Kepala BRG: Agar Berhasil, Restorasi Lahan Gambut Butuh Kerja Sama Banyak Pihak

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 21 Januari 2016
Kategori: Nusantara
Dibaca: 10.817 Kali

DSC_5892_1Agar pelaksanaan  restorasi restorasi lahan gambut bisa berjalan dengan baik, dibutuhkan kerja sama dari banyak pihak, karena banyaknya kepentingan yang ada di sana, baik kepentingan ekonomi dari kelompok besar dan masyarakat yang hidup di sekitar lahan gambut maupun kepentingan dari NGO, masyarakat adat, kelompok masyarakat sipil, pemerintah dan tentu kepentingan global.

“Jadi bagaimana menyatukan visi bersama dari berbagai kelompok ini dan kemudian menerjemahkan dalam rencana aksi, dilakukan bersama-sama, terkoordinir, merupakan tantangan yang lumayan,” kata Nazir Foead usai upacara pelantikan dirinya sebagai Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG), di Istana Negara, Rabu (20/1) siang.

Menurut Nazir, lahan gambut Indonesia adalah salah satu yang terluas di dunia, sangat dalam, dan menyimpan karbon yang besar.  Karena itu, jika terjadi sesuatu pada lahan gambut, maka impact-nya dirasakan langsung tidak hanya di negara tetangga tetapi juga dunia global karena karbon yang disimpan sangat besar jumlahnya.

Untuk itu, lanjut Nazir Foead, Badan Restorasi Gambut harus segera bersiap karena kebakaran mungkin saja datang lagi. Sementara restorasi lahan seperti membuat sekat dan mengembalikan kondisi air lahan gambut membutuhkan waktu.

“Kerja bangun sekarang cepat, 1-2 bulan selesai. Tapi sampai airnya bisa naik, disekat air naik pelan-pelan sampai naik di permukaan gambut itu bisa bertahun tahun. Tergantung seberapa besar kerusakan gambut, agar air bisa kembali itu butuh waktu bahkan bisa lebih dari 10 tahun,” ungkapnya.

Nazir berjanji akan mengupayakan agar restorasi lahan gambut bisa memiliki manfaat langsung bagi masyarakat. Ia menunjuk contoh, dengan melibatkan masyarakat sipil dalam konstruktif pembangunan sekat, kemudian memelihara, misalnya dengan menanam tanaman yang bernilai ekonomi dan dapat tumbuh subur di lahan gambut seperti menanam sagu dan jagung.

“Jadi itu sudah manfaat langsung diterima masyarakat dan tidak langsung karena jasa lingkungan gambut menyediakan air, mencegah kebakaran, dan tempat tertentu itu juga ada perikanan air tawar dan gambut menjadi habitat yang bagus bagi industri perikanan air tawar,” jelas Nazir.

Untuk itu, Nazir mengharapkan selain melakukan tindakan konstruktif memperbaiki lahan gambut juga harus ada sosialisasi bersama masyarakat untuk menggunakan api dalam membuka lahan tidak lagi dilakukan. Kemudian industri juga memberikan dukungan, misalnya kepada masyarakat yang ingin membuka lahan dengan meminjamkan eskavator setelah ada perencanaan dari pemerintah daerah.

“Saya kira risiko kebakaran lagi akan bisa minimal. Tapi untuk melihat jelas butuh 2-3 tahun baru kelihatan hasil kerja yang signifikan dari badan ini,” tambah Nazir.

Berdasarkan analisis sebaran gambut dan kebakaran yang telah terjadi selama beberapa tahun terakhir, Nazir menyebutkan,  7 wilayah yang menjadi prioritas BRG  sesuai Peraturan Presiden tanggal 6 Januari 2016, yaitu, Sumatera Selatan Jambi, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.

“Jadi Papua akan menjadi fokus walaupun gambut di Papua tidak sedalam gambut di Sumatera atau Kalimantan, dan syukur alhamdulillah, keadaan Papua masih relatif baik. Jadi kita harus cegah jangan sampai gambut di Papua yang masih baik ini terdegradasi mengikuti nasib gambut yang ada di sumatera,” kata Nazir.

Mengenai sanksi kepada perusahaan yang terbukti terlibat dalam kebakaran hutan, Nazir menyatakan sesuai instruksi Presiden pada Rapat Terbatas tanggal 23 Oktober dan Kongres Gambut Internasional di Jakarta tanggal 13 November sudah jelas, bahwa penegakkan hukum harus tegas. Tidak boleh setengah-setengah, tidak ada tawar-menawar.

“Itu perintah dari Presiden. Kemudian lahan gambut yang sudah terbakar apalagi ini berkali-kali harus diambil alih oleh negara untuk direstorasi, itu perintah dari Presiden,” pungkas mantan eksekutif WWF Indonesia itu. (FID/ES)

 

Nusantara Terbaru