Kondisi Penanganan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Di Indonesia
Oleh: Nurul Hani Pratiwi *) dan Yehuda Bimo Yudanto **)
Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara atau yang dikenal dengan sebutan RUPBASAN adalah salah satu lembaga penting dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) di Indonesia karena fungsinya sebagai tempat penyimpanan benda yang disita oleh Aparat Penegak Hukum (APH) untuk keperluan proses peradilan.
Keberadaan RUPBASAN sebagai tempat penyimpanan benda sitaan negara (BASAN) diatur dalam ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa “Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara” dan diatur juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 yang menyebutkan bahwa “Di dalam RUPBASAN ditempatkan benda-benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, termasuk barang bukti lain yang dinyatakan dirampas berdasarkan putusan hakim” (disebut juga sebagai barang rampasan negara yang disingkat BARAN).
Lahirnya RUPBASAN di Indonesia dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan mendesak pada saat itu untuk menyiapkan “tempat” yang efisien dan aman dalam pengelolaan dan pemeliharaan BASAN dan BARAN. Sebelum adanya RUPBSAN, pengelolaan BASAN dan BARAN tersebar di beberapa tempat yang mengakibatkan BASAN dan BARAN tersebut tidak teroganisasi dengan baik, hilang, rusak, atau tidak terawat.
Disamping itu, adanya tuntutan terhadap perlindungan hak asasi manusia (HAM) dari korban dan tersangka/terdakwa atas penyimpanan BASAN dalam proses peradilan pidana (criminal justice process) juga menjadi salah satu faktor pendukung lahirnya RUPBASAN. Perlindungan terhadap hak-hak korban sangat penting dalam proses peradilan pidana. Dengan adanya RUPBASAN, barang bukti yang diperoleh dari kejahatan dapat terjaga dengan baik, tidak hilang atau rusak, tidak disalahgunakan atau digunakan untuk merugikan tersangka/terdakwa, sehingga hak-hak korban tetap terlindungi dan proses hukum dapat berlangsung dengan adil.
Para pemangku kepentingan ketika itu berharap bahwa dengan adanya RUPBASAN ini dapat menjamin keselamatan dan keamanan BASAN atau BARAN dan sebagai upaya mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang yang diakibatkan dari tindak penyidikan berupa penyitaan.
Kondisi RUPBASAN Saat Ini
Secara kelembagaan, saat ini Rupbasan merupakan unit kerja yang berada di bawah struktur organisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, dengan posisi Kepala RUPBASAN dijabat oleh pegawai yang setara dengan eselon IV (RUPBASAN Kelas I) dan eselon V (RUPBASAN Kelas II) yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
Jumlah RUPBASAN yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia sebanyak 64 RUPBASAN, yang terdiri dari 35 RUPBASAN Kelas 1 dan 29 RUPBASAN Kelas II. Jumlah ini masih jauh dari yang diharapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 yang memerintahkan agar setiap ibu kota kabupaten/kotamadya harus memiliki RUPBASAN dan Menteri Hukum dan HAM berwenang untuk membentuk RUPBASAN tambahan jika diperlukan (cabang RUPBASAN).
Dengan keterbatasan jumlah RUPBASAN, peran penting RUPBASAN dalam proses peradilan di Indonesia, terutama dalam menyimpan dan mengelola barang bukti yang berkaitan dengan kasus pidana menjadi tidak optimal. Kondisi ini juga didukung dengan beberapa permasalahan antara lain terkait kualitas sarana dan prasarana, kualitas sumber daya manusia (SDM) yang belum memadai, dan tata kelola penyimpanan BASAN dan BARAN.
Melihat fenomena tersebut, Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM sebenarnya telah melakukan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan tersebut, yang sebenarnya diproyeksikan sebagai salah satu way out atau solusi dalam mengatasi permasalahan RUPBASAN di Indonesia. Salah satu kebijakan yang pernah dilakukan adalah menginisiasi penyusunan Rancangan Peraturan Presiden tentang Tata Kelola Penyimpanan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara pada tahun 2016. Namun demikian, penyusunan Rancangan Peraturan Presiden tersebut tidak dilanjutkan karena mendapat resistensi dari Kejaksaan, yang pada intinya menyampaikan bahwa RUPBASAN seharusnya berada di bawah naungan Kejaksaan dan tidak berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM.
Resistensi ini menyoroti perbedaan pandangan terkait tata kelola dan pengelolaan RUPBASAN antara instansi terkait. Meskipun demikian, perlu dicari solusi yang dapat mengatasi permasalahan aktual terkait peran dan fungsi RUPBASAN secara efektif dalam sistem peradilan di Indonesia, termasuk mempertimbangkan integrasi atau koordinasi yang lebih baik antara Kementerian Hukum dan HAM dengan Kejaksaan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan RUPBASAN.
Penanganan Permasalahan RUPBASAN Di Indonesia
Secara umum, permasalahan terkait penanganan RUPBASAN di Indonesia dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:
1. Jumlah RUPBASAN
Jumlah RUPBASAN yang ada saat ini terhitung sedikit, sehingga tidak cukup menampung BASAN dan BARAN dari seluruh instansi yang melakukan penyitaan hasil tindak pidana (Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Keuangan), yang menyebabkan sebagian BASAN masih tersebar dan disimpan masing-masing oleh kementerian/lembaga tersebut.
2. Kondisi Fisik
Kondisi fisik RUPBASAN di Indonesia masih menjadi masalah yang cukup serius. Selain jumlahnya yang sedikit, terdapat masalah lain yang terkait dengan sarana dan prasarana, yaitu belum terdapatnya standardisasi tempat atau gedung penyimpanan BASAN dan BARAN di masing-masing RUPBASAN, sehingga banyak BASAN dan BARAN yang rusak, yang berakibat pada menurunnya nilai ekonomis BASAN dan BARAN.
3. Kualitas SDM
Salah satu permasalahan terkait kualitas SDM adalah belum terdapatnya Penilai atau Penaksir tersertifikasi yang bertugas untuk menaksir dan menentukan mutu dan nilai BASAN dan BARAN.
4. Koordinasi dengan APH
Koordinasi antara RUPBASAN dengan APH (Kejaksaan) terkait tata kelola penyimpanan BASAN dan BARAN selama berjalannya proses peradilan belum optimal, (terutama akibat tumpang-tindih kewenangan penyimpanan BASAN dan BARAN yang dimiliki RUPBASAN) dan eksekusi BASAN dan BARAN yang dilakukan oleh Jaksa, yang diperparah dengan berbeda-bedanya waktu proses peradilan (penyidikan, penuntutan, dan persidangan), sehingga BASAN dan BARAN seringkali terbengkalai atau rusak.
Kondisi-kondisi di atas menunjukkan bahwa masih terdapat banyak tantangan yang harus dihadapi terkait penanganan RUPBASAN di Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya-upaya yang lebih serius dan komprehensif untuk meningkatkan kualitas pengelolaan RUPBASAN.
Arah Kebijakan terkait Penanganan RUPBASAN
Arah kebijakan terkait penanganan RUPBASAN perlu mencakup beberapa aspek penting untuk mengatasi permasalahan yang ada. Salah satu langkah utama adalah penegasan mengenai lembaga yang tepat membawahi RUPBASAN, yang merupakan elemen kunci dalam meningkatkan efektivitas pengelolaan dan operasional RUPBASAN.
Adapun isu kelembagaan RUPBASAN tidak dapat dilepaskan dari permasalahan kewenangan pengelolaan RUPBASAN oleh kementerian/lembaga terkait, yaitu antara Kejaksaan dan Kementerian Hukum dan HAM, yang mengakibatkan gesekan kewenangan terkait tata kelola penyimpanan BASAN dan BARAN.
Sebagaimana diketahui, kewenangan pengelolaan basan saat ini dimiliki oleh Kementerian Hukum dan HAM. Namun demikian, jika ditinjau dari ketentuan peraturan perundang-undangan (vide KUHAP jo. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015/PP Pelaksanaan KUHAP), Kejaksaan memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan eksekusi serta pengelolaan terhadap aset yang terkait dengan tindak pidana melalui Pusat Pemulihan Aset. Kejaksaan juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyitaan dan pemusnahan terhadap BASAN sebagai tindak lanjut dari putusan pengadilan (kewenangan eksekutorial), yang dalam hal ini tidak dimiliki oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Berdasarkan hal tersebut, oleh karena pada dasarnya RUPBASAN berfungsi sebagai tempat penyimpanan BASAN dan BARAN yang berkaitan dengan proses peradilan (ruang lingkup tugas dan fungsi APH), serta guna mengatasi permasalahan miskoordinasi antara Kementerian Hukum dan HAM dengan APH yang seringkali terjadi dalam tata kelola BASAN dan BARAN, maka seyogianya kewenangan pengelolaan RUPBASAN dapat diampu oleh APH, dalam hal ini Kejaksaan. Oleh sebab itu, diperlukan dasar kebijakan yang komprehensif dari Pemerintah, salah satunya melalui pembentukan peraturan perundang-undangan yang materi muatannya mencakup penguatan kelembagaan RUPBASAN dan pengaturan mengenai tata kelola penyimpanan BASAN dan BARAN pada RUPBASAN.
Namun demikian, penguatan kelembagaan dan pengaturan mengenai tata kelola penyimpanan BASAN dan BARAN tersebut juga seyogianya perlu memperhatikan perkembangan terkini, utamanya terkait dengan sedang disusunnya RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri), khususnya terkait ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf e RUU Polri, yang memberikan kewenangan bagi Polri untuk melakukan pengelolaan tahanan dan barang bukti.
Pada akhirnya, penting bagi stakeholders terkait (Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Negara RI) untuk dapat “duduk bersama” guna menghasilkan kesepakatan dengan mengesampingkan ego-sektoral, demi mengatasi permasalahan terkait penanganan RUPBASAN di Indonesia, dalam rangka menunjang peran RUPBASAN sebagai salah satu bagian penting dari proses sistem peradilan pidana di Indonesia.
*) Kepala Subbidang Hukum Publik
**) Analis Hukum pada Subbidang Hukum Publik