Kebijakan Fiskal Daerah dalam rangka Pemerataan dan Kemandirian Pemerintahan Daerah
Oleh: Aprilia Dwi Ariyanti, S.H.*)
Penyelenggaraan pelayanan publik yang optimal dan pencapaian kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan utama diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia. Pencapaian dimaksud dapat terwujud melalui kondisi di mana terjadi pemerataan dan kemandirian daerah otonom. Hal ini berkenaan dengan basis penerapan otonomi daerah sebagai sistem untuk memajukan daerah, yang pada saat bersamaan juga memajukan negara dan bangsa secara keseluruhan.
Dalam kerangka negara kesatuan sebagaimana di Indonesia, penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai daerah otonom harus tetap selaras dengan pemerintah pusat yang terwujud dalam hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda). Hubungan kewenangan dalam konteks di Indonesia diwujudkan dalam pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemda. Selain kewenangan yang dibagi untuk masing-masing satuan pemerintahan, terdapat pula penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemda untuk melaksanakan kewenangan pemerintah pusat di daerah. Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah membawa implikasi pada hubungan keuangan atau yang diistilahkan sebagai desentralisasi fiskal. Hubungan kewenangan dimaksud, diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).
Desentralisasi fiskal adalah penyerahan kewenangan fiskal dari otoritas negara kepada daerah otonom. Pelaksanaan desentralisasi tersebut selalu terkait dengan penyerahan, penyebaran, ataupun pembagian fungsi dan kewenangan. Untuk itu, diperlukan dukungan pendanaan yang memadai melalui kebijakan desentralisasi fiskal. Tanggung jawab finansial merupakan inti dari desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal mengandung dua filosofi yakni tanggung jawab pemerintah pusat sebagai konsekuensi pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta kemampuan daerah yang memiliki tanggung jawab pelayanan untuk membiayai sendiri pemerintahannya sebagai konsekuensi sebagai daerah otonom. Untuk itu, pemerataan menyentuh aspek mengecilnya ketimpangan antardaerah sebagai bagian dari tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan kemandirian merujuk pada kapasitas daerah dalam menyelenggaraan pelayanan publik di daerah.
Dari sisi pemerataan, ketimpangan antardaerah dapat memberikan gambaran belum optimalnya tingkat pemerataan daerah di Indonesia. Indikator sederhana untuk melihat ketimpangan atau kesenjangan antardaerah dapat ditunjukkan dengan perbandingan pertumbuhan ekonomi daerah yang memberikan kontribusi pada produk domestik bruto (PDB) secara nasional. Indikator lain dapat dilihat dari tingkat kemiskinan masing-masing wilayah di mana data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan sampai tahun 2021, tingkat kemiskinan di daerah-daerah di wilayah timur Indonesia rata-rata lebih tinggi dari pada daerah-daerah di wilayah barat Indonesia.
Selanjutnya, dari sisi kemandirian, kondisi dapat dilihat dari beberapa indikator, antara lain Indeks Kemandirian Daerah, kinerja fiskal daerah, dan perbandingan antara kapasitas pendapatan asli daerah (PAD) dengan transfer ke daerah (TKD) dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Indeks Kemandirian Daerah yang termuat dalam Laporan Hasil Reviu atas Kemandirian Fiskal Pemerintah Daerah, terakhir dirilis pada Mei 2021 untuk hasil tahun 2020 menunjukkan bahwa sebagian besar pemda masuk dalam kategori “Belum Mandiri”. Kinerja fiskal daerah terlihat dari banyaknya daerah mengalami kontraksi belanja daerah dan di tahun 2022 yang terjadi secara merata di seluruh wilayah Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar daerah mengalami pertumbuhan tidak positif untuk belanja daerah hingga April 2022.
Kebijakan fiskal sebagai kebijakan yang berorientasi pada penyesuaian antara pendapatan dan pengeluaran pemerintah yang ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja, merupakan kebijakan yang krusial dalam menentukan penyelenggaraan pemerintahan daerah guna mencapai pemerataan dan kemandirian daerah.
Kebijakan yang diharapkan
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya melalui pilihan-pilihan kebijakan yang didesain untuk mencapai pemerataan kesejahteraan sekaligus mendorong kemandirian daerah. Pemerataan pembangunan melalui pemenuhan berbagai infrastruktur secara pesat dan meluas ditingkatkan untuk mempermudah akses dan mobilitas sehingga dapat meningkatkan pula pemerataan ekonomi antardaerah. Begitu pula dengan pembangunan kawasan–kawasan ekonomi khusus agar daerah dapat mengoptimalkan potensi ekonomi yang dimiliki. Melihat berbagai data yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi bertahan pada angka atau indeks yang cukup baik maka tentu kebijakan-kebijakan dimaksud perlu untuk terus dilakukan.
Guna mengoptimalkan kebijakan yang telah dilaksanakan, perlu mengekskalasi pembangunan infrastruktur di daerah menuju integrasi serta perbaikan tata kelola dari kawasan-kawasan ekonomi yang telah dibangun. Selain itu, pendataan potensi ekonomi perlu dibarengi dengan pembukaan kesempatan investasi yang lebih merata di seluruh wilayah di Indonesia. Untuk menjaga kondisi ekonomi daerah yang berkontribusi pada stabilitas dan bahkan peningkatan ekonomi di pusat, pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan salah satunya melalui pengendalian inflasi daerah yang telah serentak dilakukan secara nasional. Penetapan berbagai indikator yang terukur yang diikuti dengan penetapan target tertentu juga mempengaruhi program-program yang ditetapkan untuk meningkatkan pemerataan kesejahteraan dan pembangunan di daerah.
Pada prinsipnya, pemerataan dapat dicapai dan ditingkatkan secara signifikan melalui peran bersama dengan memanfaatkan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah maupun antarpemerintah daerah. Salah satu instrumen yang dapat dimanfaatkan yakni dengan mendorong peningkatan dan penguatan kerja sama daerah, baik kerja sama antardaerah, kerja sama dengan pemerintah daerah dan/atau lembaga di luar negeri, maupun sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam berbagai bidang dan urusan pemerintahan.
Sementara itu, dalam hal meningkatkan kemandirian daerah, pemerintah pusat perlu terus melakukan pembinaan dan pengawasan, sementara pemerintah daerah perlu melaksanakan peningkatan performa kinerja fiskal daerah yang tercermin dari pemilihan program dan kegiatan daerah, serta kualitas serapan APBD. Guna meningkatkan PAD, pemerintah daerah perlu lebih banyak melakukan inovasi yang tentunya tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan misalnya inovasi dalam pajak daerah, penggunaan alternatif pembiayaan seperti utang daerah, obligasi daerah, kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU), atau pemanfaatan dana abadi daerah, yang beberapa kali disinggung Presiden dalam arahannya pada rapat-rapat terbatas.
Perwujudan kebijakan fiskal daerah adalah dengan ditetapkannya UU HKPD yang meletakkan landasan baru bagi pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang lebih tertib dan terukur. UU HKPD menyatukan pengaturan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. UU HKPD ditetapkan karena, antara lain, dalam praktik pelaksanaan kedua UU tersebut belum memberikan lompatan signifikan dalam pemerataan layanan publik dan kesejahteraan masyarakat atas capaian berbagai indikator ekonomi dan sosial, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan APBD sebagai kesatuan kebijakan fiskal nasional belum selaras dan sinergis secara optimal, serta pengelolaan belanja dalam APBD yang belum optimal.
Beberapa pengaturan baru dalam UU HKPD yakni perubahan konsep dari perimbangan menjadi TKD dalam penyelenggaraan desenstralisasi fiskal yang lebih luas; pengetatan aturan terkait dana alokasi umum (DAU) yang lebih mendasarkan pada kebutuhan pelayanan publik daerah, serta pemberlakuan alokasi yang tidak ditentukan penggunaanya (block grant) dan akan ditentukan penggunaannya (specific grant) berdasarkan kinerja daerah; pengalokasian DAK fokus pada tujuan; memperkenalkan insentif fiskal; dan perubahan konsep pengaturan terkait penyaluran.
Selanjutnya penambahan ketentuan alokasi anggaran untuk setiap perangkat daerah ditentukan berdasarkan target kinerja pelayanan publik setiap urusan pemerintahan (tidak berdasarkan pertimbangan pemerataan antarperangkat daerah atau alokasi anggaran pada tahun anggaran sebelumnya); penambahan ketentuan batas paling tinggi alokasi belanja pegawai di luar tunjangan guru yakni 30 persen dari total belanja APBD; penambahan kewajiban pengalokasian serta persentase minimal pengalokasian untuk belanja infrastruktur (40 persen); penambahan ketentuan pembentukan dana abadi daerah, serta konsep sinergi kebijakan pendanaan infrastruktur dan sinergi kebijakan fiskal nasional. Terdapat setidaknya 14 amanat pengaturan lebih lanjut dalam UU HKPD.
Kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan dalam UU HKPD kiranya sudah mengarah pada perbaikan secara konsep maupun teknis untuk dapat mencapai pemerataan sekaligus kemandirian daerah. Oleh karena itu, penting kiranya agar UU HKPD dapat segera berlaku operasional melalui percepatan penetapan peraturan pelaksana yang memuat amanat-amanat dimaksud.
Semua pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga legislatif pusat dan daerah, dan masyarakat perlu mendukung kebijakan yang telah ditetapkan dalam UU HKPD tersebut, agar terwujud pemerataan dan kemandirian pemerintahan daerah.
_______________
*) Kepala Subbidang Otonomi Daerah, Deputi Bidang Polhukam, Setkab