Dorong Petani Ubah ‘Mindset’, Presiden Jokowi: Swasembada Pangan Tidak Bisa Instan

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 19 Maret 2019
Kategori: Berita
Dibaca: 19.220 Kali
Presiden Jokowi berfoto bersama peserta Rakornas dan Diskusi Nasional HKTI, di halaman Istana Negara, Jakarta, Selasa (19/3) sore. (Foto: JAY/Humas)

Presiden Jokowi berfoto bersama peserta Rakornas dan Diskusi Nasional HKTI, di halaman Istana Negara, Jakarta, Selasa (19/3) sore. (Foto: Jay/Humas)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengemukakan, meskipun 4,5 tahun ini pemerintah berkonsentrasi dan fokus pada pembangunan infrastruktur, termasuk di antaranya berupa jalan-jalan produksi menuju ke kebun, menuju ke sawah lewat anggaran dana desa, namun swasembada pangan tidak bisa dilakukan secara instan.

“Kalau orang menginginkan langsung bisa swasembada, bisa langsung ketahanan kita meloncat baik, kedaulatan pangan kita langsung sehari-dua hari balikkan tangan jadi, tidak akan mungkin seperti itu. Perlu proses, perlu tahapan-tahapan,” kata Presiden Jokowi saat memberikan sambutan pada pembukaan Rapat Koordinasi dan Diskusi Nasional Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), di Istana Negara, Jakarta, Selasa (19/3) sore.

Presiden Jokowi memberi contoh saat 2014 berkunjung ke Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), untuk melakukan panen raya jagung. Yang terjadi di sana, meskipun jagungnya bagus-bagus, ia justru dimarahi para petani karena harga jagung saat itu justru jatuh pada harga Rp1.400-Rp1.600 per kg, sementara ongkos produksi mencapai Rp1.800/kg.

“Kalau memang produksi per hektarnya bagus namun harganya jatuh untuk apa,” ungkap Presiden.

Setelah melakukan pengecekan, menurut Presiden, jatuhnya harga jagung saat itu karena impornya gede banget, hampir 3,6 juta ton. Karena itu, Presiden lantas mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) yang menetapkan Harga Pokok Penjualan (HPP) jagung saat itu menjadi Rp2.700/kg, dengan harapan dengan harga itu petani sudah untung, dimanapun karena kita ambil rata-rata di semua daerah.

Namun Presiden justru kaget karena harga justru bisa di atas Rp3.000, di atas Rp3.500, bahkan pernah di atas Rp4.000, di atas Rp5.000. Karena impor jagungnya oleh Menteri Pertanian langsung direm total. “Data yang saya punyai, di 2018 kemarin impor kita hanya 180.000 ton. Sebelumnya 3, hampir 3,6 juta ton,” ujarnya.

Artinya apa? Menurut Presiden Jokowi, produksi petani itu semakin melonjak naik karena memang harganya memungkinkan petani untuk dapat keuntungan. Sebelumnya Rp1.600, siapa yang mau nanam kalau hanya untuk rugi. Akhirnya, pemerintah impor.

“Tapi seperti ini memerlukan proses,” tegas Presiden Jokowi seraya menyampaikan harapannya, agar proses treatment pada jagung ini juga bisa dilakukan pada komoditas-komoditas yang lainnya, terutama yang banyak kita impor.

Namun Presiden mengingatkan, bahwa sampai 2011 awal kita baru memiliki 235 waduk, atau hanya bisa mengairi 11 persen sawah dan kebun. Kalau ditambah dengan selesainya pembangunan 65 waduk baru tahun ini, menurut Presiden, hanya akan menambah suplai air menjadi 20 persen.

“Masih jauh sekali kita ini. Jadi jangan membayangkan ketahanan pangan, kedaulatan pangan, swasembada kalau ini belum terselesaikan. Ini urusan waduk lho. Dan kita harus berani ini, harus berani investasi di sini,” tutur Kepala Negara.

Ubah ‘Mindset’

Dalam kesempatan itu Presiden Jokowi mengajak para petani untuk merubah mindset, mengubah pola pikir bahwa keuntungan di pertanian juga di perkebunan yang paling besar itu justru di paska panennya. Diproses penggilingannya kalau padi misalnya, diproses packaging-nya, kemasannya. Kemudian diproses menjualnya untuk ke pasar.

Untuk itu, Kepal Negara mengajak para petani yang tergabung dalam HKTI  agar mulai berpikir ke paska panennya, misalnya, RMU, rice milling unit beserta seluruh perangkat kemasan, membuat brand labelnya, namanya. Sehingga packaging itu betul-betul sebagai sebuah produk yang memang layak untuk langsung dipasarkan di hipermarket, di supermarket, di minimarket.

“Ini saya lihat mulai, sudah mulai di dalam 4 tahun ini mulai kita arahkan ke sana. Dan memang perbankan ini harus berperan,” ungkap Kepala Negara.

Problemnya sekarang, lanjut Presiden, pembelian RMU untuk kemasan, dryer, itu memang perlu dukungan dari perbankan. Ia meminta agar bank-bank negara seperti BRI, Mandiri, BTN, dan BNI memberikan support sebanyak-banyaknya sesuai dengan kebutuhan di lapangan.

Namun Presiden Jokowi juga mendorong para petani untuk mengkoorporasikan. “Jadi petani itu membuat korporasi, bukan koperasi, korporasi. Isinya bisa koperasi, bisa kelompok-kelompok tani tapi dalam jumlah yang besar. Kemudian ambil RMU, dryer, packaging semuanya ada, berikan ke bank. Sudah, suruh biayai. Balik itu dalam 2-3 tahun,” tutur Presiden seraya menambahkan, korporasi itu harus dikelola dengan manajemen yang bagus.

Tampak hadir dalam kesempatan itu antara lain Mensesneg Pratikno, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Ketua Badan Pertimbangan HKTI Oesman Sapta, dan jajaran pengurus HKTI. (FID/JAY/ES) 

Berita Terbaru