Kantor UKP PBM Gelar FGD Faktor Cadangan Hidrokarbon dalam Perundingan Batas Maritim
Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Penetapan Batas Maritim antara Indonesia dan Malaysia (UKP-PBM) telah menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Relevant Circumstances Hidrokarbon dalam perundingan penetapan batas maritim antara Indonesia dan Malaysia, di Hotel Aston Premier, Bandung, Jawa Barat, Senin (7/12) lalu.
Dalam sambutannya pada pembukaan FGD, Utusan Khusus Presiden Indonesia Eddy Pratomo mengemukakan, bahwa perundingan perbatasan maritim diperlukan masukan dari berbagai pemangku kepentingan mengenai aspek politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan.
Khusus untuk aspek teknis juga perlu dipahami mengenai kartografi, geografi, hidrografi yang sangat berkaitan erat dengan penetapan batas maritime, kata Eddy.
Utusan Khusus Presiden Indonesia itu menggarisbawahi bahwa aspek teknis mengenai keberadaan cadangan hidrokarbon di dasar laut/landas kontinen di perbatasan maritim Indonesia dengan negara tetangga merupakan suatu hal yang mutlak harus diperhatikan, mengingat kepentingan untuk mengamankan cadangan energi nasional ke depannya.
Pengetahuan mengenai aspek teknis ini akan memastikan bahwa seluruh kepentingan nasional telah dipertimbangkan dalam merumuskan opsi penarikan garis batas maritim yang akan dirundingkan, jelas Eddy.
Sumberdaya hidrokarbon, lanjut Eddy, merupakan faktor penting yang melatarbelakangai negara-negara untuk mengklaim hak berdaulat di landas kontinen. Ia menyebutkan, perhatian negara-negara pantai terhadap hidrokarbon berawal dari tindakan Amerika Serikat pada saat mengumumkan Truman Proclamation, yaitu proklamasi pertama oleh Amerika Serikat untuk landas kontinen tahun 1945, yang ditujukan untuk mengamankan cadangan minyak di lepas pantai Amerika Serikat.
Paska berlakunya Konvensi tentang Landas Kontinen 1958 (Geneva Convention 1958), Indonesia secara konsisten melakukan perundingan batas landas kontinen dengan beberapa negara seperti Malaysia, Thailand, India, Australia, dan Papua Nugini, papar Eddy seraya menyebutkan, tujuan Indonesia untuk memastikan batas landas kontinen itu adalah untuk mengamankan cadangan hidrokarbon di landas kontinen perbatasannya.
Menurut Utusan Khusus Presiden untuk Penetapan Batas Maritim antara Indonesia dan Malaysia itu, FGD ini bertujuan mengumpulkan informasi dan masukan guna memagari potensi ekonomi, utamanya kandungan hidrokarbon seperti minyak dan gas, mineral lainnya yang dapat diekstraksi di lantas kontinen yang terletak di wilayah yang berbatasan dengan Malaysia, dimana Indonesia memiliki hak berdaulat berdasarkan rezim hukum internasional di Konvensi PBB tentang Hukum Laut/United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.
FGD diikuti oleh perwakilan dari Kemenko Kemaritiman, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian ESDM, Sekretariat Kabinet, Badan Informasi Geospasial, DISHIDROS TNI AL, SKK Migas dan para pemangku kepentingan dan praktisi di bidang perminyakan.
Kelanjutan FGD Yogyakarta
Eddy menjelaskan, FGD ini merupakan bagian dari rangkaian FGD yang dilaksanakan oleh Kantor UKP-PBM, dan lanjutan dari FGD Aspek Teknis yang telah terlaksana sebelumnya di Yogyakarta, pada 26 Oktober 2015.
FGD ini merupakan bagian dari Program Kerja bagian 1 (konsolidasi, sosialisasi dan persiapan internal) sebagai salah satu upaya persiapan untuk memperoleh masukan dan upaya sosialisasi terhadap isu yang ditangani oleh UKP-PBM kepada semua pemangku kepentinan, ungkap Eddy.
Hasil FGD ini, menurut Utusan Khusus Presiden RI itu, akan dijadikan salah satu bahan pertimbangan dalam merumuskan posisi Pemerintah RI untuk penyelesaian perbatasan maritime antara Indonesia dan Malaysia di seluruh segmen batas laut, yang akan dimulai dari Laut Sulawesi. (ES)