Inilah PP Nomor 55 Tahun 2016 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 1 Desember 2016
Kategori: Berita
Dibaca: 51.458 Kali

Pajak DaerahDengan pertimbangan dalam rangka mendukung peningkatan penerimaan pajak daerah, pemerintah memandang perlu penguatan administrasi pemungutan pajak daerah. Hal ini karena pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor (PP) 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak, belum mencukupi kebutuhan daerah dalam melaksanakan pemungutan pajak daerah.

Atas dasar pertimbangan tersebut, Presiden Joko Widodo pada 21 November 2016 telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 55 Tahun 2016 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah.

Menurut PP itu, jenis pajak provinsi yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah terdiri atas: a. Pajak kendaraan bermotor; b. bea balik nama kendaraan bermotor; dan c. Pajak air permukaan. Sementara jenis pajak provinsi yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak terdiri atas: a. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor; dan b. Pajak rokok.

Adapun jenis pajak kabupatenlkota yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah terdiri atas: a. Pajak reklame; b. Pajak air tanah; dan c. PBB-P2. Sedangkan jenis pajak kabupaten/kota yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak terdiri atas: a. Pajak hotel; b. Pajak restoran; c. Pajak hiburan; d. Pajak penerangan jalan; e. Pajak mineral bukan logam dan batuan; f. Pajak parkir; g. Pajak sarang burung walet; dan h. BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan).

PP ini menegaskan, bahwa pajak daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah. “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksudpaling sedikit mengatur ketentuan mengenai: a. nama, objek Pajak, dan subjek Pajak; b. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan Pajak; c. wilayah Pemungutan; d. masa Pajak; e. penetapan; f. tata cara pembayaran dan penagihan; g. kedaluwarsa; h. sanksi administratif; dan i. tanggal mulai berlakunya,” bunyi Pasal 4 ayat (2) PP ini.

Selain itu, Peraturan Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai: a. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok Pajak dan/atau sanksinya; b. tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan; c. tata cara penghapusan piutang Pajak yang kedaluwarsa; dan/atau d. asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan pernbebasan Pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman internasional.

Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah, menurut PP ini,  wajib mendaftarkan objek Pajak kepada Kepa1a Daerah dengan menggunakan: a. surat pendaftaran objek Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah; dan b. SPOP (Surat Pemberitahuan Objek Paja) untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan.Kepala Daerah.

Sementara Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak diwajibkan mendaftarkan diri kepada Kepala Daerah untuk mendapatkan nomor pokok Wajib Pajak Daerah.

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dikecualikan untuk: a. Wajib Pajak bahan bakar kendaraan bermotor dan pemungut Pajak bahan bakar kendaraan bermotor yang berstatus Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah; dan b. Penyedia tenaga listrik yang berstatus Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah,” bunyi Pasal 5 ayat (3a,b).

PP ini juga menyebutkan jenis pajak yang dapat dibayarkan oleh Pemerintah, yang meliputi: a. Pajak air permukaan; b. Pajak air tanah; dan c. Pajak penerangan jalan.

Pajak yang dapat dibayarkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud berlaku bagi Wajib Pajak yang menandatangani perjanjian dengan Pemerintah di bidang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi atau di bidang kegiatan usaha lain yang menetapkan bahwa Pajak terutangnya dibebaskan dan ditanggung oleh Pemerintah.

Pajak yang dapat dibayarkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, berasal dari jumlah tertentu yang merupakan bagian penerimaan negara atas setiap kegiatan usaha sebagaimana dimaksud.

“Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan sesuai dasar pengenaan Pajak yang ditetapkan oleh Kepala Daerah,” bunyi Pasal 31 ayat (4) PP Nomor 55 Tahun 2016 itu.

Untuk Pajak Rokok, menurut PP ini, dipungut bersamaan dengan Pemungutan cukai rokok oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai. Besarnya Pajak terutang untuk Pajak rokok dihitung oleh Wajib Pajak sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai cukai rokok. Penerimaan Pajak rokok sebagaimana dimaksud disetor ke rekening kas umum Daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.

“Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan dan penyetoran Pajak rokok diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan,” bunyi Pasal  32 ayat (4) PP ini.

Menurut PP ini, penerimaan pajak rokok yang disetorkan ke rekening kas umum Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dibagi dengan proporsi: a. 30% (tiga puluh persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan b. 70% (tujuh puluh persen) untuk dibagihasilkan kepada kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan.

“Penerimaan Pajak rokok sebagaimana dimaksud, baik bagian provinsi maupun bagian kabupatenlkota dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang,” bunyi Pasal 33 ayat (2) PP ini.

Pasal 36 PP ini menegaskan, peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.

“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 22 November 2016 itu. (Pusdatin/ES)

Berita Terbaru