Jubir Satgas Covid-19: Kasus Aktif Indonesia Di Bawah Rata-Rata Dunia

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 11 Agustus 2020
Kategori: Berita
Dibaca: 1.314 Kali

Jubir Satgas Penanganan Covid-19 saat memberikan keterangan pers kepada wartawan di Kantor Presiden, Provinsi DKI Jakarta, beberapa waktu lalu. (Foto: Dokumentasi Setkab)

Persentase jumlah kasus aktif pasien Covid-19 di Indonesia sebesar 30,8% atau 39.082 orang, lebih rendah jika dibandingkan jumlah kasus aktif di dunia yang rata-rata 31,5%, berdasarkan data Kementerian Kesehatan per 10 Agustus 2020.

Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengajak masyarakat mencermati perkembangan kasus dengan melihat data persentase kasus aktif.

“Kasus aktif artinya kasus yang masih aktif di masyarakat, kasus Covid-19, dibandingkan dengan kasus kumulatif atau terkonfirmasi positif, itu menunjukkan jumlah kasus sampai dengan sekarang,” ungkapnya, Selasa (11/8), di Kantor Presiden, Provinsi DKI Jakarta.

Untuk tingkat kesembuhan berada di angka 64,7% atau 82.236 kasus, lanjut Wiku, lalu tingkat kematian berada di angka 4,5% atau 5.765 kasus. “Cara melihat seperti ini, adalah kita harus bisa memastikan kasus aktifnya yang ada setiap harinya makin kecil. Sementara itu kasus kesembuhannya harus makin besar, dan kasus kematiannya harus semakin kecil. Dengan perspektif seperti ini, kita akan bisa melihat lebih alamiah dalam kondisi yang sebenarnya,” lanjut Wiku.

Persentase kesembuhan di Indonesia, kata Wiku, Indonesia berada di angka 64,7% dan dunia juga dalam angka yang sama, sedangkan persentase kematian di Indonesia masih lebih tinggi yaitu di angka 4,5%, sementara di tingkat dunia berada di angka rata-rata 3,64%.

Meskipun angka kematian nasional berada diatas angka dunia, namun secara rincian daerah, Wiku menyebut ada 22 provinsi yang memiliki angka kematian di bawah rata-rata dunia. Ia menambahkan bahwa tiga urutan teratas di antaranya DKI Jakarta (3,56%), Sulawesi Selatan (3,18%) dan Jawa Barat (3%). Kondisi pada 22 provinsi itu, menurut Wiku, harus dipertahankan.

“Tujuan kita bersama adalah menurunkan angka kematian, kalau bisa dibawah angka dunia, dan kesembuhannya diatas rata-rata dunia. Demikian juga kasus aktif harus lebih rendah dari rata-rata dunia,” tambahnya.

Hal yang perlu dipahami adalah perubahan kasus aktif ini sangat dinamis setiap harinya, sehingga dapat mempengaruhi posisi Indonesia bila dibandingkan dengan dunia. Perhatian, menurut Wiku, perlu difokuskan untuk mempertahankan angka kasus aktif tetap diatas persentase dunia, dan angka kasus kematian dapat ditekan hingga di bawah persentase dunia.

Disamping itu, Wiku juga menjelaskan tentang rencana ditetapkannya pembelajaran tatap muka di wilayah kategori zona kuning dan zona hijau. Saat ini, lanjut Wiku, sudah ada Surat Keputusan Bersama dari 4 menteri yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Agama.

Namun, Wiku menyampaikan tetap perlu memperhatikan aspek keselamatan, kesiapan, persetujuan dan simulasi. Satuan lembaga pendidikan harus adanya persetujuan dari pemerintah daerah atau kantor wilayah, kepala sekolah, komite sekolah, orang tua peserta didik.

“Dan jika orang tua tidak setuju, peserta didik dapat di rumah dan tidak dipaksakan,” katanya.

Jika kelak akan diterapkan, Wiku berharap harus dilakukan evuasi bertahap karena banyak sekolah-sekolah di daerah 3T sulit akses digital melaksanakan pembelajaran jarak jauh. “Untuk itu imbauan untuk melakukan simulasi dan bagi daerah yang akan memperbolehkan tatap muka perlu dilakukan dengan baik, perlu dilakukan pengawalan dengan ketat protokol dan pembelajaran tatap muka anak-anak kita,” ujar Wiku.

Khusus pembukaan sekolah tatap muka di zona kuning mensyaratkan izin dari Pemerintah, menurut Wiku, kesiapan sekolah melaksanakan kegiatan dengan protokol dan kesehatan dan persetujuan orang tua.

Sedangkan kurikulum darurat dalam kondisi khusus, karakteristiknya harus menyesuaikan dengan kemampuan siswa, tambah Wiku, lalu memfokuskan pada kompetensi esensial dan prasyarat untuk jenjang berikutnya.

Dalam penerapannya, Ia menambahkan harus berlandaskan 2 prinsip yakni (pertama) kesehatan dan keselamatan semua elemen pendidikan serta tumbuh kembang peserta didik dan kondisi psikososial.

“Jika terindikasi kondisi tidak aman dan peningkatan risiko, satuan pendidikan wajib ditutup,” tegas Wiku. (Tim Komunikasi Komite Penanganan Covid-19 dan PEN/EN)

Berita Terbaru