Konsep Kuratorium Penataan Benda Seni Istana Kepresidenan

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 8 Juli 2020
Kategori: Opini
Dibaca: 1.756 Kali

Oleh: Kukuh Pamuji

Saat mulai tinggal di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta pada 1950, Bung Karno beserta keluarganya tidak menempati Istana Negara maupun Istana Merdeka. Mereka menempati sebuah bangunan paviliun berukuran sedang yang letaknya berdekatan dengan Istana Negara dan Istana Merdeka.

Setelah beberapa bulan tinggal di paviliun tersebut, Bung Karno memiliki sebuah gagasan tentang Istana Kepresidenan baik yang berada di Jakarta maupun yang berada di beberapa daerah (Bogor, Cipanas, Yogyakarta, dan Tampaksiring) yang menjadi bagian dari kediamannya itu bukanlah rumahnya,  melainkan “Rumah  Bangsa”.  Alasan ini disampaikannya karena berdasarkan fakta  sejarah, pada saat membangun Istana-istana tersebut, Belanda menggunakan tenaga rakyat Indonesia. Oleh karena itu Bung Karno memiliki cita-cita untuk menjadikan Istana sebagai tempat yang dapat menyenangkan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Untuk mewujudkan keinginan tersebut, Bung Karno berusaha untuk mengisi Istana-istana tersebut dengan karya-karya seni rupa yang indah. Satu hal yang selalu disampaikannya adalah bahwa benda-benda yang indah itu merupakan suatu kenikmatan yang abadi, “a thing of beauty is a joy forever” dan ia akan menjadikan istana sebagai monumen keindahan abadi milik rakyat Indonesia.

Ketika Bung Karno menempati Istana Kepresidenan, jumlah koleksi lukisan dan patung yang dimilikinya pada saat itu belum banyak, baru mencapai jumlah puluhan, belum ratusan. Akan tetapi Bung Karno tentang perlunya penataan koleksi yang tepat di setiap dinding maupun ruang-ruang istana.  Dengan penuh keyakinan Bung karno mengatakan, “Aku memiliki mata yang bagus untuk memilih karya seni. Aku akan memiliki ribuan koleksi seni. Aku membutuhkan seseorang yang bisa membantuku di Istana”. Begitulah kata-kata yang disampaikan Bung Karno suatu ketika saat berbincang-bincang dengan Sudjojono dan Affandi.

Dari perbincangan tersebut, Sudjojono mengajukan usul kepada Bung Karno satu nama pelukis yang dianggap mampu untuk memenuhi keinginannya itu. Pelukis dimaksud adalah Dullah. Sudjojono mengajukan Dullah untuk “membantu” Bung Karno dengan satu pertimbangan bahwa Dullah merupakan orang yang sangat fleksibel, ia bisa menjadi apa saja, termasuk menjadi pegawai negeri (ambtenaren) sehingga sangat cocok dengan kriteria yang diharapkan oleh Bung Karno.

Berbekal rekomendasi Sudjojono, pada suatu hari Bung Karno memanggil Dullah dan menyampaikan keinginannya untuk menerima tawaran pekerjaan tersebut. Pada saat Dullah menolak. “Isin aku (malu saya)” kata Dullah. Bung Karno pun memberi kesempatan kepada Dullah untuk memikirkan kembali perihal penolakannya itu. Atas desakan Sudjojono dan Affandi pada akhirnya Dullah menerima tawaran yang diberikan kepadanya.

Akhirnya Dullah diangkat menjadi pelukis Istana oleh Presiden Sukarno pada tahun 1950. Sebagai tempat tingggal, sebuah paviliun yang terletak di sebelah timur halaman Istana Negara telah disiapkan untuknya. Untuk membantu tugas-tugas yang harus dikerjakannya, Dullah mengajak  seorang iparnya, AR. Gapoer yang kemudian menjelang tahun 1960 diangkat menjadi Kepala Bagian Kesenian Istana Kepresidenan.

Dullah dan AR. Gapoer merancang konsep dasar kuratorium pemajangan (pen-display-an) lukisan untuk Istana Negara, Istana Merdeka, Istana Bogor, Istana Cipanas, dan Istana Yogyakarta, dan kemudian disusul Istana Tampaksiring setelah berdiri pada tahun 1957, serta Pesanggrahan Tenjoresmi, Pelabuhan Ratu yang selesai dibangun pada tahun 1962. Pemikiran Dullah dan AR Gapoer akhirnya menghasilkan dasar kuratorium sebagai berikut:

Istana Negara, dihiasi dengan pajangan karya-karya lukisan dan patung yang menggambarkan alam serta kehidupan masyarakat Indonesia dan dunia, yang kesemuanya memiliki konteks suasana yang menyenangkan, baik itu hasil karya seniman Indonesia maupun seniman mancanegara. Pemikiran ini didasari oleh suatu pertimbangan bahwa Istana Negara merupakaan tempat para pejabat dan pegawai yang bekerja untuk Tanah Air dan tempat para pengelola negara menjalin hubungan yang baik dengan segenap bangsa di dunia. Untuk mewakili konsep ini, lukisan yang dipajang antara lain adalah lukisan panorama Minang karya Wakidi yang berjudul Ngarai Sianok, lukisan Abdullah Suriosubroto yang menggambarkan pemandangan di Jawa Barat dan Lukisan Romualdo Locatelli yang merekam keindahan dan kehijauan alam tropis.

Istana Merdeka, dihiasi dengan lukisan dan patung yang menggambarkan perjuangan atau revolusi bangsa Indonesia, serta lukisan yang menggambarkan kehidupan rakyat jelata.  Akan tetapi karya seni yang bernuansa heroik diprioritaskan lebih dominan, sehingga kita dapat menyaksikan lukisan-lukisan bertema perjuangan yang dikerjakan oleh para Seniman Indonesia Muda (SIM) yang diketuai oleh S. Sudjojono dan pada saat itu pembuatannya digagas pada tahun 1947 (pada saat Ibu Kota Indonesia berada di Yogyakarta).

Bung Karno dan Dullah mengaitkan kata “merdeka” yang digunakan sebagai nama Istana, dengan tema perjuangan. Lukisan bertema perjuangan ini antara lain diwakili oleh lukisan “Seko” karya S. Sudjojono, “Awan Berarak Jalan Bersimpang” karya Harijadi Sumadidjaja, “Pasukan Rakyat Mengatur Siasat” karya Affandi, dan “Persiapan Gerilya” karya Dullah yang saat ini lukisan-lukisan tersebut dipajang di Museum Istana Kepresidenan Yogyakarta, karena sifat dari kurasi yang fleksibel.

Istana Bogor, dihiasi dengan lukisan-lukisan yang mencitrakan kehalusan, bertema bunga dan perempuan. Dengan demikian hampir semua lukisan yang bertema perempuan terkumpul di sini. Menutur Dullah, pada saat itu Bung Karno memproyeksikan Istana Bogor sebagai museum suka cita, museum untuk bergirang-girang ria.

Argumentasi yang menguatkan pemilihan kurasi karya, tidak dapat dilepaskan dari sejarah pendirian bangunan Istana yang dirancang oleh Gustaaf Baron van Imhoff pada tahun 1745 ini. Imhoff mengumpamakan bangunan ini sebagai perempuan yang memeluk dengan kehangatan di tengah alam yang sejuk. Sebagai aksentuasi konsepnya, Imhoff merancang kolam berbentuk ovarium (organ wanita untuk pembuahan) yang terletak persis di depan bangunan puri.

Di Istana yang memiliki luas sekitar 28,86 hektare dan terletak di ketinggian 290 meter dari permukaan laut dengan rusa yang berjumlah sekitar 600-an ekor ini,  didominasi oleh lukisan dan patung yang memiliki tema perempuan.  Kita bisa melihat antara lain lukisan “Pergiwa dan Pergiwati” karya Basoeki Abdullah, lukisan “Bunga Teratai” karya Gerard Pieter Adolf, lukisan “Bermain di Kolam” karya Adrien – Jean Le Mayeur yang menjadikan isterinya yang bernama Ni Pollok sebagai model lukisannya.

Istana Cipanas, dihiasi dengan lukisan yang bertema keluarga, tumbuh-tumbuhan, dan bunga. Di sini kita dapat menjumpai lukisan “Keluarga Italia” karya Rudolf Bonnet,  lukisan “Bunga” karya Ernest Dezentje, lukisan” Jalan di Tepi Sawah” yang lebih dikenal dengan “lukisan Seribu Pandang” karya S. Soejono DS yang juga merupakan salah satu ikon dari Istana Cipanas.

Istana Yogyakarta, dikonsepkan sebagai rumah yang menghimpun para pahlawan nasional dari masa ke masa.  Istana Yogyakarta yang memiliki cerita perjuangan sangat panjang dalam rangka membebaskan diri dari penjajahan dan puncaknya adalah peristiwa perebutan kembali kemerdekaan Indonesia dari agresi Militer Belanda sehingga karya-karya seni yang dipajang di sini adalah karya yang menggambarkan sosok pahlawan nasional.

Di Istana Yogyakarta kita dapat melihat lukisan-lukisan diantaranya: “Teuku Cik Di Tiro” karya Soerono,  “dr. Wahidin Soedirohoesodo” dan “Diponegoro” karya Soedjono Abdullah, “Pangeran Ontowiryo” (Pangeran Diponegoro muda) karya Harijadi Sumadidjaja, “HOS Tjokroaminoto” karya Affandi,  serta “Potret Bung Karno” karya Dullah.

Istana Tampaksiring dikonsepkan sebagai sebuah puri kebudayaan Bali. Oleh karena itu di sini kita dapat melihat lukisan yang menggambarkan tentang  suasana Bali. Beberapa lukisan yang dapat kita jumpai di sana merupakan lukisan karya seniman ternama Bali seperti I Gusti Ketut Kobot dengan lukisan berjudul “Upacara Potong Gigi di Bali”, lukisan Ida Bagus Made Poleng berjudul “Pembakaran Jenazah di Bali”, lukisan Anak Agung Gde Sobrat “Mangkatnya Raja Airlangga”, Ida Bagus Made Nadera “Di Pasar”, Ida Bagus Togog sampai I Ketut Regig “Kawanan Kodok Menari”. Di samping itu kita juga bisa menyaksikan lukisan karya pelukis mancanegara yang sudah lama tinggal di Bali diantaranya adalah Rudolf Bonnet ”Penari Bali Sedang Berhias” dan Theo Meier tidak ketinggalan lukisan karya Dullah yang berjudul “Pura di Tengah Kampung” ikut terpajang di sana.

Dasar kuratorium ini kemudian dilanjutkan oleh Le Man Fong dan Lim Wasim, pelukis Istana Kepresidenan setelah Dullah. Keduanya mengakui bahwa dasarpemilihan dan penataan itu sudah dijadikan sebuah kesepakatan. Pada kurun waktu berikutnya, para pengelola koleksi benda seni Istana era Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnopuutri, Susilo Bambang Yudhoyono, sampai Joko Widodo juga masih menerapkannya dengan perubahan di sana-sini seiring perjalanan waktu dan “selera estetik Presiden”.

Referensi:
Agus Dermawan T, Dongeng Dari Dullah (Jakarta: KPG, 2020)
Dullah, Lukisan-Lukisan Koleksi Ir. Dr. Sukarno Presiden Republik Indonesia (Pustaka Kesenian Rakyat Peking, 1961)

Opini Terbaru