Inilah Instruksi Presiden tentang Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan
Untuk meningkatkan efektivitas dan penguatan pengawasan obat dan makanan, Presiden Joko Widodo pada 10 Maret 2017 lalu telah menandatangani Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2017 tentang Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan.
Inpres tersebut ditujukan kepada: 1. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; 2. Menteri Kesehatan; 3. Menteri Perdagangan; 4. Menteri Perindustrian; 5. Menteri Pertanian; 6. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; 7. Menteri Dalam Negeri; 8. Menteri Kelautan dan Perikanan; 9. Menteri Komunikasi dan Informatika; 10. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan; 11. Para Gubernur; dan 12. Para Bupati dan Walikota.
Kepada para pejabat tersebut, Presiden menginstruksikan untuk mengambil langkah-langkah sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk melakukan peningkatan efektivitas dan penguatan pengawasan obat dan makanan yang meliputi: 1. sediaan farmasi, yang terdiri dari obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetik; 2. ekstrak bahan alam; 3. suplemen kesehatan; 4. pangan olahan; dan 5. bahan berbahaya yang berpotensi disalahgunakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Khusus kepada Menteri Kesehatan, Presiden menginstruksikan untuk melakukan koordinasi dan sinergi dalam menyusun dan menyempurnakan regulasi di bidang pengawasan sediaan farmasi serta tata kelola dan bisnis proses pengawasan sediaan farmasi yang transparan dan akuntabel untuk meningkatkan keamanan, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi.
Sementara kepada Menteri Perdagangan, Presiden menginstruksikan untuk: 1. meningkatkan pengawasan terhadap pengadaan impor dan distribusi bahan berbahaya yang berpotensi disalahgunakan sampai ke pengguna akhir; dan 2 melakukan sanksi administratif berupa: a. pencabutan Surat Izin Usaha Perdagangan Bahan Berbahaya (SIUP-B2) untuk Distributor Terdaftar Bahan Berbahaya (DT-B2); b. pencabutan pengakuan Importir Produsen Bahan Berbahaya (IP-B2); dan c. pencabutan penetapan sebagai Importir Terdaftar Bahan Berbahaya (IT-B2).
Melalui Inpres tersebut, Presiden menginstruksikan Menteri Perindustrian untuk: 1. melakukan sinergi, kolaborasi, dan kerja sama dalam pemeriksaan sarana produksi terkait Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik untuk pangan olahan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib; 2. meningkatkan pengawasan produksi dan penggunaan bahan berbahaya yang berpotensi disalahgunakan melalui penyusunan dan penetapan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria; dan 3. melakukan pengkajian ulang dan harmonisasi standar kemasan pangan.
Untuk Menteri Pertanian, Presiden menginstruksikan untuk: 1. melakukan sinergi, kolaborasi, dan kerja sama dalam pemeriksaan sarana produksi terkait Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik untuk pangan olahan asal hewan dan asal tumbuhan; dan 2. meningkatkan pengawasan produk obat hewan, pupuk, dan pestisida yang menggunakan bahan berbahaya yang berpotensi disalahgunakan sampai ke tingkat peredaran.
Presiden juga menginstruksikan Menteri Komunikasi dan Informatika untuk melakukan pemblokiran situs yang mempromosikan dan/atau menjual obat dan makanan ilegal secara on line berdasarkan rekomendasi dari instansi terkait.
Kepada para Gubernur, Presiden menginstruksikan untuk: 1. meningkatkan koordinasi pengawasan obat dan makanan; 2. melakukan pengawasan bahan berbahaya dan penerbitan SIUP B2 untuk Pengecer Terdaftar Bahan Berbahaya (PT-B2) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. melakukan pengkajian ulang terhadap penerbitan pengakuan pedagang besar farmasi cabang dan izin usaha kecil obat tradisional sesuai standar dan persyaratan; 4. melakukan sanksi administratif berupa: a. pencabutan pengakuan pedagang besar farmasi cabang; b. pencabutan izin usaha kecil obat tradisional; dan c. pencabutan izin pengecer bahan berbahaya, berdasarkan rekomendasi Kepala Dinas Kesehatan dan/atau Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 5. menerapkan sistem informasi database dan pelaporan pemberian pengakuan pedagang besar farmasi cabang dan izin usaha kecil obat tradisional dengan mengacu pada sistem informasi yang dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan dan/atau Badan Pengawas Obat dan Makanan; dan 6. melaporkan pelaksanaan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Instruksi Presiden ini kepada Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dengan tembusan Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Adapun kepada para Bupati/Walikota, Presiden menginstruksikan untuk: 1. meningkatkan koordinasi pengawasan obat dan makanan; 2. melakukan sanksi administratif berupa: a. pencabutan izin apotek; b. pencabutan izin toko obat berizin; c. pencabutan izin usaha mikro obat tradisional; dan d. pencabutan sertifikat produksi pangan industri rumah tangga,berdasarkan rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. melakukan pengkajian ulang terhadap fasilitas pelayanan kesehatan/fasilitas kefarmasian sesuai standar dan persyaratan; 4. melakukan pengkajian ulang sertifikasi produksi industri rumah tangga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 5. menerapkan sistem informasi database dan pelaporan pemberian sertifikasi/perizinan fasilitas pelayanan kesehatan/fasilitas kefarmasian, usaha mikro obat tradisional, dan industri rumah tangga pangan dengan mengacu pada sistem informasi yang dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan dan/atau Badan Pengawas Obat dan Makanan; dan 6. melaporkan pelaksanaan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Instruksi Presiden ini kepada Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dengan tembusan Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan Gubernur.
Selanjutnya Presiden menginstruksikan kepada Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan untuk: 1. melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Instruksi Presiden ini; dan 2. melaporkan pelaksanaan Instruksi Presiden ini kepada Presiden secara berkala setiap 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan, bunyi akhir Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2017 yang dikeluarkan di Jakarta, pada 10 Maret 2017 itu. (Pusdatin/ES)