Kepala BNPB: Pelonggaran PSBB Harus Hati-hati dan Tidak Boleh Terburu-buru

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 13 Mei 2020
Kategori: Berita
Dibaca: 838 Kali

Kepala BNPB saat memberikan keterangan pers, Selasa (12/5). (Foto: Humas/Agung)

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo, selaku Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, menyampaikan bahwa pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk bulan Juli, sesuai arahan Presiden harus hati-hati dan tidak terburu-buru.

“Jadi ini langkah-langkah itu adalah sebuah program perencanaan agar pemerintah baik di pusat dan di daerah harus bisa memikirkan langkah-langkah antisipatif supaya kita tidak terdadak,” ujar Kepala BNPB saat menjawab pertanyaan wartawan, Selasa (12/5).

Mengenai pelonggaran menimbulkan penularan yang semakin masif, Doni menyampaikan bahwa potensi terjadinya penularan pasti ada tetapi semua harus bekerja keras untuk bisa melakukan upaya testing secara masif, sebagaimana yang selalu diingatkan Presiden.

“Oleh karenanya kemampuan Gugus Tugas untuk menyiapkan reagen harus terus kami optimalkan, termasuk juga membantu daerah-daerah yang belum memiliki mesin PCR,” kata Kepala BNPB.

Sektor mana yang akan dilonggarkan, menurut Ketua Gugus Tugas, Presiden telah memberikan instruksi kepada gugus tugas untuk menyiapkan suatu simulasi agar apabila mengambil langkah-langkah untuk pelonggaran, maka tahapan-tahapannya harus jelas.

“Kemudian juga setiap fase ada yang harus dilakukan dan kami mencoba untuk membagi 4 bidang. Bidang yang pertama adalah prakondisi,” kata Doni.

Prakondisi ini, menurut Kepala BNPB, diharapkan adalah melalui sejumlah rangkaian, kajian-kajian akademis melibatkan pakar di bidang epidemiologi, pakar kesehatan masyarakat, termasuk juga pakar sosiologi, pakar komunikasi publik, dan juga tentunya pakar yang berhubungan dengan ekonomi kerakyatan.

Sehingga, lanjut Kepala BNPB, perhitungan-perhitungan yang mereka sampaikan itu bisa ditangkap nantinya oleh pemerintah, termasuk juga upaya dari gugus tugas untuk bekerja sama dengan beberapa lembaga survei untuk mendapatkan data yang akurat, terutama pada 8 provinsi.

Selain prakondisi dengan melibatkan begitu banyak pakar, Doni juga sampaikan bahwa nantinya di hampir seluruh kota besar, termasuk juga melibatkan tokoh masyarakat, ulama dan juga budayawan.

Yang kedua, menurut Ketua Gugus Tugas, adalah timing-nya, kapan harus dilakukan pelonggaran? Ia menambahkan kalau daerah itu belum menunjukkan kurva menurun apalagi kurva melandai maka tidak mungkin daerah itu diberikan kesempatan untuk melakukan pelonggaran.

Artinya, lanjut Doni, statusnya masih tetap tidak boleh kendor, justru harus meningkat kembali dan timing juga yang berhubungan dengan kesiapan masyarakat.

“Kalau masyarakat tidak siap tentunya hal ini tidak mungkin dilakukan dan bagaimana juga timing ini nantinya bisa kita lihat dari tingkat kepatuhan masyarakat di setiap daerah yang akan dilakukan pelonggaran,” tandasnya.

Manakala tingkat kepatuhannya kecil, Ketua Gugus Tugas, tentunya Pemerintah tidak boleh mengambil risiko dan ini juga menjadi bagian yang akan menjadi pedoman bagi gugus tugas dalam menyusun skenario.

Soal prioritas pelonggaran, Ketua Gugus Tugas sampaikan di bidang pangan, khususnya pasar, restoran, dan juga mungkin berhubungan dengan kegiatan untuk menghindari masyarakat tidak di-PHK, kemudian prioritas-prioritas ini harus menjadi opsi-opsi yang ketat, sehingga tidak menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat.

Soal koordinasi pusat dan daerah, Doni berpesan jangan sampai nanti diberikan pelonggaran ternyata ada penolakan.

“Demikian juga mungkin dari daerah memutuskan minta pelonggaran atas inisiatif sendiri, ternyata pusat melihat belum waktunya. Jadi koordinasi pusat dan daerah ini menjadi prioritas kami,” sambung Doni.

Dalam upaya untuk melakukan pelonggaran, Doni menyampaikan bahwa gugus tugas paling tidak akan memberi empat kriteria.

“Yang pertama, upaya di bidang prakondisi, yaitu sosialisasi. Yang kedua, yang berhubungan dengan waktu (timing). Yang ketiga adalah prioritas, bidang apa, termasuk daerah mana yang perlu dilakukan. Dan yang terakhir adalah koordinasi pusat dan daerah. Kemudian bagaimana dengan moda transportasi untuk mengecek dan memeriksa di lapangan,” urai Kepala BNPB.

Ia berharap bahwa semua harus betul-betul mematuhi ketentuan karena wabah Covid-19 ini belum akan berakhir atau juga belum diketahui kapan akan berakhir.

“Selama kita belum mendapatkan vaksin dan obat untuk mengatasi Covid-19 ini, maka kita tidak akan bisa hidup secara normal, kita belum bisa hidup secara normal. Tentunya kita juga belum tentu bisa tenang, tetapi berapa lama belum ada yang memahaminya,” terang Ketua Gugus Tugas.

Adapun skenario yang selama ini sudah dirancang, menurut Doni, itu adalah prediksi-prediksi, baik jangka pendek, jangka menengah, dan juga jangka panjang, dan semuanya itu bisa berubah setiap saat.

“Jadi tidak ada prediksi ini yang akurat sekali. Jadi semuanya sangat tergantung dari dinamika yang terjadi setiap hari, terutama setiap minggu,” kata Doni.

Usia 45 Tahun dan PSBB di Daerah

Kepala BNPB juga sampaikan mengenai memberikan kesempatan kepada kelompok usia 45 tahun ke bawah untuk bekerja kembali, ini harus dilihat konteksnya pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 tahun 2020, yaitu pasal 13, jadi ada 11 bidang kegiatan yang bisa diizinkan.

“Kenapa kita menganjurkan para pimpinan di perusahaan di kantor untuk memberikan prioritas kepada kelompok usia yang relatif muda, karena data yang berhasil dikumpulkan oleh Gugus Tugas bahwa usia 60 tahun ke atas mengalami angka kematian tertinggi yaitu 45%, kemudian usia 46 tahun sampai dengan usia 59 tahun mengalami tingkat kematian 40%,” terangnya.

Ini, menurut Doni, data yang kami kumpulkan dalam waktu 2 bulan terakhir dan khusus untuk kelompok usia 46 sampai 59 tahun angka kematian itu 40% khususnya kepada mereka yang punya penyakit penyerta.

“Jadi usia 46 sampai 59 yang wafat itu memiliki penyakit bawaan (komorbid) seperti halnya hipertensi, diabet, kemudian jantung, kemudian penyakit paru obstraksi kronis, kemudian asma, kemudian ginjal, dan sebagainya,” sambungnya.

Kemudian dilihat datanya, lanjut Doni, berarti sisanya 15% adalah usia 45 tahun ke bawah dengan dibandingkan usia 46 tahun ke atas yang mencapai 85% maka tentunya seluruh pimpinan di perusahaan seluruh manajer, para kepala di tiap-tiap bagian yang mempekerjakan karyawan/pegawai haruslah memperhitungkan faktor ini.

“Faktor data yang telah berhasil dikumpulkan oleh Gugus Tugas, gabungan dari ahli epidemiologi dari berbagai perguruan tinggi termasuk tim dari Kementerian Kesehatan,” jelasnya.

Dua kasus kematian tertinggi, tambah Doni, adalah kelompok mereka yang memiliki penyakit ginjal dan dari 10 orang yang terkena Covid-19 tetapi memiliki penyakit penyerta ginjal angka kematian mencapai 7 dari 10 orang, tepatnya 6,8 dari 10, artinya ini sangat-sangat tinggi sekali.

“Kemudian yang kedua adalah jantung, angka kematiannya juga sama tinggi, yaitu 5 orang wafat dari 10 pasien penderita jantung,” tambahnya.

Dengan data ini, Ketua Gugus Tugas sampaikan semua harus mengingatkan kepada seluruh masyarakat Indonesia yang punya penyakit ginjal dan jantung untuk betul-betul melakukan isolasi mandiri secara serius secara sungguh-sungguh, tidak boleh melakukan kegiatan yang berhubungan dengan siapapun juga, apalagi dengan orang yang tidak dikenal.

Menurut Doni, kelompok 45 tahun ini relatif adalah orang yang memiliki mobilitas yang tinggi, dan sebagian adalah para pekerja.

“Sekarang ini saja mereka sudah mengikuti kegiatan bekerja di 11 bidang yang tadi saya sampaikan, mereka harus bisa menjaga diri untuk tidak mendekatkan diri kepada keluarganya,” sambungnya.

Di rumah pun, menurut Ketua Gugus Tugas, harus mampu melakukan protokol kesehatan jaga jarak, termasuk juga ketika akan memasuki rumah, melepas sepatu, melepas barang-barang yang dapat membahayakan penghuni rumah lainnya.

“Ini harus kita ingatkan, kelompok pekerja bukan hanya yang di bawah 45 tahun, tetapi semuanya, ketika pulang ke rumah harus betul-betul memperhitungkan untuk mampu melindungi keluarga yang ada di rumah,” terangnya.

Selama kelompok-kelompok tersebut, lanjut Doni, apakah yang di atas 45 tahun termasuk yang di bawah 45 tahun harus betul-betul memahami bahwa mereka adalah orang-orang yang berisiko menulari kepada keluarga yang lain.

Diakui Ketua Gugus Tugas bahwa Provinsi Bali salah satu di antara provinsi yang tidak menetapkan PSBB, tetapi menunjukan angka laju penambahan positif berkurang, pasien di rumah sakit banyak yang sembuh dan tidak ada penambahan angka kematian.

“Dan tentu ini harus kita hargai, walaupun Bali tidak memutuskan memilih PSBB, tetapi Bali telah melakukan upaya secara maksimal dengan memanfaatkan kearifan lokal. Menggerakan desa adat, gotong royong berbasis adat. Jadi di tingkat desa adat ada gugus tugas tingkat desa adat,” sambungnya.

Provinsi Bali pun, sebagaimana disampaikan Gubernur Bali, sangat siap dengan kehadiran Pekerja Migran dan para anak buah kapal yang akan datang melalui Bandar Udara Ngurah Rai maupun Pelabuhan Benoa.

Mengenai kesiapan kamar untuk karantina, Gubernur Bali menyatakan sangat siap, kapasitasnya sangat memadai, kalau cuma 2.000 itu di Bali sudah disiapkan.

“Jadi enggak ada masalah, bahkan fasilitas yang kami siapkan sangat berkualitas, sangat baik, layak dimanfaatkan. Dan ini memang ditangani langsung oleh gugus tugas dan pembiayaannya oleh perusahaan dari pekerja PMI tersebut,” kata Wayan Koster.

Sementara itu, Gubernur Sumatra Barat, menyampaikan bahwa pendekatan pool test di Sumbar dilakukan dengan teori epidemiologi, bagaimana generasi berikutnya dan seterusnya.

“Yang kedua juga pool test bisa kita gunakan untuk pembebasan PSBB. Nah, untuk pembebasan PSBB ini kita akan tambah dengan pendekatan statistik, yaitu dengan dengan simple random sampling atau multistage sampling. Sehingga nanti populasi yang diambil sampelnya sehingga nanti hasilnya itu bisa merepresentasikan kepada populasi,” ujar Gubernur Sumbar.

Saat ini, menurut Irwan, pool test yang dilakukan kepada 7 kota/kabupaten adalah kepada ODP, OTG dan pendatang di bawah 20 hari itu sifatnya selektif hanya untuk memastikan ini tidak ada yang hidden yang OTG berkeliaran tapi sebetulnya positif.

“Tapi ke depan ketika ingin menyimpulkan pembebasan maka kita dengan pendekatan statistik, yaitu merujuk kepada populasi. Jadi nanti digabung antara pendekatan ini statistiknya dengan pendekatan multistage sampling,” tambah Irwan seraya menambahkan nanti dengan lab digabung menjadi lebih mudah dan dikuatkan dengan kajian epidemiologi. (MAY/TGH/EN)

Berita Terbaru