Inilah Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Pengamanan Wilayah Udara RI

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 27 Februari 2018
Kategori: Berita
Dibaca: 34.265 Kali

Pesawat di BandaraDengan pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang (UU)  Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, pada 13 Februari 2018, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara Republik Indonesia (RI).

Dalam PP ini ditegaskan, dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas Wilayah Udara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara.

“Ruang udara sebagaimana dimaksud dapat digunakan untuk kepentingan penerbangan sipil dan pertahanan yang pelaksanaannya dilakukan secara bersama-sama dalam kerja sama sipil militer antara kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan,” bunyi Pasal 5 PP ini.

Kerjasama sipil militer sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, bertujuan untuk menjamin Keselamatan Penerbangan dengan memberikan prioritas Pesawat TNI dalam melaksanakan penegakan kedaulatan, penegakan hukum, operasi dan latihan militer.

Dalam rangka melaksanakan tanggung jawab tersebut, PP ini menyebutkan, Pemerintah menetapkan: a. kawasan udara terlarang (prohibited area); dan b. kawasan udara terbatas (restricted area).

Selain itu, Pemerintah dapat menetapkan zona identifikasi pertahanan udara (air defence identification zone/ADIZ).

Kawasan udara terlarang (prohibited area), menurut PP ini, merupakan kawasan udara di atas daratan dan/atau perairan dengan pembatasan permanen dan menyeluruh bagi Pesawat Udara.

“Kawasan udara terlarang (prohibited area) sebagaimana dimaksud meliputi: a. ruang udara di atas Istana Presiden; b. ruang udara di atas instalasi nuklir; dan c. ruang udara di atas objek vital nasional yang bersifat strategis tertentu sebagaimana ditetapkan oleh Presiden berdasarkan usulan Menteri (Pertahanan, red) setelah mendapatkan pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan,” bunyi Pasal 7 ayat (2,3,4) PP tersebut.

Adapun kawasan udara terbatas (restricted area), menurut PP ini, merupakan ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan dengan pembatasan bersifat tidak tetap dan hanya dapat digunakan untuk operasi penerbangan oleh Pesawat Udara Negara (pesawat yang digunakan oleh TNI, Polri, kepabeanan, dan instansi pemerintah lainnya).

Dalam PP ini disebutkan, pembatasan bersifat tidak tetap itu dapat berupa pembatasan waktu dan ketinggian.

Sementara kawasan terbatas dimaksud meliputi: a. Markas Besar TNI; b. Pangkalan Udara TNI; c. kawasan latihan militer; d. kawasan operasi militer; e. kawasan latihan penerbangan militer; f. kawasan latihan penembakan militer; g. kawasan peluncuran roket dan satelit; dan h. ruang udara yang digunakan untuk penerbangan dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang setingkat kepala negara dan/atau kepala pemerintahan.

Sedangkan Zona Identifikasi Pertahanan Udara (Air Defence Identification Zone/ ADIZ), menurut PP ini, merupakan ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan yang ditetapkan bagi keperluan identifikasi Pesawat Udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, yang berada pada: a. ruang udara di Wilayah Udara; dan b. ruang udara di Wilayah Udara yurisdiksi.

Pelanggaran Wilayah

Dalam PP ini ditegaskan, Pesawat Udara Negara Asing yang terbang ke dan dari atau melalui Wilayah Udara harus memiliki lzin Diplomatik (diplomatic clearance) dan Izin Keamanan (security clearance).

Untuk Pesawat Udara Sipil Asing tidak berjadwal yang terbang ke dan dari atau melalui Wilayah Udara, menurut PP ini, harus memiliki Izin Diplomatik (diplomatic clearance), Izin Keamanan (security clearance) dan Persetujuan Terbang (flight approval).

“Pesawat Udara sebagaimana dimaksud yang terbang dengan tidak memiliki izin merupakan pelanggaran,” bunyi Pasal 10 ayat (3) PP ini.

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, dikenakan sanksi administratif berupa denda administratif paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), yang dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan sesuai dengan kewenangan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.

Mengenai penggunaan Pesawat Udara Sipil Indonesia  untuk kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal atau bukan niaga dari dan ke, melalui atau di dalam Wilayah Udara, menurut PP ini, dilakukan setelah memiliki Persetujuan Terbang (fligh approval).

Untuk wilayah tertentu, penggunaan Pesawat Udara Sipil Indonesia untuk kegiatan bukan niaga berupa survei udara, pemetaan dan foto udara, own use charter, dan joy flight dilakukan setelah memiliki Izin Keamanan (security clearance) kecuali untuk kegiatan pelatihan (training).

Wilayah tertentu sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, meliputi: a. Bandar Udara yang digunakan secara bersama; b. Pangkalan Udara yang digunakan secara bersama; c. Bandar Udara atau Pangkalan Udara di wilayah perbatasan, dan wilayah yang berpotensi ancaman.

PP ini menegaskan, Pesawat Udara dilarang terbang melalui kawasan udara terlarang (prohibited area).

“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2018, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 19 Februari 2018 itu. (Pusdatin/ES)

Berita Terbaru