Kebijakan Berbasis Penelitian

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 11 Januari 2017
Kategori: Opini
Dibaca: 109.080 Kali

khusnul baru

Kusnul Nur Kasanah, Keasdepan Bidang Kelautan dan Perikanan Deputi Bidang Kemaritiman

Mengutip pernyataan Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) dalam acara “Talkshow dan Launching Organisasi Profesi Analis Kebijakan” tanggal 9 September 2016, bahwa “tantangan terbesar bagi pemerintah adalah bagaimana memproduksi kebijakan berkualitas sehingga memperkuat daya saing Indonesia dengan peluang dan sumber daya yang dimiliki. Kebijakan publik yang berkualitas dan aplikatif adalah berdasarkan bukti-bukti  yang memadai”.

Lantas bukti-bukti apa yang layak dijadikan dasar pembuatan kebijakan ?. Bukti mencakup “pengetahuan pakar, hasil penelitian yang dipublikasikan, statistik, konsultasi dengan pemangku kepentingan, evaluasi-evaluasi kebijakan sebelumnya, internet, hasil-hasil dari konsultasi, hitungan biaya opsi-opsi kebijakan, dan keluaran dari pemodelan ekonomi dan statistik” (Dikutip dari Kantor Kabinet Pemerintah Inggris dalam Marston dan Watts, 2003).

Pakar lain, Campbell menekankan bahwa bukti dapat berasal dari berbagai sumber dan tidak selalu dari penelitian, dalam hal ini bukti mengacu pada “pengetahuan terkini yang terbaik”, namun harus “relevan, representatif, dan valid”.

Penggunaan bukti dalam pengambilan kebijakan (evidence based policy) dewasa ini semakin dinilai sangat penting dan menjadi tuntutan. Salah satu dasar bukti kebijakan yang mampu mengilmiahkan kebijakan adalah hasil penelitian. Penggunaan hasil penelitian yang tidak akurat dalam pengambilan kebijakan dapat menyebabkan kegagalan kebijakan. Perubahan paradigma dalam pengambilan kebijakan berbasis bukti membuka peluang besar bagi para peneliti untuk berpartisipasi dalam penyusunan kebijakan melalui kerjasama dengan para pengambil kebijakan, namun demikian masih diperlukan upaya untuk memastikan agar penelitian dapat diakses oleh para pembuat kebijakan sehingga hasil penelitiannya dapat digunakan secara lebih efektif.

Di Indonesia penggunaan penelitian sebagai dasar pembuatan kebijakan belum cukup membumi, meskipun keran peran serta peneliti dalam penyusunan Peraturan Perundang-Undangan sebagai instrumen kebijakan telah dibuka melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa dalam penyusunan peraturan perundang-undangan selain harus melibatkan perancang peraturan perundang-undangan juga harus melibatkan peneliti. Namun, permasalahannya saat ini adalah relasi antara lembaga penelitian sebagai para pihak penyedia data dan hasil-hasil penelitian dengan pihak pengambil kebijakan belum optimal. Penyebab utamanya adalah kurangnya kualitas dan kuantitas penelitian yang relevan dengan prioritas kebijakan pemerintah, serta belum optimalnya akses pengambilan kebijakan terhadap hasil penelitian yang relevan.

Banyak kebijakan dibuat berdasarkan ideologi, intuisi, pengalaman, opini publik, atau dibuat berdasarkan kepentingan-kepentingan politik. Bahkan beberapa tokoh berpandangan sinis tentang pembuatan kebijakan, Keynes mengatakan “Tak ada yang lebih dibenci oleh suatu pemerintahan selain pengetahuan yang lengkap dan rinci, karena hal tersebut membuat proses untuk sampai ke keputusan-keputusan menjadi jauh lebih kompleks dan sulit”. Sedangkan Cook menyatakan “Tujuan utama politisi adalah lebih agar dipilih kembali daripada menghargai bukti”, dan Kogan menyampaikan  “Pemerintah akan berupaya melegitimasi kebijakan-kebijakannya dengan mengacu pada gagasan tentang pengambilan keputusan berbasis bukti, namun pemerintah hanya menggunakan bukti penelitian jika bukti tersebut mendukung prioritas-prioritas mereka yang digerakkan secara politis”.

Dasar-dasar pembuatan kebijakan yang “tidak ilmiah” tersebut sebenarnya tidak hanya didominasi terjadi di negara berkembang, negara-negara maju sekalipun masih menggunakan dasar-dasar seperti itu dalam pengambilan kebijakannya. Paradigma “pengambilan kebijakan berbasis bukti” sendiri baru mulai marak tahun 1997 yang dipopulerkan oleh Perdana Menteri Inggris, Tony Blair.

Bagaimana di Indonesia ?

Menelurkan kebijakan berdasarkan bukti ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan tidaklah mudah, butuh proses yang kompleks, sedangkan pekerjaan untuk menghasilkan bukti itu sendiri tidak kalah rumitnya. Dimana tidak semua penelitian cukup memiliki kualitas yang memadai sebagai sumber bukti bagi proses penyusunan kebijakan. Terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam menghasilkan penelitian di Indonesia,

  1. Sumber Daya

Keterbatasan sumber daya baik manusia, anggaran, maupun parasarana dan sarana seolah selalu menjadi permasalahan klasik dalam berbagai hal di Indonesia, termasuk dalam hal menghasilkan penelitian. Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan infrastruktur yang tidak merata menyebabkan ada beberapa wilayah yang sulit dijangkau sehingga menjadikan kendala tersendiri bagi para peneliti, sedangkan kebijakan idealnya harus mampu mengakomodir kepentingan dan kebutuhan seluruh warga negara dimanapun mereka berdomisili. Disamping itu dengan sistem desentralisasi, dimana ada pembagian kewenangan yang menuntut kebijakan dibuat oleh Pusat dan Daerah, tentu akan sulit untuk menstandarkan kualitas kebijakan yang sama antar daerah bila melihat tingkat kemajuannya yang berbeda, terlebih bila dibandingkan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat.

Permasalahan lain yang juga banyak dialami negara berkembang pada umumnya adalah kesulitan dalam menjamin kepastian pembiayaan. Dilansir dari pernyataan Menteri Ristek Dikti (September 2016), alokasi belanja Litbang (penelitian dan pengembangan) di Indonesia masih sangat minim. Data tahun 2015, nilainya masih berkisar 0,2 persen dari PDB (sekitar Rp 17 triliun). Jika dibandingkan dengan negara lain, belanja litbang Indonesia dalam posisi paling bawah di ASEAN. Bandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika yang mengalokasikan anggarannya sebesar 2,7 persen, Jerman 2,85 persen, Singapura dan Thailand 2,5 persen, Jepang 3,4 persen dan Taiwan 2,35 persen. Padahal, masih menurut Menteri Ristek Dikti, pendanaan kegiatan litbang yang signifikan akan berdampak pada peningkatan kualitas dan kuantitas hasil penelitian. Peningkatan pembiayaan litbang Indonesia tidak sepesat kenaikan APBN. Data yang dipublikasikan LIPI, rasio anggaran litbang terhadap APBN yang dihitung dari tahun 1969 sampai 2009 menujukkan pola yang terus menurun. Hal ini menggambarkan bahwa perhatian pemerintah terhadap program litbang pada awal pembangunan cukup tinggi dan selanjutnya turun secara drastis menuju keadaan stagnan. APBN telah mengalami kenaikan 4000 kali lipat sementara program litbang hanya naik 420 kali lipat.

Dengan kondisi tersebut, tantangan penelitian bukan hanya bagaimana menghasilkan penelitian yang berkualitas, namun tepat guna dan efisien dalam penggunaan anggaran, padahal di sisi lain kegiatan penelitian membutuhkan biaya yang besar, khususnya ketika penelitiannya menuntut metodologi yang lebih akurat.

  1. Ketersediaan Data

Keberadaan Badan Pusat Statistik (BPS) memang sangat membantu bagi ketersediaan data, demikian pula dengan data-data statistik seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan politik yang dihasilkan oleh kementerian terkait, namun sejauh ini informasi publik yang seharusnya disediakan di sebuah situs jaringan resmi, pada kenyataannya statistik tersebut bisa jadi sangat sulit di akses. Pun ketika Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sudah diberlakukan. Disamping itu dalam proses pengumpulan data sering dihadapkan pada birokrasi yang tidak perlu, pemenuhan persyaratan administratif yang memakan waktu lama sehingga menghambat, untuk itu dibutuhkan upaya untuk memangkas birokrasi. Hal lain yang dibutuhkan adalah partisipasi seluruh lembaga penelitian dalam hal keterbukaan dan berbagi data untuk menghindari duplikasi penelitian.

Persoalan data yang lain adalah Indonesia belum memiliki sistem yang mampu menyediakan data secara komprehensif dan lengkap baik dari aspek time series (waktu) maupun aspek substansi (bidang/sektor), hal tersebut sering menyulitkan para pengambil kebijakan ketika dituntut untuk menghasilkan kebijakan secara cepat dan mendesak, namun harus berdasarkan bukti yang valid dan relevan. Sumber data yang secara tunggal dilegitimasi oleh negara untuk dipakai sebagai dasar bagi seluruh pemangku kepentingan dalam pembuatan kebijakan juga belum ada, hanya penggunaan data peta tunggal saja yang telah dikukuhkan sah secara hukum, dimana akselerasinya telah diupayakan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta.

  1. Hasil Penelitian dan Kebutuhan Kebijakan

Menghasilkan penelitian sebagai bukti kebijakan memang sangat penting, namun yang tidak kalah penting adalah peneliti harus mampu mengajukan pertanyaan penelitian yang tepat, sehingga, hasil-hasil penelitian menjadi aplikatif, sesuai dengan kebutuhan dan logika berfikir para pembuatan kebijakan.

Permasalahan yang ada saat ini adalah tidak inline-nya topik-topik penelitian yang dihasilkan dengan kebutuhan para perumus kebijakan yang disebabkan kurangnya komunikasi dan koordinasi lembaga penyedia penelitian dan pengguna penelitian, sehingga hasil-hasil penelitian menjadi tidak aplikatif dan tidak bermanfaat secara luas. Dengan kondisi tersebut, antara permintaan dan penawaran penelitian tidak dapat bertemu dalam suatu titik keseimbangan. Jika pembuat kebijakan diajak berdiskusi tentang pandangan dan kebutuhannya, dan dilibatkan sejak proses awal penelitian, maka akan ada keterkaitan dengan penelitian tersebut dan hasilnya berpeluang besar untuk digunakan dalam perumusan kebijakan.

  1. Bahasa Penelitian dan Bahasa Kebijakan

Salah satu persoalan yang menghambat dijadikannya hasil penelitian sebagai bukti bagi penyusunan kebijakan adalah bahasa penelitian yang ilmiah tidak dapat secara mudah dan tepat dituangkan oleh pembuat kebijakan dalam norma kebijakan. Meskipun dalam beberapa topik, penelitian yang memadai sudah tersedia, penelitian tersebut tidak akan digunakan di kalangan pembuat kebijakan jika isinya tidak dapat dipahami. Untuk itu, bahasa penelitian hendaknya diterjemahkan ke dalam bentuk yang dapat dimengerti dan diterapkan oleh pembuat kebijakan.

Lembaga penelitian perlu membangun jaringan dengan birokrasi. Peneliti harus memiliki kemampuan menterjemahkan hasil-hasil penelitian agar sesuai dengan logika pembuat kebijakan sebab hasil penelitian tidak dapat dengan serta merta langsung diimplementasikan. Para birokrat pengambil kebijakan mempunyai logika berfikir yang berbeda, sehingga harus ada pihak yang mampu menerjemahkan dan mendesain hasil-hasil penelitian ke dalam bahasa birokrasi agar dapat dituangkan dalam norma-norma kebijakan.

Dengan berbagai permasalahan dan tantangan yang ada, komitmen pemerintah yang besar untuk merubah paradigma menjadi “evidence based policy” dalam proses pembuatan kebijakan akan menjadi modal dasar meng-habit-kan kebijakan berbasis penelitian, dan tentunya juga perlu didukung oleh seluruh komponen birokrasi pemerintah (baik level strategis maupun teknis) sebagai garda terdepan dalam penyusunan kebijakan. Dari lingkungan birokrasi sendiri, terdapat beberapa hal yang perlu diupayakan agar hasil penelitian dapat hadir dan memiliki akses untuk masuk dalam ruang-ruang pengambilan keputusan kebijakan, yaitu:

  1. Dibutuhkan “tokoh” di dalam tubuh birokrasi yang akan terlibat dan memberi arahan secara langsung. Tokoh yang dibutuhkan ini, sebaiknya pejabat yang secara level pengambilan keputusan memiliki posisi strategis, yang selanjutnya akan akan memberikan instruksi kepada jajaran di bawahnya.
  2. Diperlukan komitmen yang kuat guna memberi arahan kebijakan apa saja yang dibutuhkan dan bagaimana penelitian yang ada dapat menjawab kebutuhan. Komitmen yang kuat dibutuhkan untuk membangun sistem agar komitmen dari penentu kebijakan dapat berkelanjutan dalam kondisi struktur birokrasi yang dinamis, dimana pergantian pimpinan level strategis cukup sering terjadi di institusi pemerintah.
  3. Diperlukan profesionalitas, independensi dan memegang teguh kode etik tentu menjadi tuntutan keniscayaan untuk mengasilkan penelitian yang relevan, representatif, dan valid, sehingga hasil penelitiannya dapat menghasilkan kebijakan yang benar bukan untuk membenarkan kebijakan.
  4. Dibutuhkan dukungan dana, pendanaan memang selalu menjadi komponen penting dalam setiap kegiatan, namun dukungan dana saja sesungguhnya tidak akan cukup untuk meningkatkan posisi tawar penggunaan penelitian dalam pembuatan kebijakan, oleh karenanya dibutuhkan kolaborasi empat faktor, komitmen, tokoh, profesionalisme, dan dana.
Opini Terbaru