Kawasan Transmigrasi Sebagai Epicentrum of Growth

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 15 September 2023
Kategori: Opini
Dibaca: 9.005 Kali

Kevin Hutapea (kedua dari kiri) saat melakukan pemantuan ke daerah transmigrasi di Indonesia

Oleh: Kevin Hutapea, S.H.

Perkembangan Transmigrasi di Indonesia
Mengenal transmigrasi artinya mengenal komitmen para pendiri bangsa kita dalam usaha menggalakkan industri di Indonesia utamanya di luar Pulau Jawa. Istilah transmigrasi pertama kali dikemukakan oleh presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno dalam Harian Soeloeh Indonesia. Kemudian dalam Konferensi Ekonomi pada tanggal 3 Februari 1946 di Kaliurang, Yogyakarta, Dr. Drs. H. Mohammad Hatta menyampaikan “Industrialisasi besar-besaran harus segera dibangun di luar Pulau Jawa, dan untuk itu diperlukan pemindahan penduduk Jawa sebagai tenaga kerjanya”.

Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Desember 1950 pertama kali dilaksanakan pemindahan penduduk dari Jawa Tengah ke Lampung dan Lubuk Linggau dengan nama transmigrasi. Konsep transmigrasi pada saat itu adalah memindahkan penduduk dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa serta pembukaan daerah baru. Namun sejak adanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian terjadi perubahan paradigma menjadi pembangunan transmigrasi berbasis kawasan untuk mewujudkan pusat pertumbuhan baru. Saat ini terdapat 52 Kawasan Transmigrasi Prioritas Nasional sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024, seluruh kawasan tersebut merupakan kawasan yang sudah ada sebelumnya dan diagendakan untuk direvitalisasi dan dapat bertumbuh secara multidimensi. Pemberangkatan calon transmigran nantinya akan ditempatkan di antara 52 kawasan transmigrasi tersebut untuk menunjang pembangunan kawasan melalui sumber daya manusia yang unggul.

Sumber daya manusia menjadi salah satu faktor penentu dalam membangun daerah melalui transmigran yang bermukim dan menetap di suatu daerah, hal ini dapat dilihat dari munculnya daerah-daerah pusat pertumbuhan baru melalui program transmigrasi dengan terwujudnya 1.567 desa definitif, 466 ibu kota kecamatan, 116 ibu kota kabupaten, dan 3 ibu kota provinsi. Meski demikian, hal ini berbanding terbalik antara transmigran yang diberangkatkan pada tahun 2022 sejumlah 571 kepala keluarga dengan tahun 2015 sejumlah 3.568 kepala keluarga. Terdapat penurunan yang signifikan dari jumlah transmigran yang diberangkatkan, padahal dalam Rapat Koordinasi Nasional Transmigrasi Tahun 2023 disampaikan bahwa terdapat 5.701 kepala keluarga yang berminat mendaftar sebagai calon transmigran, dari angka tersebut terlihat ketimpangan yang cukup besar antara upaya persebaran penduduk dan pemerataan ekonomi di Indonesia melalui pelaksanaan program transmigrasi.

Salah satu penyebab tingginya animo calon transmigran adalah karena adanya pemberian tempat tinggal dan lahan usaha oleh pemerintah, sehingga transmigran mendapat kesempatan untuk berusaha di daerah yang baru. Sebagai contoh salah satu hasil pembangunan di kawasan transmigrasi yang ditargetkan menjadi kawasan berdaya saing yaitu Kawasan Transmigrasi Lagita di Provinsi Bengkulu, mayoritas transmigran di kawasan tersebut memiliki usaha sebagai petani sawit melalui lahan-lahan usaha yang ada di kawasan transmigrasi. Selain itu, pengembangan fasilitas di Kawasan Transmigrasi Lagita dapat dibilang cukup lengkap, salah satunya dari sarana pendidikan sudah tersedia Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan perguruan tinggi serta terdapat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lagita untuk sarana kesehatan.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian, tahapan pelaksanaan transmigrasi meliputi perencanaan kawasan transmigrasi, pembangunan kawasan transmigrasi, dan pengembangan masyarakat transmigrasi dan kawasan transmigrasi. Setelah ada kepastian kesempatan kerja atau usaha dan tempat tinggal di kawasan transmigrasi maka dilaksanakan pelayanan perpindahan dan penempatan bagi transmigran. Pengembangan selanjutnya dilakukan dengan mewujudkan kawasan transmigrasi sebagai satu kesatuan sistem pengembangan ekonomi wilayah. Kawasan transmigrasi dibangun dan dikembangkan di kawasan perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam pada wilayah/lokasi potensial untuk mewujudkan serta mendukung pusat pertumbuhan wilayah baru sebagai Kawasan Perkotaan Baru (KPB).

Secara garis besar, pada periode tahun 2020-2024 kawasan transmigrasi berkembang secara positif dalam memajukan infrastruktur serta perekonomian di suatu daerah. Meski demikian, sampai dengan tahun 2023 dibutuhkan percepatan penyelesaian inventarisasi dan verifikasi Hak Pengelolaan di lahan transmigrasi sejumlah 71 lokasi dengan luas 354.870 hektara. Dalam hal pengembangan ekonomi berbasis kawasan, masih dibutuhkan dukungan pemerintah khususnya terkait dengan pemenuhan hak transmigran atas lahan-lahan usaha yang menjadi sumber pendapatan utama bagi transmigran saat ditempatkan di kawasan transmigrasi.

Mewujudkan Pusat Pertumbuhan Baru (Epicentrum of Growth)
Dalam konteks pembangunan, program transmigrasi juga turut mengembangkan desa-desa terpencil dan daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T). Kawasan transmigrasi sebagai bagian dari program nasional juga secara konsisten berkembang dengan menggunakan pendekatan ekonomi inklusif melalui kerja sama dengan pihak swasta dalam mendistribusikan produk unggulan daerahnya masing-masing. Hal ini menjadi upaya percepatan pembangunan daerah-daerah di luar Pulau Jawa yang memiliki potensi sebagai motor penggerak pembangunan daerah untuk meningkatkan daya saing daerah yang masih rendah.

Potensi unggulan yang dapat menunjang ekonomi daerah perlu dikembangkan bersama-sama melalui kolaborasi pentahelix yang berorientasi pada sumber daya manusia yang unggul dan digitalisasi. Penguatan difokuskan terhadap keberhasilan pembangunan dan kesejahteraan transmigran secara berkelanjutan yang tentunya melibatkan pemerintah, masyarakat, akademisi/perguruan tinggi, swasta, dan media. Masing-masing pihak membutuhkan kesempatan berinvestasi dan menerapkan teknologi yang tidak sedikit, sehingga dibutuhkan kolaborasi dan kemitraan untuk mewujudkannya. Melanjutkan semangat dibentuknya program transmigrasi pertama kali, maka pembangunan di luar Pulau Jawa dapat dikembangkan secara besar-besaran guna terciptanya kawasan ekonomi baru.

Presiden telah menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 50 Tahun 2018 tentang Koordinasi dan Integrasi Penyelenggaraan Transmigrasi (KIPT) sebagai wadah pembentukan Tim KIPT dalam berkoordinasi dan mengintegrasikan program/kegiatan strategis kementerian/lembaga yang ada di kawasan transmigrasi serta menginventarisir permasalahan di tingkat pusat maupun daerah. Selain itu, Tim KIPT juga dapat mengawal serta mengevaluasi secara berkesinambungan atas program/kegiatan seperti apa yang dapat dilaksanakan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan transmigran serta penduduk di kawasan transmigrasi. Konsep membangun pusat pertumbuhan baru (epicentrum of growth) dapat menjadi fokus utama dalam mendorong fokus pembangunan transmigrasi melalui kolaborasi berbentuk kemitraan dengan stakeholder lainnya di berbagai sektor strategis. Dengan dukungan implementasi Tim KIPT, penyampaian program dan kegiatan strategis dari tingkat daerah hingga pusat dapat memperkuat pertumbuhan ekonomi dan menjawab tantangan yang ada di kawasan transmigrasi. Sehubungan dengan pengembangan kawasan, transmigran juga diakomodir untuk dapat bermitra dengan pihak swasta untuk memperbaiki pertumbuhan ekonomi maupun infrastruktur guna meningkatkan iklim investasi yang ada di kawasan transmigrasi. Dalam Rapat Koordinasi Nasional Transmigrasi Tahun 2023 telah dilakukan penandatanganan antara pemerintah dengan pihak swasta yang terlibat dalam pelaksanaan transmigrasi.

Merefleksikan pembangunan dan pengembangan di kawasan transmigrasi yang secara jangka panjang memiliki kinerja pertumbuhan positif, idealnya dapat dilakukan percepatan pertumbuhan ekonomi melalui dukungan kebijakan strategis yang ada di kawasan transmigrasi maupun berintegrasi dengan program strategis nasional lainnya seperti ketahanan pangan, investasi, sampai dengan pembangunan infrastruktur. Sejalan dengan hal itu, Indonesia dan dunia yang saat ini sedang bersama-sama melakukan pemulihan dari segala sektor sebagai dampak penyebaran COVID-19 dapat menjadikan program transmigrasi sebagai alternatif poros pembangunan pusat pertumbuhan baru (epicentrum of growth). Hal ini menjadi momentum yang tepat dalam memanfaatkan peluang ini untuk mendukung percepatan pemulihan ekonomi di Indonesia dengan mengembangkan potensi daerah hingga mencapai skala internasional.

–//–

*) Analis Hukum pada Subbidang Peningkatan Mutu Transmigran, Deputi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Setkab

Opini Terbaru