Kenapa Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan Perlu Dipercepat ? ?

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 5 Februari 2016
Kategori: Opini
Dibaca: 41.947 Kali

HamidiOleh : M. Hamidi Rahmat

Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Itulah judul Peraturan Presiden yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo, pada tanggal 8 Januari 2016. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 Tahun 2016 ini diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM pada tanggal 19 Januari 2016 dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara RI Tahun 2016 Nomor 8

Salah satu alasan kenapa Perpres ini perlu diterbitkan, adalah untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan tenaga listrik rakyat secara adil dan merata serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Perpres ini juga untuk mendukung tercapainya program pemerintah yang telah diumumkan sebelumnya, yaitu program pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW dan jaringan transmisi sepanjang 46 ribu km. Bukan hanya itu, Perpres ini juga untuk mendukung program penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) karena program pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW ini mengutamakan penggunaan energi baru dan terbarukan, seperti tenaga air dan tenaga uap, bahkan pembangkit listrik berbasis sampah.
Sebagaimana diketahui bahwa Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan GRK sebesar sebesar 26% dengan usaha sendiri dan mencapai 41% dengan kerjasama internasional pada tahun 2020 dari kondisi tanpa adanya rencana aksi. Komitmen tersebut disampaikan oleh Presiden RI ketika menghadiri Pertemuan Puncak G-20 di Pittsburgh tanggal 25 September 2009 silam.
Komitmen ini ditindaklanjuti antara lain dengan menerbitkan Perpres Nomor 61 Tahun 2001 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca sebagai salah satu bentuk kebijakan dalam hal pengurangan emisi karbon.
Kembali ke masalah pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan, bahwa program ini akan menghadapi banyak tantangan dan hambatan. Untuk mengatasi hal tersebut, antara lain Pemerintah menugaskan kepada PT Perusahaan Listrik Nagara (PLN) dengan memberikan dukungan berupa penjaminan, percepatan perizinan dan nonperizinan, penyediaan energi primer, tata ruang, penyediaan tanah, dan penyelesaian hambatan dan permasalahan, serta penyelesaian permasalahan hukum yang dihadapi

Korelasi Listrik dengan Kesejahteraan.

Kebutuhan listrik perkapita mencerminkan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat dan kemajuan suatu bangsa. Apabila konsumsi listriknya masih rendah, apalagi tanpa mengkonsumsi listrik, dapat dikatakan masyarakat tersebut masih hidup dalam era tradisional, jika tidak mau disebut era primitif.
Misalnya, masyarakat yang hidup secara tradisional di daerah terpencil di pelosok tanah air, atau mereka yang menjadi masyarakat terasing (mengasingkan diri, mungkin lebih tepat). Mereka hanya butuh makanan dan minuman. Itupun diambil dari alam, tanpa budidaya. Selain itu mereka tak butuh apa-apa. Bahkan pakaianpun mereka tak butuh. Apalagi listrik. Mungkin lebih tepat mereka belum tahu bahwa sebenarnya mereka juga butuh selain makanan dan minuman. Kalaupun ada diantara mereka yang menutup auratnya, penutupnya dambil dari apa yang tersedia di alam bebas, seperti kulit kayu, dedaunan atau rerumputan. Begitu juga tempat berlindung dari hawa panas dan hawa dingin, mereka memanfaatkan gua atau membuat gubuk yang hanya beratap dedaunan tanpa dinding.
Bagi masyarakat yang mulai maju, mereka akan membutuhkan pakaian dari kain. Meskipun ada pakaian yang ditenun secara tradisional, tanpa membutuhkan energi listrik, namun pada umumnya kain dibuat dengan mesin yang membutuhkan aliran arus listrik. Sehingga pada masyarakat kelompok ini telah mulai membutuhkan listrik, meskipun tingkat konsumsinya masih rendah.
Masyarakat yang lebih maju lagi, akan menkonsumsi listrik yang lebih banyak. Artinya tingkat konsumsi listrik perkapitanya akan lebih tinggi. Penyebabnya adalah setiap orang membutuhkan listrik untuk penerangan, menghidupkan radio dan televisi, serta untuk memanaskan sterika listrik miliknya.
Bagi masyarakat yang tingkat kesejahteraan dan kemajuannya sudah tinggi, maka tingkat konsumsi listriknya pasti lebih tinggi. Penyebabnya adalah segala perkakas yang ada di rumahnya dihidupkan dengan listrik. Misalnya, radio, televisi, sterika, kompor, oven, dispenser, kulkas, pendingin/penghangat udara, pemanas air mandi. Bukan hanya itu, hand phone, komputer, laptop dan mainan anaknya juga membutuhkan aliran listrik. Bahkan sekarang ada mobil listrik.
Dapat dikatakan bahwa semakin maju kehidupan suatu masyarakat, semakin sejahtera mereka, semakin maju negaranya, maka konsumsi listriknya semakin tinggi. Sebagai ilustrasi mungkin tabel berikut dapat mewakili.

Konsumsi Listrik Perkapita dan PDB Perkapita Sejumlah Negara Asia

Negara    Konsumsi*    PDB**        Negara    Konsumsi*    PBD**
Indonesia    0,8    4.000        Malaysia    4,4    13.385
India    0,8    2.563        Hongkong    5,8    42.124
Vietnam    1,3    2.589        Jepang    7,2    33.596
Thailand    2,3    7.907        Singapura    8,1    49.754
China    3,7    5.325        Korea Sel    10,5    24.803

* Dalam MWh per kapita per tahun
** Menurut IMF Tahun 2007 (kecuali Indonesia, 2011), dalam US$

Sumber : Sriwijaya Post, 18 September 2015 dan Wikipedia

Kebijakan Pemerintah Jokowi – JK

Pada masa kampanye dulu, (calon) Presiden Joko Widodo dan (calon) Wakil Presiden Jusuf Kalla menggagas program yang dinamakan dengan Nawacita. Nawacita adalah 9 program yang mencakup keseluruhan visi dan misi Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam memimpin Indonesia untuk periode 2014 – 2019. Pada cita ke 6 yaitu “Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik”.
Setelah dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden, salah satu kebijakan yang diambil untuk mencapai cita ke-6 tersebut adalah dengan mengumumkan Paket Ekonomi Jilid 1 pada September 2015. Paket Ekonomi pertama ini berfokus pada pada tiga hal besar, yakni meningkatkan daya saing industri, mempercepat proyek-proyek strategis nasional, dan mendorong investasi di sektor properti.
Sinergi kebijakan pemerintah dengan kebijakan Bank Indonesia dalam menstabilkan fiskal dan moneter, diharapkan akan mempercepat gerak mesin ekonomi nasional, meskipun perekonomian dunia tengah melambat.
Disamping itu, Pemerintahan Jokowi – JK juga melakukan deregulasi, dengan merevisi sekitar 89 regulasi yang dianggap menghambat daya saing industri. Juga disusun 17 rancangan peraturan pemerintah, 11 rancangan peraturan presiden, 2 rancangan instruksi presiden, 63 rancangan peraturan menteri dan 5 aturan lainnya.
Salah satu peraturan yang termasuk dalam paket deregulasi tersebut adalah Perpres Nomor 4 Tahun 2016. Perpres ini menugaskan kepada PLN untuk melaksanakan percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (PIK) yang dilakukan melalui swakelola dan kerja sama penyediaan tenaga listrik.
Pelaksanaan PIK melalui swakelola yang mencakup pembangkit dan/atau transmisi, dilakukan dalam hal PLN memiliki (1) kemampuan pendanaan untuk ekuitas dan sumber pendanaan murah, (2) risiko konstruksi yang rendah, (3) tersedianya pasokan bahan bakar, (4) pembangkit pemikul beban puncak (peaker) yang berfungsi mengontrol keandalan operasi; dan/atau (5) pengembangan sistem isolated.
Diluar kondisi tersebut, maka PLN melalui anak perusahaan PLN (joint venture) harus bekerjasama dengan perusahaan lain untuk membangun pembangkit. Diulangi, hanya pembangkit, tidak termasuk transmisi.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan pendanaan PLN, Pemerintah memberikan dukungan ketersediaan pendanaan melalui (1) penyertaan modal negara, (2) penerusan pinjaman dari pinjaman Pemerintah yang berasal dari luar negeri dan/atau dalam negeri, (3) pinjaman PLN dari lembaga keuangan, (4) pemberian fasilitas pembebasan pajak penghasilan dalam hal dilakukan revaluasi aset; dan/atau (5) pendanaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu Pemerintah juga menyediakan jaminan Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran atas pinjaman PLN.
Dalam percepatan PIK, harus dilakukan PLN secara efektif, efisien, transparan, adil dan akuntabel sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang ditetapkan oleh Menteri ESDM. Untuk itu, maka pembinaan teknis dibebankan kepada Menteri ESDM, sedangkan pembinaan korporasi dan manajemen PLN menjadi tugas Menteri BUMN.
Karena percepatan PIK ini merupakan program prioritas Pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh PLN melalui penugasan, maka PLN diberi dukungan dan fasilitas yang mencukupi demi suksesnya kebijakan ini. Diantaranya, Pemerintah melalui Menteri ESDM memberikan prioritas alokasi sumber energi primer untuk operasional PIK dan menetapkan harga jual energi primer untuk operasional pembangkitan tenaga listrik.
Dalam melaksanakan proyek ini, PLN harus mengutamakan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT), dengan dukungan Pemerintah berupa pemberian insentif fiskal, kemudahan perizinan, dan/atau penetapan harga beli tenaga listrik oleh PLN dari masing-masing jenis sumber EBT.
Untuk meningkatkan multiplier effect, maka semua proyek dibawah program percepatan PIK harus mengutamakan penggunaan barang/jasa dalam negeri dengan tetap memperhatikan tingkat ketersediaan, kepentingan terbaik bisnis PLN dan/atau layak secara teknis dan finasial, melalui penerapan open book system, pemberian preferensi harga, atau reverse enginering.
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang ada di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk mempercepat dan mempermudah proses mendapatkan perizinan dan nonperizinan (pelayanan) yang dibutuhkan oleh perusahaan. PLN akan memanfaatkan PTSP ini semaksimal mungkin untuk mendapatkan perizinan dan nonperizinan. Jika perizinan dan nonperizinan yang belum/tidak dapat didelegasikan atau dilimpahkan kepada PTSP, maka menteri/kepala dan gubernur atau bupati/walikota wajib menerbitkan prosedur, kriteria, dan waktu penyelesaian perizinan dan nonperizinan; dan menugaskan pejabat atau pegawainya pada PTSP.
Demikian juga halnya dengan masalah penyelesaian tata ruang. Perpes ini menetapkan bahwa pelaksanaan PIK dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detil Tata Ruang Daerah (RDTRD), atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Jika lokasi PIK tidak sesuai dengan RTRW, RDTRD, atau RZWP3K, maka PLN, anak perusahaan PLN atau PPL bersama K/L dan/atau Pemerintah Daerah melakukan langkah-langkah teknis yang dapat berupa perubahan RTRW, RDTRD, atau RZWP3K sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hal yang sangat vital dan sering menjadi problem berlarut-larut adalah masalah penyediaan tanah. Penyediaan tanah untuk PIK dilakukan oleh PLN, Join Venture, atau PPL dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Dlam hal ini, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah diwajibkan untuk memberikan dukungan kepada PLN dan/atau PPL dalam proses pengadaan tanah yang dapat berupa prioritas atas penyediaan tanah, kerjasama pemanfaatan atas Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D) berupa tanah, dan/atau kerjasama penyediaan infrastruktur atas BMN/D berupa tanah.
Apabila terjadi masalah hukum, maka pimpinan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah wajib menyelesaikan hambatan dan permasalahan dalam pelaksanaan PIK sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (good governance), alasan-alasan yang objektif, tidak menimbulkan konflik kepentingan, itikad baik, dan memperhatikan ketentuan perturan perundang-undangan di bidang administrasi pemerintahan. Dalam hal pengambilan langkah-langkah penyelesaian hambatan dan permasalahan terdapat permasalahan hukum, penyelesaiannya dilakukan dengan mendahulukan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perseroan terbatas.
Dukungan lain yang diberikan pemerintah kepada PLN adalah pinjaman luar negeri yang dilakukan PLN dikecualikan dari ketentuan yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri dan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1991 tentang Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri.
Agar percepatan PIK terlaksana sesuai rencana, maka dibentuk Tim Koordinasi Pelaksanaan PIK guna melakukan koordinasi dan memberikan bantuan yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan PIK.
Mungkin ada yang bertanya, mengapa begitu besar dukungan dan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah kepada PLN untuk percepatan PIK ini. Jawabannya cukup sederhana, yaitu karena pemerintah ingin program ini sukses dan semua yang direncanakan terealisasi dengan baik. Tentu saja tujuan akhirnya adalah demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Opini Terbaru