melalui kerja sama Pemerintah dengan badan usaha; g. investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh Pemerintah; dan/atau h. bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal Wajib Pajak telah memperoleh Surat Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, menurut UU ini, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud.

Sementara dalam hal: a. Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pernyataan sampai dengan periode Pengampunan Pajak berakhir; dan b. Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta Wajib Pajak yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud, paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak UndangUndang ini mulai berlaku.

“Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan dan ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar,” bunyi Pasal 18 ayat (3) UU No. 11 tahun 2016 itu.

UU ini juga menegaskan, bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 25 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada tanggal 1 Juli 2016 itu. (Pusdatin/ES)

Berita Terbaru