Firmanzah: Ditekan AS, Eropa dan China, Rupiah Masih Akan Melemah
Melemahnya nilai tukar mata uang Rupiah yang menembus batas psikologis sebesar Rp 12.030 per dollar AS pada Kamis (18/9) lalu, sebelum mengalami sedikit penguata pada Jumat (19/9) menjadi Rp 11.985, merupakan imbas dari kebijakan n Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed untuk meneruskan penghentian stimulus moneter, dan respon Bank Sentral Eropa (European Central Bank-ECB) bersama Bank Sentral Jepang dan Bank Sentral China dalam mempertahanan perekonomian di negara masing-masing.
Pelemahan nilai tukar mata uang ini merupakan gejala global sebagai imbas keputusan Bank Sentral Amerika Serikat The Fed mengurangi likuiditas global melalui pengurangan sampai pada akhirnya tercapainya program penghentian stimulus moneter atau yang disebut sebagai Quantitative Easing (QE) III, kata Firmanzah di Jakarta, Seni (22/9) pagi
Disampaika Firmanzah, selain aspek-aspek dalam negeri, dua tekanan yang berlawanan arah dipastikan akan menciptakan ketidakpastian di pasar keuangan baik dalam jangka pendek dan menengah terhadap nilai tukar rupiah.
Kedua tekanan itu adalah keputusan The Fed meneruskan quantitative easing (QE) III, dan upaya Bank Sentral Eropa (European Central Bank-ECB) bersama Bank Sentral Jepang dan Bank Sentral China untuk mempertahankan dan bahkan menambah likuiditas untuk menggairahkan perekonomian di kawasan tersebut.
Inilah faktor utama yang menyebabkan pelemaha nilai tukar mata uang di hampir mayoritas emerging-market, papar Firmanzah seraya menyebutkan, pada sesi perdagangan minggu lalu (minggu ke-3 September) hampir semua mata uang di negara-negara Asia mengalami depresiasi.
Ia menjelaskan, .keputusan The Federal Open Market Committee (FOMC) terkait dengan tahapan pengakhiran QE-III dan pengakhiran suku bunga murah, dengan melakukan pemangkasan pembelian obligasi yang menyisakan 25 milyar dollar AS ini (bulan ini 10 milyar dollar AS, dan pada bulan Oktober sebesar 15 milyar dollar AS) ditambah dengan optimisme perkembangan ekonomi AS, telah mendorong sentimen penguatan mata uang dollar AS terhadap mata uang negara-negara lain termasuk dengan Rupiah.
Di sisi lain, lanjut Firmanzah, ekonomi-ekonomi besar seperti Eropa, Tiongkok dan Jepang justru mengalami persoalan likuiditas yang mendorong kebijakan menempuh Quantititve Easing. Bank Sentral Eropa meluncurkan Targeted Long Term Refinancing Operations (TLTROs) dengan memberikan pinjaman murah kepada industri perbankan di kawasan Euro dengan nilai sebesar 400 miliar euro (518 miliar dollar AS).
Sedangkan Bank Sentral China mengeluarkan stimulus sebesar 81 miliar dollar AS pada 5 bank BUMN terbesar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi China. Sementara itu Bank of Japan akan mempertahankan stimulus ekonominya untuk menghindari tekanan deflasi yang lebih dalam.
Kondisi ini juga dapat menjelaskan bahwa prospek perekonomian di ketiga wilayah tersebut masih memerlukan waktu untuk mencapai target-target pemulihan ekonomi seperti yang diharapkan, ujar Firmanzah.
Karena itu pula, menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu, tidak mengherankan jika setidaknya hampir seluruh mata uang di Asia melemah terhadap dollar pada sesi perdagangan minggu ketiga September 2014. Negara-negara yang mengalami pelemahan nilai tukar itu di antaranya Malaysia, Korea Selatan, Filipina, Jepang, Thailand, Singapura, Taiwan dan juga Indonesia.
Harus Diantisipasi
Firmanzah yang juga Staf Khusus Presiden bidag Ekonomi dan Pembangunan itu mengingatkan pejabat terkait di Indonesia agar melakukan antisipasi yang maksimal terhadap rencana pengakhiran QE III di AS dan masih berkontraksinya ekonomi zona Euro, Tiongkok dan Jepang.
Ketidakpastian dan volatilitas pasar keuangan dunia masih akan terjadi baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah. Dampak dari tekanan eksternal telah kita rasakan bersama saat ini dan dapat dipastikan gelombang ketidakpastian masih akan terus terjadi, tutur Firmanzah.
Untuk memitigasi akan pengaruh ketidakpastian eksternal, menurut Firmanzah, prinsip kehati-hatian dan kewaspadaan dalam pengelolaan sektor moneter, fiskal dan sektor riil perlu terus dijaga dan ditingkatkan.
Ia mengingatkan, menciptakan formula yang tepat dan keseimbangan dinamis (dynamic-equilibrium) sangat diperlukan antara nilai tukar rupiah, suku bunga, inflasi, cadangan devisa serta indikator sektor riil.
Firmanzah meyakini, melalui koordinasi antara Bank Indonesia, Pemerintah, Lembaga Penjami Simpanan (LPS) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maka kita akan tetap menjaga serta meningkatkan daya tahan (resiliency) dan daya saing (competitiveness) perekonomian Indonesia baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah. (ES)