Isu Sawit dan Strategi ‘Total Diplomacy and Governance Approach’

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 22 Maret 2018
Kategori: Opini
Dibaca: 96.643 Kali

FOTO ROBY A. BRATA 27 NOV 2017oleh: Roby Arya Brata *)

Ancaman Dewan Parlemen Eropa yang akan melarang penggunaan biofuel nabati khususnya yang berasal dari produk kelapa sawit mengancam perekonomian Indonesia dan kehidupan sekitar 17 juta masyarakat Indonesia yang hidupnya secara langsung maupun tidak langsung bergantung pada industri kelapa sawit.

Karena itu, masalah ini harus menjadi prioritas diplomasi Kementerian Luar Negeri dan stakeholder terkait terutama Kementerian Perdagangan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pemerintah/negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi kehidupan, kesejahteraan, hak ekonomi dan sosial warganya.

Untuk mengatasi masalah ancaman ini saya merekomendasikan kepada Pemerintah khususnya Menteri Luar Negeri dan Menteri Perdagangan untuk menggunakan pendekatan atau strategi diplomasi apa yang saya sebut The Whole/Total Diplomacy and Governance Approach(TDGA) dengan penguatan efektifitas hubungan antarlembaga.

Masalah Kelembagaan

Masalah hubungan dan koordinasi kelembagaan khususnya dalam perumusan dan implementasi kebijakan sudah lama menjadi problem tata kelola pemerintahan (defective governance) yang serius dalam pemerintahan kita. Proses perumusan dan implementasi kebijakan dan program pemerintah (tata kelola pemerintahan) diantara kementerian dan lembaga pemerintah berjalan tersekat, tidak terkoordinasi dan terintegrasi dengan baik (fragmented government).

Masing-masing kementerian dan lembaga seringkali memiliki tujuan, agenda dan kepentingannya sendiri. Peraturan menteri terkadang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, atau menegasikan tujuan peraturan menteri lainnya.

Contoh yang paling konkret adalah ketentuan yang tidak saling menguatkan dalam proses ratifikasi perjanjian internasional khususnya perjanjian perdagangan internasional antara UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan UU No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Dalam Pasal 10 UU Perjanjian Internasional ditentukan bahwa hanya perjanjian internasional yang substansinya terkait HAM, lingkungan, hak berdaulat dan kedaulatan negara, masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara, perubahan batas wilayah, pembentukan kaidah hukum internasional baru (jus cogens) dan hutang lah yang harus diratifikasi dengan undang-undang (melalui persetujuan DPR).

Sementara, berdasarkan Pasal 11 UU Perjanjian Internasional substansi perjanjian di luar itu terutama yang bersifat teknis (technical agreement) cukup disahkan dengan keputusan presiden.

Namun, UU No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyatakan lain. Ketentuan Pasal 84 UU tersebut menentukan bahwa semua pengesahan perjanjian perdagangan internasional harus melalui pertimbangan dan persetujuan DPR untuk ditentukan apakah suatu perjanjian perdagangan internasional, termasuk yang perjanjian minor atau yang bersifat teknis,  akan diratifikasi dengan undang-undang atau cukup dengan peraturan presiden.

Akibatnya, sekitar delapan perjanjian perdagangan internasional, termasuk beberapa perjanjian teknis, proses ratifikasinya macet (deadlock) di DPR. Jika hal ini terus dibiarkan maka perdagangan internasional Indonesia bisa terancam dan komitmen Indonesia pada perdagangan internasional khususnya dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA bisa dipertanyakan.

Hal ini saya rasakan sendiri ketika diminta Delegasi Indonesia untuk berbicara di depan sembilan negara anggota ASEAN lainnya dalam sidang perundingan Protokol Perubahan Perjanjian ASEANAustraliaNewZealand Free Trade Area(AANZFTA) tahun 2017 lalu di Auckland, Selandia Baru. Dalam sidang itu Indonesia layaknya seperti terdakwa dipermalukan dan dipertanyakan komitmennya karena menjadi satu-satunya negara yang belum meratifikasi Protocol to Amend AANZFTA.

Semua permasalahan kelembagaan dan tata kelola pemerintahan (governance problem) seperti itu,terutama dalam mengatasi ancaman Dewan Parlemen Eropa terhadap pelarangan penggunaan biofuel nabati yang berasal dari produk kelapa sawit Indonesia, dapat diatasi secara lebih efektif dengan menggunakan pendekatan atau strategi diplomasi The Whole/Total Diplomacy and Governance Approach (TDGA) dengan penguatan efektifitas hubungan antarlembaga.

Total Diplomacy and Governance Approach (TDGA)

Penggunaan strategi TDGA dilakukan baik dengan penguatan efektivitas hubungan antarlembaga dengan lembaga-lembaga dalam maupun luar negeri. Penggunaan strategi TDGA dengan penguatan efektivitas hubungan antarlembaga dengan lembaga-lembaga di dalam negeri dilakukan dengan beberapa langkah/kebijakan.

Pertama, pembentukan “Satuan Tugas/Tim Diplomasi Sawit” yang keanggotaannya terdiri dari Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, KADIN, pelaku industri sawit dan stakeholder lainnya. Pembentukan Satgas demikian dilakukan agar diplomasi sawit dapat dilakukan dengan lebih total, terintegrasi, holistik, terkendali dan terarah sehingga diplomasi untuk menekan/melunakan ancaman Dewan Parlemen Eropa (dan Pemerintah Uni Eropa) bisa lebih efektif.

Kedua, hubungan kelembagaan antara kementerian dan lembaga khususnya Kementerian Luar Negeri dengan Kementerian Perdagangan harus diperkuat. Dalam era liberalisasi dan globalisasi perdagangan kedua kementerian tersebut harus memiliki visi dan misi yang terintegrasi dan saling menguatkan terutama dalam perundingan-perundingan perjanjian perdagangan internasional.

Untuk tujuan ini, ke depan staf dan pejabat Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan sebaiknya bisa mengikuti pendidikan diplomasi  di Sekolah Dinas Luar Negeri Kementerian Luar Negeri.

Untuk jangka panjang juga perlu dikaji penyatuan (merger) antara Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan sehingga bisa disebut Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan (Ministryof Foreign Affairs and Trade). Hal ini untuk mengatasi masalah fragmented government terutama transaction costs dalam proses perizinan dan masalah koordinasi kebijakan.

Ketiga, hubungan kelembagaan antara Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan dan DPR juga harus diperkuat. Mereka harus punya visi dan misi yang saling menguatkan dalam masalah hubungan dan politik luar negeri khususnya dalam proses ratifikasi perjanjian perdagangan internasional.

Pemerintah harus segera mencari jalan keluar sehingga tidak terjadi deadlock di DPR dalam proses ratifikasi perjanjian perdagangan internasional, misalnya dengan mengamendemen UU No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Pemerintah perlu membentuk forum konsultasi yang efektif antara Pimpinan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan dengan Pimpinan DPR untuk melancarkan proses ratifikasi ini.

Di pihak lain, untuk mengatasi ancaman Dewan Parlemen Eropa selain penguatan efektifitas hubungan kelembagaan antara Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan, perlu juga dilakukan penguatan dengan lembaga atau pemerintah di luar negeri, dan dengan lembaga non pemerintah atau LSM di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.

Strategi diplomasi sawit harus terus diperkuat dengan negara-negara pengekspor sawit (Council of Palm Oil Producing Countries). Langkah-langkah diplomasi yang terintregasi dari negara-negara tersebut akan memperkuat bargaining power untuk menekan Dewan Parlemen Eropa (dan Pemerintah Uni Eropa).

Penggalangan kekuatan dengan pressure groups/LSM di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang pro Indonesia atau berpihak pada perlindungan hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat termarginalkan di Indonesia juga perlu dilakukan.

Dalam policy community di Eropa dan Amerika Serikat kelompok-kelompok penekan ini, melalui lobi-lobi kebijakan, memiliki pengaruh yang signifikan dalam memengaruhi pembuatan kebijakan baik di Eksekutif maupun Parlemen. Karena itu penting membentuk dan menggalang aliansi strategis (strategic alliance) dengan kelompok-kelompok penekan ini untuk melunakkan ancaman Dewan Parlemen Eropa (dan Pemerintah Uni Eropa).

Pada kesimpulannya, untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan hubungan dan politik luar negeri sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945 dan UU No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, khususnya mengatasi ancaman Dewan Parlemen Eropa (dan Pemerintah Uni Eropa) tersebut, hanya akan dapat dicapai dengan lebih efektif dengan menggunakan strategi  diplomasi The Whole/Total Diplomacy and Governance Approach (TDAG) melalui penguatan efektifitas hubungan (koordinasi dan integrasi kebijakan) antarlembaga baik dengan lembaga di dalam maupun di luar negeri.

*) Penulis adalah Asisten Deputi pada Kedeputian Bidang Perekonomian, Sekretariat Kabinet

Sumber : Koran Bisnis Indonesia, Jumat 16 Maret 2018

Opini Terbaru