IMF Perkirakan Hampir Semua Negara Akan Alami ‘Recovery Fixed’ 2021
Oleh Humas    
Dipublikasikan pada 18 April 2020
Kategori: Berita
Dibaca: 1.286 Kali
International Monetary Fund (IMF) menyampaikan bahwa kemungkinan rebound atau recovery yang akan sangat cepat pada tahun 2021 apabila dilakukan langkah-langkah tepat untuk bisa mencegah pemburukan ekonomi dan mengembalikan atau memulihkan perekonomian di masing-masing negara.
Hal tersebut diungkapkan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati (SMI) saat memberikan keterangan pada wartawan melalui konferensi video, Jumat (17/4).
“Akan terlihat di sini, hampir semua negara oleh IMF diperkirakan akan mengalami recovery fixed pada tahun 2021. Ini tentu merupakan suatu prediksi yang cukup optimistik mengenai kemampuan semua ekonomi untuk kembali tumbuh pasca Covid-19,” ujar Menkeu.
Dilihat dari aktivitas ekonomi di berbagai negara, menurut Menkeu, mengalami penurunan yang tajam yang dilihat dari DMI baik di sektor manufaktur, jasa, dan dari sisi setiap negara dalam hal ini menunjukkan adanya penurunan.
“Mungkin ada yang menurun tajam pada awal Maret ada yang baru turun pada sekitar April. Seperti RRT sebetulnya turun tajam justru pada bulan Januari-Februari karena memang mereka terjangkit lebih dulu dan sekarang sudah mulai ini menunjukkan gejala recovery,” imbuh Menkeu.
Jadi, sambung SMI, ini tergantung dari level atau timing dari penyebaran Covid-19 dan kemudian berhubungan dengan kemampuan untuk memulihkan kembali kegiatan sosial ekonomi di negara-negara tersebut.
“Namun kalau dilihat dari kurva ini menggambarkan bahwa semua negara tanpa terkecuali akan terpengaruh dari sisi manufaktur dan jasanya. Dengan adanya penurunan yang sangat cepat dan sangat tajam, maka pengangguran meningkat di berbagai negara,” kata Menkeu.
Kalau dilihat di semua negara, tambah Menkeu, sudah menunjukkan Double digit growth dari tingkat penganggurannya. Ia menambahkan bahwa Amerika serikat di 10% bahkan ada yang mengestimasi bisa mencapai di atas 15% hingga 20%.
Menurut Menkeu, ini adalah tingkat pengangguran terbesar kalau dibandingkan dalam sejarah dunia seperti yang comparable pada saat depresi ekonomi.
“Oleh karena itu kita juga melihat implikasi ini adalah suatu implikasi yang sangat luas dan dalam. Ini adalah suatu masalah perekonomian sosial yang sangat luas dan dalam, ini yang harus menjadi perhatian kita di dalam merespon kebijakan-kebijakannya,” jelas Menkeu.
SMI menyebutkan bahwa dengan aktivitas ekonomi yang menurun tajam dan adanya social distancing maupun physical distancing dan juga restrain atau mobilitas manusia sangat berkurang, maka harga-harga komoditas juga mengalami dampak yang menurun sangat tajam.
Paling utama, lanjut Menkeu, mungkin adalah minyak karena pada saat demand-nya turun juga sempat terjadi ketegangan atau ketidaksinkronan antara Saudi Arabia dengan Rusia.
“Dan bahkan sesudah OPEC + Rusia setuju untuk memangkas jumlah produksi, namun sudah muncul data-data bahwa permintaan akan jauh lebih turun sementara produksi sudah terlanjur cukup besar. Sehingga walaupun pengumuman OPEC disampaikan akan ada pemotongan produksi pada bulan Mei, Juni, Juli ke depan namun harga tetap merosot untuk WTI bahkan pada level 18 dolar di bawah 20 dolar per barel,” ujarnya.
Dengan adanya gejolak ini, sambung Menkeu, banyak investor dan para pelaku di dunia di sektor keuangan mengalami kepanikan yang ini menyebabkan kemudian melakukan penjualan semua surat-surat berharga dan alat investasi dan memegang treasury saja yang dianggap the only apa yang disebut surat berharga yang paling aman.
“Oleh karena itu yang terjadi adalah capital outflow karena semuanya melepas surat-surat berharga dan alat investasi dari berbagai negara terutama developing dan emerging country. Dan ini yang kemudian menyebabkan mengapa lebih dari 100 negara sekarang meminta bantuan IMF karena capital outflow langsung memukul balance of demand mereka,” imbuhnya.
Capital inflow, sambung Menkeu, ditambah drop ekspor mereka plus dari sisi pariwisata menyebabkan semua negara mengalami tekanan, cadangan devisanya merosot sementara permintaan mungkin terhadap devisa masih akan cukup tinggi.
Ini, tambah Menkeu, yang menyebabkan kenapa kemudian juga terjadi langkah-langkah extraordinary dimana Federal Reserve Bank menyediakan fasilitas kepada semua negara.
“60 negara di dalam rangka untuk bisa menginjeksi likuiditas dolar yang sekarang ini begitu sangat langka karena semua kembali ke Amerika. Meskipun di Amerika sendiri mereka juga melepas instrumen-instrumen investasi seperti saham dan corporate maupun municipal bond, dan mereka hanya mau holding treasury,” jelasnya.
Maka yang terlihat adalah, tambah Menkeu, treasury mengalami penurunan yield yang luar biasa sangat rendah karena demand-nya sangat tinggi, price-nya tinggi sekali sementara negara-negara semua dan alat investasi lainnya mengalami gejolak yang sangat tinggi.
Nilai tukar, sambung Menkeu, tentu terimbas dalam situasi neraca pembayaran yang mengalami capital outflow dan devisa yang menurun karena ekspor maupun kegiatan pariwisata merosot dan ini terjadi di semua negara, tentu dengan tingkat yang berbeda-beda.
“Dengan pergerakan gejolak bursa dan sektor keuangan ini tentu juga mempengaruhi Republik Indonesia dari sisi ekonominya. Nilai tukar kita mengalami koreksi dan kemudian rebound kembali, namun ini adalah suatu tingkat volatilitas yang cukup tajam yang harus meningkatkan kewaspadaan kita semua,” katanya.
Dari sisi yield obligasi pemerintah, sambung Menkeu, seperti yang terjadi dihampir semua alat investasi di dunia juga mengalami kenaikan, bahkan sempat di atas 8% meskipun pada bulan April ini kembali menurun di bawah 8%.
“Untuk yield USD kita, kita sempat melonjak di atas 4 persen dan sekarang sudah turun lagi di level 3,37. Namun volatilitas memang sangat tajam terjadi pada bulan Maret yang lalu dan ini masih kita harus pantau secara sangat hati-hati pada bulan April dan Mei ini dari sisi perkembangan gejolak di pasar uang, baik di dalam negeri maupun dari luar negeri,” imbuhnya.
Kalau dilihat net foreign buying, tambah Menkeu, cenderung negatif dari bulan Februari dan Maret untuk saham dan untuk surat utang negara.
“Ini menyebabkan dari mulai Januari hingga Maret 86 triliun dari surat berharga yang dilepas oleh foreign yang kemudian menyebabkan harga jatuh atau dalam dalam hal ini yield-nya meningkat,” ungkapnya. (FID/EN)