Esensi Hubungan Internasional dan Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia
Oleh: Enggartias Wahana Putera, S.Sos.*
Dalam hubungan internasional terdapat tiga esensi yang membentuk suatu hubungan internasional, yaitu actors, interests, dan power. Tiga esensi tersebut yang nantinya akan membentuk suatu interaksi dalam suatu kesatuan dan menjalankan suatu sistem hubungan internasional.
Proses interaksi yang dimaksud dalam hubungan internasional adalah bagaimana dapat berjalannya sistem hubungan internasional dengan wujud menjalin kerja sama antara pihak-pihak terkait untuk mencapai suatu keputusan. Proses Interaksi yang begitu dinamis sehingga memunculkan banyak permasalahan-permasalahan selayaknya interaksi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Proses Interaksi dapat dikatakan baik, apabila pihak-pihak terkait mencapai kesamaan tujuan yang saling menguntungkan. Sebaliknya, proses interaksi yang tidak berakhir dengan baik apabila tidak mencapai titik temu (max demands) dalam sebuah interaksi.
Esensi pertama dalam hubungan internasional adalah actors. Actors merupakan pelaku-pelaku dalam hubungan internasional, yang terbagi menjadi dua macam: negara (state) dan non-negara (non-state). Negara bisa dikatakan sebagai actor utama dalam interaksi hubungan internasional, karena memiliki kekuasaan untuk menentukan kebijakan-kebijakan dalam mempertahankan kepentingan nasionalnya. Selain itu, negara merupakan entitas yang diakui keberadaannya sebagai negara yang berdaulat.
Dalam perkembangannya, muncul actors yang mempunyai peranan tersendiri dalam hubungan internasional seperti halnya negara, yaitu non-negara. Dalam pelaksanaannya terdapat tiga hal yang harus dipenuhi oleh pelaku agar bisa dikatakan sebagai non-negara, yaitu memiliki interaksi, pengaruh, dan kapasitas. Yang termasuk dalam non-negara adalah Intergovernmental Organizations (IGO’s), Non Governmental Organizations (NGO’s), Multinational Corporations (MNC’s), Intrastate Governmental Organization, Intrastate Non-Governmental Organization, dan individu atau masyarakat dunia. Meskipun non-negara merupakan ‘pelaku pendukung’ terhadap actors utama (negara), namun dalam praktiknya non-negara mempunyai peranan dalam memberi pengaruh terhadap negara dalam menentukan sikap dan pengambilan keputusan.
Esensi kedua dalam hubungan internasional adalah Interests. Interests adalah kepentingan yang harus diperjuangkan oleh actors agar dapat memenuhi kebutuhannya. No interaction without interests atau tidak akan ada interaksi jika tidak ada kepentingan. Kepentingan disini adalah tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan tuntutan actors untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini dikarenakan tidak ada actors yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, sehingga membutuhkan interaksi (dengan actors lain) untuk memenuhi kebutuhannya.
Esensi yang terakhir dalam hubungan internasional adalah power. Power merupakan kekuatan yang dimiliki actors dalam hubungan internasional. Contoh power yang dimiliki actors seperti kekuatan militer, politik, ekonomi, populasi, sumber daya alam. Setiap actors akan selalu berupaya untuk memaksimalkan posisi kekuatan (power) relatifnya dibandingkan actors lainnya atau setidaknya tercipta balance of power.
Pada prinsipnya ketiga esensi ini saling terkait dan tidak bisa dihilangkan salah satunya dalam hubungan internasional. Namun demikian, dari ketiga esensi tersebut, power mempunyai peranan cukup penting dalam hubungan internasional. Sebab power merupakan suatu bentuk nilai tawar (bargaining value) bagi actors untuk mempertahankan interests agar dapat memenuhi kebutuhannya.
Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia Bebas-Aktif Dalam Hubungan Internasional
Membicarakan peran indonesia dalam hubungan internasional tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan politik luar negeri Indonesia, yaitu politik luar negeri bebas-aktif. ‘Bebas’ menurut Guru Besar Hukum Internasional Mochtar Kusumaatmadja berarti Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa, sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila. Sementara ‘aktif’ berarti di dalam menjalankan kebijakan luar negeri, Indonesia tidak bersifat pasif-reaktif atas kejadian internasionalnya, sebaliknya bersifat aktif.
Keterkaitan antara kebijakan politik luar negeri Indonesia bebas-aktif dan tiga esensi dalam hubungan internasional akan membentuk suatu identity (identitas) dalam sistem hubungan internasional. Identitas inilah yang akan digunakan Indonesia sebagai karakter dan jati diri negara, serta menjadi pembeda antara Indonesia dengan actors lainnya. Ditambah dengan kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif akan menjadikan Indonesia terlepas dari sifat ketergantungan terhadap satu actors saja. Sehingga Indonesia dapat lebih fleksibel dalam menjalankan perannya dalam hubungan internasional dengan mengimplementasikan tiga esensi yang sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Dalam hubungan internasional, Indonesia merupakan actors yang melaksanakan perannya yang berdasarkan kebijakan politik luar negeri bebas-aktif. Kemudian dapat diartikan Indonesia sebagai actors yang mempunyai hak untuk menentukan arah kebijakan, sikap, dan keinginannya sebagai negara yang berdaulat untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam hal ini Indonesia tidak dapat dipengaruhi oleh kebijakan politik luar negeri negara lain.
Dalam pelaksanaannya, Indonesia menjalankan politik luar negeri bebas-aktif bertumpu pada ideologi Pancasila dan landasan konstitusional UUD 1945 yang merupakan dasar hukum tertinggi negara Indonesia. Pancasila sebagai landasan ideologi Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai pedoman Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya dalam hubungan internasional. Sementara, kepentingan nasional Indonesia secara umum sudah tercantum dalam UUD 1945. Dalam konstitusi tersebut, kepentingan nasional Indonesia adalah sebagai berikut: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Selain itu, kekuatan nasional juga harus menjadi perhatian Indonesia untuk dijadikan bargaining value agar dapat memenuhi kepentingan nasionalnya. Indonesia perlu mempertimbangkan beberapa faktor untuk dijadikan kekuatan nasional, antara lain kekuatan militer, politik, letak kondisi geografis, jumlah dan kualitas penduduk, ekonomi dan sumber daya negara, serta ideologi negara. Kekuatan nasional yang dimiliki Indonesia nantinya untuk membantu jalannya proses hubungan internasional, karena dari esensi khususnya power inilah dapat dilihat sukses atau tidaknya suatu interaksi berlangsung. Setiap actors memiliki kekuatan yang berbeda, semakin besar kekuatan suatu actors tentunya akan semakin mudah actors tersebut menggunakan kekuatannya untuk berkuasa dalam konteks hubungan internasional.
Sebagai contoh sederhana adalah krisis yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan (LTS). LTS menjadi di kawasan sengketa yang melibatkan Tiongkok dan negara-negara ASEAN yang berbatasan langsung dengan kawasan LTS. Indonesia yang juga masuk dalam sengketa tersebut, mengambil langkah tegas untuk mempertahankan kedaulatan wilayah Republik Indonesia, dengan mengganti nama perairan LTS yang masuk wilayah Indonesia menjadi Laut Natuna Utara pada Juli 2017. Selain itu, Indonesia menempatkan kekuatan militernya di Pulau Natuna dan sekitar kawasan perairan Natuna. Langkah agresif tersebut terus dilakukan Indonesia, meskipun mendapat seruan dari Tiongkok agar Indonesia membatalkan rencana pergantian nama kawasan perairan LTS dan mengurangi konfrontasi militer di wilayah tersebut.
Melihat contoh sederhana tersebut, dapat menggambarkan Indonesia memainkan perannya dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya, dan mengerahkan power dalam hal ini adalah kekuatan militernya untuk mempertahankan kedaulatan wilayah Republik Indonesia. Serta tidak terpengaruh terhadap kebijakan luar negeri Tiongkok yang merupakan salah satu kekuatan dunia.
*) Staf pada Sekretariat Kabinet, pernah menempuh studi Sarjana Hubungan Internasional.