Islam Moderat Jadi Aset Politik Luar Negeri Kemenlu

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 4 Mei 2017
Kategori: Berita
Dibaca: 21.538 Kali
Para pembicara dalam diskusi sehari dengan tema Islam Moderat sebagai Elemen Politik Luar Negeri RI, di Hotel Santika Premiere, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (4/5). (Foto: Humas/Rahmi)

Para pembicara dalam diskusi sehari dengan tema Islam Moderat sebagai Elemen Politik Luar Negeri RI, di Hotel Santika Premiere, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (4/5). (Foto: Humas/Rahmi)

Islam moderat yang berkembang dan diikuti sebagian besar umat Islam di tanah air menjadi salah satu aset Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dalam rangka melaksanakan politik luar negeri Indonesia.

“Islam moderat merupakan aset dalam perencanaan hubungan luar negeri, selain aset keberagaman maupun kekayaan seni dan budaya,” kata Al Busyra Basnur, Direktur Diplomasi Politik Kemenlu dalam diskusi sehari dengan tema Islam Moderat sebagai Elemen Politik Luar Negeri RI, di Hotel Santika Premiere Semarang, Jawa Tengah, Rabu (4/5) pagi.

Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Asisten Deputi Hubungan Luar Negeri, Sekretariat Wakil Presiden itu, Al Busyra Basnur mengatakan, hanya di Indonesia, Islam demokrasi dan modernity itu hidup saling berdampingan dan mendukung.

Kemenlu sendiri, lanjut Al Busyra, mempunyai beberapa program untuk memberikan pemahaman tentang islam moderat di Indonesia, antara lain melalui dialog lintas agama (DLA/Interfaith Dialogue), sebagai salah satu program strategis dalam diplomasi Indonesia.

Ia menyebutkan, hingga saat ini sudah ada 27 negara terlibat dalam program ini, termasuk Myanmar dan Singapura yang baru bergabung belum lama ini.

Sementara itu Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, Abu Hapsin Umar mengatakan sudah saatnya mainstrem iIlam harus berpindah dari Timur Tengah ke Indonesia. Karena dari tiga model yang dalam sejarah model Timur Tengah tidak bisa bertemu, yaitu model/paradigma pemahaman Islam yaitu burhani (yang diwakili kaum rasionalis), bayani (yang diwakili ahli hukum) dan irfani (yang diwakili kaum sufi) ternyata di Indonesia bisa bertemu.

“Sebenarnya kekayaan intelektual di Indonesia, dan kekayaan mentalitas di Indonesia meskipun mungkin jauh dari pusat, sebenarnya jauh lebih kaya untuk mengembangkan modernitas Islam,” tambah Abu Hapsin Umar.

Acara ini juga dihadiri oleh pejabat di lingkungan Kementerian/Lembaga, termasuk perwakilan dari Asdep Humas dan Protokol Sekretariat Kabinet (Setkab), perwakilan Muhammadiyah, NU, KNPI, Universitas Diponegoro Semarang, UIN Walisongo Semarang, dan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. (RMI/MA/ES)

Berita Terbaru