Ini Penjelasan Menkeu Soal Latar Belakang Perpu Nomor 1 Tahun 2020

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 5 Mei 2020
Kategori: Berita
Dibaca: 2.994 Kali

Menkeu dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR, Senin (4/5). (Foto: Kemenkeu).

Penyebaran Covid-19 sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, sesuai data WHO menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu telah menimbulkan korban jiwa, dan kerugian material yang semakin besar.


Hal itu berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat sehingga terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, serta mengganggu stabilitas sistem keuangan.

Untuk itu, Pemerintah perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa (extraordinary) dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Fokus kebijakan itu terkait belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial (social safety net), dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan dengan memberikan landasan hukum yang kuat/memadai sehingga terbitlah Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu).

Hal tersebut disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR dengan agenda Penyampaian Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perpu No 1 2020 secara teleconference, Senin (4/5).

“Perpu ini adalah dibuat dengan pilar persis seperti yang merupakan ancaman Covid-19 yaitu ancaman di bidang kesehatan yang menular di bidang sosial dan kemudian juga menciptakan ancaman di bidang ekonomi dan ancaman di sektor keuangan,” jelas Menkeu.

Menurut Menkeu, Perpu dikeluarkan untuk bisa menciptakan bantalan agar ancaman itu tidak materialized atau paling tidak ancaman ini bisa dimitigasi atau diminimalkan dampaknya.

”Mungkin tidak 100% namun jangan sampai seluruh bangsa dan negara porak-poranda dari kesehatan sosial ekonomi dan sistem keuangannya. Itulah yang menjadi latar belakang dari konstruksi,” terang Menkeu.

Perpu, lanjut Menkeu, diperlukan sesegera mungkin agar Pemerintah dan Otoritas dapat melaksanakan extraordinary actions yang diperlukan, termasuk pelebaran defisit dan hal-hal lain dalam menjaga stabilitas sektor keuangan.

Terdapat dua pilar yang menjadi penyangga yaitu dalam hal kebijakan keuangan negara dan kebijakan sektor keuangan.

“Di bidang keuangan negara karena dampak Covid akan menjatuhkan korban jiwa,  korban perusahaan, korban PHK maka kita sudah yakin bahwa ini akan mempengaruhi penerimaan negara,” tambah Menkeu.

Sementara, lanjut Menkeu, keuangan negara harus melakukan langkah yang ekstra melindungi masyarakatnya maka defisit pasti akan mengalami penyesuaian dan akan melebihi dari aturan keuangan negara kita yang selama ini 3%.

Kita juga mengantisipasi bahwa dengan melebarnya defisit sumber pendanaan perlu dibuka alternatifnya dan kita juga ingin membuat penyesuaian mandatory spending sehingga APBN dan APBD bisa lebih fleksibel di dalam menghadapi ancaman yang begitu cepat dan luar biasa,” ungkap Menkeu.

Di dalam Perpu, sambung Menkeu, juga diatur mengenai program pemulihan ekonomi sehingga kombinasi antara melakukan proteksi atau perlindungan terhadap shock dan sekaligus menyiapkan bagi pemulihan ekonomi.

Pada saat shock atau guncangan terjadi dan pasca shock, lanjut Menkeu, juga untuk mendukung agar implikasi kepada sektor penciptaan kesempatan kerja sektor riil dan ancaman di sektor keuangan bisa tetap dicegah.

“Kalaupun itu akan mengalami tekanan ke sektor keuangan di bidang sistem keuangan maka dilakukan antisipasi KSSK yang memiliki mandat untuk melakukan penanganan sistem keuangan yang mengalami ancaman sistemik yang diberikan perluasan kewenangan termasuk ruang lingkup rapatnya di dalam undang-undang KSSK hanya diperbolehkan rapat secara fisik hadir maka di dalam Perpu diberikan keleluasaan untuk rapat tidak dilakukan secara fisik tapi menggunakan video conference,” tandas Menkeu.

Penguatan kewenangan Bank Indonesia (BI), tambah Menkeu, dimasukkan di dalam Perpu di dalam rangka untuk ikut membeli surat berharga negara jangka panjang dalam pendanaan APBN yang mengalami tekanan luar biasa dan di dalam pemulihan ekonomi.

“Penguatan kewenangan OJK dan LPS dalam rangka mereka mampu untuk mencegah risiko yang membahayakan stabilitas sistem keuangan terutama di bidang perbankan dan perlindungan nasabah perbankan,” tutup Menkeu.

Berita Terbaru