Ibu Kota Negara Baru “Dibangun Paksa” Oleh Jokowi Untuk Siapa?

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 16 Maret 2022
Kategori: Opini
Dibaca: 4.022 Kali

Oleh: Staf Khusus Presiden Billy Mambrasar

Tau gak, kalau jarak dari Pelabuhan Jayapura, sebagai titik keluar masuknya barang dari dan ke Provinsi Papua, dari Pelabuhan Tanjung Priok adalah sejauh 3.458 km? Itu sama jauhnya jarak dari negara Lebanon ke negara Inggris di Eropa loh! Melintasi kurang lebih 18 negara, sementara di Indonesia, kita dalam negara yang sama.

Tau gak, berdasarkan diskusi saya dengan Pelindo di salah satu kota di Indonesia Timur, dalam rangka kunjungan kerja saya kemarin, sekitar 94 persen kontainer kosong yang kembali dari sana, ke Tanah Jawa, tempat ibu kota negara saat ini berada, itu kosong melompong? Pelaku UMKM di Indonesia timur, takut mengirimkan barang dagangan mereka ke para pembeli di Tanah Jawa, yang notabene, adalah 88% dari total seluruh pembeli di Indonesia, karena harga yang mahal dengan jarak sebagai salah satu faktor kuncinya?

Ada 66 ribu anak-anak muda dari Indonesia Timur yang saat ini menjadi pelaku UMKM, kesulitan untuk menjual produknya ke pusat ekonomi Indonesia di Jakarta dan di Jawa, karena terlalu Jauh. Rantai pasok kita terlalu berpusat di Jawa, sehingga memberikan keuntungan tidak berimbang kepada penduduk Pulau Jawa, dibandingkan dengan mereka yang tidak berada di Pulau Jawa.

Di saat negara-negara lain di dunia memisahkan ibu kota administrasi pemerintahan dengan kegiatan industri dan bisnisnya, Indonesia masih menggabungkan ibu kota administrasi pemerintahan, dengan kegiatan-kegiatan bisnisnya, semuanya bertumpuk di Jakarta. Pengalaman saya sekolah di Australia, saya belajar di Canberra yang adalah ibu kota administrasi pemerintahan, tempat kantor-kantor PNS, DPR dan lembaga yudikatif, serta perkantoran kerja mitra pembangunan pemerintah. Sementara pusat kegiatan industri dan bisnisnya, ada di Sydney, yang cukup berjarak dari Canberra.

Begitu juga dengan Amerika Serikat, di mana ibu kota pemerintahannya berada di Washington DC, sementara kota pusat bisnisnya ada di New York, dan di Los Angeles. Kedua kota ini terletak di ujung timur dan ujung barat negara Amerika Serikat, jauh dari titik di mana ibu kota negaranya berada.

Jangan jauh-jauh, Malaysia yang adalah negara terdekat dengan kita, juga memisahkan ibu kota bisnis dan industrinya yang terletak di Kuala Lumpur, dengan ibu kota administrasi pemerintahannya yang berada di Kota Putra Jaya, yang terletak di luar Kuala Lumpur.

Kalau negara-negara lain, berhasil mengelola pemerintahannya dan memaksimalkan pembangunan dengan Pemisahan fungsi kota ini, maka Indonesia tentunya juga menuju ke arah sana.

Ada beberapa alasan Presiden Jokowi mendorong pembangunan ibu kota negara (IKN) ini, yaitu sebagai berikut: mengurangi citra Indonesia yang Jawasentris dengan memindahkan letak ibu kota negara yang selama ini berada di Pulau Jawa. Akibatnya sejumlah besar kota paling maju di Indonesia berada di pulau yang sama dengan ibu kota negara yang berada di Jakarta di Pulau Jawa. Harapannya dengan berpindahnya ibu kota negara maka akses kordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah lebih meluas dengan cakupan seluruh Indonesia tidak hanya berpusat di Pulau Jawa saja maka dari itu IKN disebut kelak Nusantara. Alasan berikutnya yaitu, seringkali pemerintah daerah melalui kepala daerahnya sering sekali melakukan perjalanan dinas ke Jakarta, dan jaraknya dari provinsi-provinsi terluar cukup jauh, sehingga berakibat membengkaknya anggaran dinas luar kota. Alasan terakhir dan terutama yaitu pemerataaan pembangunan yang inklusif di Indonesia dan memotong rantai pasok dan logistik untuk meningkatkan ekonomi dan perdagangan untuk semua.

Sekitar bulan Maret tahun 2020 lalu, Presiden Jokowi memanggil saya bersama-sama dengan beberapa Staf Khusus Presiden lainnya, dan memberikan tugas, untuk ikut memberikan masukan terkait mendesain agar ibu kota negara yang baru ini dapat menjadi pusat pendidikan dan inovasi Indonesia. Saya kemudian lalu menyusun satu halaman strategi dan konsep untuk mencapai hal tersebut.

Respons dari Pak Jokowi kepada saya adalah sebagai berikut:
“Mas Billy, saya ikuti cerita perjuangan Mas Billy, dan anak-anak Papua lainnya, yang mengejar pendidikan harus jauh-jauh mengejar hingga ke Jawa. Saya mengharapkan, dengan adanya pembangunan pusat pendidikan berkelas dunia di ibu kota yang baru ini, yang jaraknya di tengah-tengah, dapat mengurangi jarak tempuh dari anak-anak bangsa di provinsi yang jauh, untuk dapat datang dan belajar. Selain itu, harapannya adalah dapat mendorong pemerataan pendidikan, baik ke timur, maupun ke barat, ke utara dan ke selatan”

Dari diskusi saya dengan Pak Jokowi ini, dalam rapat tersebut, saya belajar bahwa sebenarnya, yang dipikirkan oleh Pak Jokowi dari memindahkan ibu kota negara ini, bukanlah untuk menciptakan legacy pribadi beliau, seperti dituduhkan berbagai pihak. Bukan pencitraan dan narsisisme personal seperi serangan berbagai pihak. Bukan pula untuk melemahkan dan menyerang pemerintah daerah tertentu dalam rangka melanggengkan kekuasaan, atau juga bukan sebuah ambisi pribadi semata tanpa arah dan liar.

Yang dipikirkan Pak Jokowi hanya satu: sebuah titik pusat pemerintahan, yang dapat di akses oleh seluruh masyarakat, yang dapat mendorong pemerataan pembangunan untuk semua. Pak Jokowi, yang adalah orang asli Jawa, tidak menginginkan Indonesia menjadi terlalu Jawasentris. Pak Jokowi ingin agar semua warga negara, termasuk saya dan saudara-saudara saya dari Indonesia Timur, bisa lebih merasakan kehadiran negara, karena letak geografis ibu kota negara kami, digeser lebih dekat ke provinsi kami.

Jadi, untuk siapa Pak Jokowi “bangun paksa” IKN? Untuk kita semua, yah, terlebih khusus kita semua yang selama ini tinggal di titik-titik terjauh Nusantara, yang sulit merasakan hadirnya negara ini, dapat merasakan hangatnya proses pembangunan dari sentra pemerintahan yang letaknya “lebih dekat” dengan kita.

Opini Terbaru