Hong Kong, Surganya TKI

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 7 Desember 2017
Kategori: Opini
Dibaca: 179.230 Kali

TKI di VictoriaOleh: Eddy Soetjipto, Asisten UKP PBM

Membayangkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bekerja di luar negeri tetapi serasa menguasai negeri itu, barangkali kita perlu menengok Hong Kong, bekas koloni Kerajaan Inggris yang kini menjadi Wilayah Administratif Khusus Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Memang pada hari-hari kerja, di wilayah berpenduduk sekitar 7,3 juta orang itu, tidak banyak terlihat TKI berjalan-jalan memenuhi pusat kegiatan. Namun jangan ditanya pada hari-hari libur khususnya Minggu, bisa dikatakan TKI yang bekerja di sana serasa ‘menguasai’ Hong Kong. Mereka ada di semua sudut mulai Kowloon, Central, Mongkok, dan terutama di Taman Victoria Causeway Bay, bahkan sampai ke wilayah Macao.

Jangan kaget jika pada hari Minggu itu, saat kita naik kereta massal atau Mass Transit Railway (MTR) dari segala sudut pandang akan ketemu TKI, baik yang sedang berjalan bersama-sama dalam rombongan yang besar, maupun yang berlalu lalang hanya dengan 2-3 kawannya. Usianya pun beragam, dari belasan, dua sampai tiga puluhan, hingga yang sudah masuk generasi ‘emak-emak’ sekitar 40-50 tahunan.

Soal penampilan, barangkali hanya di Hong Kong, TKI tidak kalah model dengan tenaga kerja asal negara lain seperti Filipina. Tidak sekadar baju dengan aneka model, rambut dengan bermacam warna (juga banyak yang berjilbab), tapi juga pegangan bermacam merk gadget yang umumnya dari Samsung hingga Iphone.

Sedikit yang membedakan TKI dengan tenaga asing lainnya di Hong Kong, terutama Filipina atau India, mungkin cuma bahasa. Jika bertemu tenaga kerja dari Filipina atau India, kita banyak mendengar percakapan mereka dalam Bahasa Inggris, maka ketika bertemu TKI bahasanya bermacam-macam, ada Jawa Solo, Jawa Banyumasan, sedikit Sunda, sampai Jawa Pantura.

Sorganya TKI

Dibanding dengan TKI yang bekerja di negara-negara lain, di negara-negara Timur Tengah (Saudi Arabia dan lain-lain), Brunei Darussalam, termasuk Singapura, Malaysia, Korea Selatan, atau negara-negara di Eropa dan Amerika, tampaknya TKI di Hong Kong lebih bisa mengekspresikan kenyamanannya dalam bekerja di luar negeri.

Dengan gaji resmi 4.410 dolar Hong Kong (Rp7.717.500), namun biaya hidup yang lebih rendah dibanding negara-negara penerima TKI lainnya, TKI di Hongkong lebih memiliki keleluasaan dalam mengatur keuangan, termasuk mengikuti gaya hidup modern di wilayah tersebut.

Dari sisi kebebasan, tidak ada batasan kultural atau alasan-alasan lain yang menghambat TKI mengekspresikan kebebasannya, baik kebebasan dalam berkumpul maupun kebebasan dalam mengomentari berbagai hal, termasuk membicarakan kasus korupsi para pejabat di Indonesia

Sementara di sisi lain, banyak akses yang memungkinkan TKI berkomunikasi dengan keluarganya di Indonesia, baik karena kemudahan dalam kepemilihan alat komunikasi, kemudahan berhubungan dengan kantor perwakilan pemerintah RI, maupun juga karena banyaknya akses penerbangan yang memungkinkan TKI untuk setiap saat bisa terbang kembali ke tanah air.

Tidak berlebihan, jika para TKI di Hong Kong umumnya mereka tidak sendiri saja yang bekerja di sana. Tetapi suami, adik, kakak, saudara, anak dan bahkan tetangganya juga bekerja di sana. Ini menjadikan TKI di Hongkong lebih kerasan dibandingkan dengan di negara-negara lain, karena komunitas yang mereka bangun, menjadikan mereka tidak tercerabut dari akar keluarga atau kampung halaman masing-masing.

Jadi, tidak berlebihan jika dikatakan Hong Kong adalah surganya TKI. Surga dalam pengertian, mereka mendapatkan penghasilan yang layak sebagaimana gaji TKI di negara-negara lain, tetapi di sisi lain biaya hidup yang lebih murah memungkinkan mereka memiliki simpanan atau mengikuti gaya hidup warga setempat.

Selain itu, tidak ada aturan-aturan yang membatasi TKI untuk berkumpul bersama komunitasnya, melakukan aktivitas sebagaimana warga setempat, termasuk bersama-sama melakukan aktivitas keagamaan, menyampaikan ekspresi politik, maupun aturan-aturan yang membuat mereka terbelenggu dalam rumah-rumah majikan.

Warga Hong Kong pun menurut penuturan sebagian besar TKI umumnya sangat menghargai mereka. Sedikit sekali bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada terjadi kasus kekerasan yang menimpa TKI. Malah sejumlah TKI selain harus melaksanakan tugas-tugas harian, ada yang diberikan kesempatan sambil melanjutkan pendidikannya.

Hong Kong agaknya perlu jadi contoh negara penempatan yang beradab, manusiawi, dan menghormati harkat dan martabat TKI, dan bisa jadi benchmark Indonesia dalam menentukan negara penempatan. (****)

Opini Terbaru