Keterangan Presiden SBY Tentang RUU Pilkada, di Bandara Halim Perdanakusuma, 30 September 2014
Bismillahirrahmanirrahim,
Saudara-saudara, selamat pagi,
Sebagaimana yang saya sampaikan di Osaka kemarin malam, bahwa saya dan para menteri jajaran pemerintahan tengah bekerja untuk mengambil langkah-langkah yang tepat menyusul Sidang Paripurna DPR RI berkaitan dengan RUU Pilkada yang akhirnya menetapkan bahwa sistem pilkada yang dipilih adalah pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Saya tak perlu mengulangi lagi bahwa posisi saya selaku Presiden dan ini juga sudah diolah secara mendalam, bahkan sebelum saya berangkat mengemban tugas-tugas internasional sebelas hari yang lalu. Sebenarnya posisi pemerintah dalam sistem pilkada ini adalah pilkada langsung dengan perbaikan-perbaikan yang mendasar.
Dengan hasil Sidang Paripurna DPR RI selama empat hingga lima hari ini kita juga mendengar dengan seksama respon dari masyarakat luas, yang kalau boleh saya simpulkan sebagian besar rakyat kita atau mayoritas rakyat kita sebenarnya tidak bersetuju dengan pilkada oleh DPRD.
Atas dasar itulah dari kondisi obyektif yang ada, dan perlunya ada satu sistem atau Undang-undang yang tepat dan sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat maka pemerintah tetap konsisten bahwa yang paling baik adalah sistem pilkada langsung dengan perbaikan-perbaikan besar.
Saudara juga mengikuti, terutama yang mengikuti kunjungan saya ke Perserikatan Bangsa-Bangsa kemarin, bahwa kami terus bekerja. Tetapi saya ingin bahwa yang dilakukan pemerintah itu dalam koridor konstitusi. Presiden harus memberi contoh bahwa tindakan dan langkah politiknya tidak boleh keluar dari koridor konstitusi. Oleh karena itulah, tadi malam atau kemarin malam dari Osaka saya berkomunikasi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi. Saya mengajukan pertanyaan dan pertanyaan ini merupakan bentuk konsultasi saya, Presiden dengan Pimpinan Mahkamah Konstitusi.
Mengapa saya bertanya kepada Mahkamah Konstitusi? Karena saya ingin mendapatkan kejelasan tentang tafsir dari Pasal 20 Undang-Undang Dasar dalam konteks penyusunan undang-undang, yang intinya yang menjiwai Pasal 20 itu adalah bahwa RUU menjadi Undang-undang manakala mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dengan Presiden.
Karena Undang-undang Pilkada ini mendapatkan perhatian yang luas dari rakyat kita serta sebagaimana yang saya sampaikan tadi ada sikap penolakanyang cukup signifikan terhadap pilkada oleh DPRD, maka saya ingin mendapatkan pandangan dari Mahkamah Konstitusi tentang tafsir dari Pasal 20 itu. Misalnya karena secara eksplisit saya selaku Presiden belum memberikan persetujuan, tertulis misalnya,atas hasil pemungutan suara di DPR RI kemarin, apakah masih ada jalan bagi saya untuk tidak memberikan persetujuan?
Semula saya berharap ada pertemuan antara saya dengan Pimpinan Mahkamah Konstitusi siang nanti, tetapi karena kepulangan saya dan rombongan dipercepat dan sekarang sudah sampai di tanah air, maka tadi di Kyoto saya berbicara lagi dengan Pimpinan Mahkamah Konstitusi, dan tidak perlu harus bertemu besok. Dan dijawab bahwa praktik yang berlaku sekarang ini karena dalam setiap pembahasan RUU Presiden menunjuk sejumlah menteri untuk mewakili membahas RUU itu, meskipun dalam Amanat Presiden (Ampres) itu tidak secara eksplisit dikatakan bahwa menteri yang saya berikan ampres itu juga memberikan persetujuan, tapi dimaknai, dan ini menjadi praktik lah begitu, sama saja bahwa itu termasuk pemberian persetujuan. Sehingga, kesimpulannya tidak ada jalan bagi Presiden untuk tidak bersetuju atas apa yang telah dihasilkan dalam Rapat Paripurna DPR beberapa hari yang lalu.
Saya tentu sebagai Presiden taat asas, taat konstitusi, dan apalagi sudah ada pandangan dari MK seperti itu. Oleh karena itulah, sejak siang tadi hingga sekarang ini kami mengolah lagi jalan seperti apa yang dapat Presiden tempuh untuk betul-betul menyelamatkan sistem pilkada yang saya anggap tepat dari yang tidak tepat, yaitu kembali ke pilkada langsung dengan perbaikan-perbaikan. Dan saya katakan kemarin malam di Osaka, kalau Plan A tidak tembus maka saya akan menuju ke Plan B. Dan Plan B inilah yang sedang kami matangkan hingga subuh hari ini dan akan kami lanjutkan besok dan mudah-mudahan ada jalan yang terbaik, karena kepentingan kami tiada lain adalah untuk demokrasi kita, untuk rakyat kita, untuk hadirnya sebuah sistem yang paling baik.
Tidak ada kepentingan pribadi saya ataupun siapapun yang ada dalam Kabinet yang saya pimpin ini. Justru kalau ini baik sistemnya maka Presiden yang akan datang, pemerintah yang akan datang, akan lebih baik lagi mengelola kehidupan politik termasuk proses pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia.
Itulah saudara-saudara, dan karena ini sedang berlangsung, opsi apa saja yang masih tersedia, termasuk Plan B itu apa, saya tidak perlu sampaikan malam hari ini, tapi insya Allah akan ada jalan untuk mewujudkan apa yang pemerintah pikirkan, yang saya pikirkan, yang terbaik menyangkut sistem pilkada ini.
Itu saja yang ingin saya sampaikan pada malam hari ini,
Terima kasih atas perhatiannya.