Kelembagaan Pemberian Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 5 Desember 2023
Kategori: Opini
Dibaca: 2.848 Kali

Oleh: Hermawan Susanto *)

Mencermati ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), baik sebelum maupun pasca perubahan/amandemen, sistem pemerintahan yang dipilih oleh Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensial (PSHK, 2000). Warna sistem pemerintahan presidensial memang nampak menjadi lebih jelas sejak 4 (empat) kali perubahan UUD 1945, yakni dengan perubahan doktrin yang sebelumnya dari pembagian kekuasaan (distribution of power) menjadi pemisahan kekuasaan (separation of power). Dalam sistem pemerintahan presidensial, tidak ditemukan legitimasi konseptual mengenai kewenangan menteri untuk membentuk peraturan menteri (Permen). Bahkan kalau kita telusuri lebih mendalam, kewenangan tersebut justru melanggar konsep teori nondelegasi dan doktrin presidential law making. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pembentukan Permen (maupun peraturan kepala lembaga) sudah lazim dilakukan dalam praktik pemerintahan di Indonesia. Pembentukan Permen dalam praktik di Indonesia merupakan peninggalan dari sistem pemerintahan parlementer di masa lalu, yang berdasarkan beberapa literatur dan jurnal semakin masif pembentukannya di era reformasi.

Pada era reformasi, pembentukan Permen didasarkan pada adanya delegasi dan atribusi. Delegasi pembentukan Permen dapat diperoleh dari undang-undang (UU), peraturan pemerintah, peraturan presiden (Perpres), dan sesama Permen. Adapun untuk atribusi, kewenangan tersebut didasarkan pada Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 (UU PPP). Dalam Pasal 8 tersebut diatur bahwa Permen diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Bahkan, entah dengan maksud untuk mengukuhkan eksistensinya atau untuk tujuan lainnya, akhir-akhir ini dapat kita jumpai dalam dasar hukum mengingat Permen sering memuat Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 sebagai dasar kewenangan pembentukan Permen, yakni “setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”.

Perluasan peran menteri dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut pada sistem pemerintahan presidensial telah mereduksi kewenangan Presiden, terutama Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 UUD 1945. Terhadap praktik tersebut, Presiden seharusnya tidak boleh membiarkannya (Charles Simabura, 2022). Memang saat ini Presiden tidak membiarkan adanya pengurangan kewenangan tersebut, terlebih pasca ditetapkannya Perpres Nomor 68 Tahun 2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden terhadap RPermen/Kepala Lembaga, pada tanggal 2 Agustus 2021 dan yang mulai berlaku pada tanggal 6 Agustus 2021. Dalam Perpres Nomor 68 Tahun 2021, dalam Pasal 3 mengatur bahwa “setiap RPermen/Kepala Lembaga yang akan ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga wajib mendapatkan persetujuan Presiden”.

Pasca berlakunya Perpres Nomor 68 Tahun 2021, sempat terjadi diskursus di antara kementerian/lembaga, terutama terkait kekhawatiran proses penetapan RPermen/Kepala Lembaga yang akan terhambat dan berujung pada terhambatnya pelaksanaan program/kegiatan pada kementerian/lembaga. Hal yang paling dikhawatirkan oleh kementerian/lembaga adalah mengenai potensi penambahan birokrasi dan lamanya proses pemberian persetujuan Presiden.

Latar Belakang Kebijakan
Dibentuknya kebijakan pemberian persetujuan Presiden terhadap RPermen/Kepala Lembaga dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Presiden terhadap adanya inflasi Permen, potensi saling tumpang tindih, tidak terkontrol, dan menghambat laju investasi. Dalam beberapa Rapat Terbatas dan Sidang Kabinet Paripurna, Presiden memberikan arahan bahwa dalam setiap pengambilan kebijakan dalam bentuk Permen agar dibahas terlebih dahulu dalam Sidang Kabinet sehingga tidak menimbulkan kegaduhan. Para menteri agar tidak membuat Permen yang menghambat dunia usaha atau hanya mengakomodasi kepentingan tertentu saja, sehingga semua RPermen yang menyangkut masyarakat banyak wajib mendapat persetujuan Presiden. Para menteri/kepala lembaga yang hendak membuat Permen yang menyangkut hajat hidup orang banyak atau strategis agar mengkalkulasi dan mendapat persetujuan Presiden dan mengacu pada arahan Presiden.

Legitimasi Presiden dalam membentuk Perpres Nomor 68 Tahun 2021 yang mengatur mengenai adanya persetujuan Presiden terhadap RPermen/Kepala Lembaga secara teori ilmu perundang-undangan maupun hukum positif tentunya sangat kuat. Secara teori dapat merujuk pada konsep presidential law making dan secara yuridis dapat merujuk dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.

Norma dalam Perpres Nomor 68 Tahun 2021
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kebijakan pemberian persetujuan Presiden terhadap RPermen/Kepala Lembaga awalnya merupakan arahan Presiden dalam risalah Rapat Terbatas/Sidang Kabinet Paripurna pada tanggal 2 Juli 2015, tanggal 12 Februari 2018, dan tanggal 14 November 2019. Arahan Presiden tersebut kemudian dituangkan dalam Pasal 3 huruf d Perpres Nomor 55 Tahun 2020 tentang Sekretariat Kabinet (Setkab), yakni menjadi fungsi terkait “pengkajian dan pemberian rekomendasi atas rencana kebijakan kementerian/lembaga dalam bentuk Permen/Kepala Lembaga yang perlu mendapatkan persetujuan Presiden”. Fungsi tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan surat Sekretaris Kabinet (Seskab) kepada para menteri/kepala lembaga Nomor: B.144/Seskab/Polhukam/04/2021 tanggal 23 April 2020 yang intinya menyampaikan kebijakan Presiden bahwa para menteri sebelum menetapkan RPermen/Kepala Lembaga yang memiliki kriteria berdampak luas bagi kehidupan masyarakat, bersifat stretagis, dan lintas sektor atau lintas kementerian/lembaga perlu mengajukan permohonan persetujuan secara tertulis kepada Presiden melalui Seskab. Surat tersebut juga dibarengi dengan surat Seskab kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Nomor: B. 145/Seskab/Polhukam/04/2021 tanggal 23 April 2020 yang intinya menyampaikan ke Kemenkumham agar menyesuaikan proses harmonisasi RPermen/Kepala Lembaga dengan prosedur persetujuan Presiden dalam Perpres Nomor 68 Tahun 2021.

Pasca ditetapkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja yang telah diuji materi di Mahkamah Konstitusi), Seskab kembali menyampaikan surat kepada menteri/kepala lembaga Nomor: B.0055/Seskab/ Polhukam/02/2021 tanggal 26 Februari 2021 yang intinya meminta agar pembentukan RPermen/Kepala Lembaga atas dasar delegasi dari UU Cipta Kerja, sebelum ditetapkan perlu mendapatkan persetujuan Presiden.

Mengingat saat itu kelembagaan persetujuan Presiden terhadap RPermen/Kepala Lembaga dirasa belum secara kuat terinternalisasi dalam institusi pemerintahan di Indonesia, maka Presiden pada tanggal 2 Agustus 2021 menetapkan Perpres Nomor 68 Tahun 2021 tentang Persetujuan Presiden terhadap RPermen/Kepala Lembaga. Perpres Nomor 68 Tahun 2021 ini secara garis besar mengatur antara lain:

  1. Setiap RPermen/Kepala Lembaga yang memenuhi kriteria berdampak luas bagi kehidupan masyarakat, bersifat strategis, dan lintas sektor atau lintas kementerian/ lembaga, sebelum ditetapkan wajib mendapatkan persetujuan Presiden.
  2. Permohonan persetujuan Presiden disampaikan oleh menteri/kepala lembaga melalui Seskab dengan melampirkan naskah RPermen/Kepala Lembaga, naskah penjelasan urgensi dan pokok-pokok pengaturan, dan surat keterangan selesai harmonisasi yang dikeluarkan oleh Kemenkumham.
  3. Seskab memberikan rekomendasi terhadap permohonan persetujuan Presiden, yang isinya alternatif kebijakan berupa Presiden setuju, menolak, atau arahan kebijakan lain.
  4. RPermen/Kepala Lembaga yang telah disetujui Presiden kemudian ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga dan diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia untuk selanjutnya wajib disosialisaikan ke kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, dan masyarakat.

Praktik Pemberian Persetujuan Presiden terhadap RPermen/Kepala Lembaga
Pelaksanaan pemberian persetujuan Presiden pasca berlakunya Perpres Nomor 68 Tahun 2021 sudah berjalan sekira hampir 2 (dua) tahun lebih 3 (tiga) bulan. Dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, setidaknya terdapat beberapa dinamika yang berkembang. Pada awal berlakunya Perpres Nomor 68 Tahun 2021, terdapat penolakan dan reduksi terhadap perintah Presiden dalam Perpres. Namun demikian, seiring waktu berjalan, segenap kementerian/lembaga menyadari adanya kewajiban dan urgensi pentingnya untuk melaksanakan kebijakan Presiden tersebut.

Beberapa langkah awal dalam pelaksanaan kebijakan Presiden dimaksud antara lain adalah keterlibatkan Setkab dalam setiap forum pengharmonisasian RPermen/Kepala Lembaga, dan dalam forum ini juga Setkab memberikan pandangan mengenai perlu atau tidaknya persetujuan Presiden dimohonkan oleh menteri/kepala lembaga sebelum menetapkan RPermen/Kepala Lembaga. Selanjutnya, di Setkab tidak ada forum rapat interkementerian/lembaga yang membahas RPermen/Kepala Lembaga. Sampai saat ini, proses bisnis tersebut telah berjalan dengan baik dan telah dirasa dampak positifnya mengenai meningkatnya kualitas produk hukum Permen/Kepala Lembaga.

Selain hal tersebut, terdapat beberapa dinamika lain yang berkembang yang memerlukan perbaikan, antara lain:

  1. Terdapat pengkajian internal pasca diberikannya persetujuan Presiden

Terdapat beberapa kementerian/lembaga yang melakukan pembahasan ulang pasca adanya persetujuan Presiden. Terhadap hal tersebut, Seskab telah mengeluarkan surat Nomor: B.0432/Seskab/Polhukam/09/2022 tanggal 27 September 2022 yang intinya menyampaikan bahwa RPermen/Kepala Lembaga yang telah mendapat persetujuan Presiden harus segera ditetapkan dan diundangkan, karena persetujuan Presiden merupakan bentuk arahan Presiden yang harus dilaksanakan.

  1. Pengharmonisasian ulang pasca pemberian persetujuan Presiden

Setkab telah seringkali diundang untuk menghadiri rapat harmonisasi ulang. Pengharmonisasian ulang merupakan kebijakan yang ditetapkan oleh Kemenkumham dalam surat selesai pengharmonisasian, dimana RPermen/Kepala Lembaga harus diundangkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari pasca selesai pengharmonisasian.

  1. Perubahan materi muatan RPermen/Kepala Lembaga pasca persetujuan Presiden

Terdapat kejadian bahwa materi muatan RPermen/Kepala Lembaga berubah pasca adanya persetujuan Presiden. Terhadap hal tersebut, Seskab menyampaikan surat Nomor: B.0232/Seskab/Polhukam/06/2023 tanggal 2 Mei 2023 yang intinya RPermen/Kepala Lembaga yang dimohonkan persetujuan Presiden merupakan naskah terakhir dan final, sehingga tidak dimungkinkan untuk diubah oleh Menteri/kepala Lembaga kecuali terdapat dinamika hukum positif atau arahan Presiden. Perubahan materi muatan RPermen/Kepala Lembaga pasca persetujuan Presiden wajib dimohonkan persetujuan kembali kepada Presiden.

Penutup
Praktik pemberian persetujuan Presiden terhadap RPermen/Kepala Lembaga saat ini sudah berjalan dengan baik dan lancar. Meskipun demikian, agar pelaksanaannya dapat lebih efektif dan efisien masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Perbaikan yang diperlukan utamanya adalah terkait dengan perbaikan kelembagaan pemberian persetujuan Presiden terhadap RPermen/Kepala Lembaga.

Beberapa pekerjaan rumah yang perlu dilakukan agar kelembagaannya dapat berjalan dengan efektif dan efisien antara lain adalah pembentukan dan penyesuaian instrumen hukum pembentukan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan substansi UU PPP, koordinasi antar kedeputian substansi di Setkab agar tercipta kesamaan konsepsi, pembaruan buku panduan penanganan persetujuan RPermen/Kepala Lembaga, dan peningkatan kapasitas pegawai pemroses pemberian rekomendasi terhadap permohonan persetujuan Presiden.

*) Asisten Deputi Bidang Pemerintahan Dalam Negeri, Kedeputian Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan

Opini Terbaru