Kontribusi Kapasitas Sipil Indonesia pada Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 9 Juli 2023
Kategori: Opini
Dibaca: 2.295 Kali

Oleh: Indrita Hardiana*)

Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah aktif menjaga perdamaian dunia sejak dibentuk tanggal 24 Oktober 1945. Salah satu alat yang digunakan PBB untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional adalah Misi Pemeliharaan Perdamaian (MPP) yang melibatkan personel militer, polisi, dan sipil dari berbagai negara. Awalnya MPP PBB memiliki peran yang hanya terbatas pada pemeliharaan gencatan senjata dan stabilisasi situasi di wilayah konflik sehingga dapat terbuka ruang bagi penyelesaian konflik secara damai. Seiring berjalannya waktu, sifat penggelaran MPP PBB berubah dari tradisional yang mengedepankan peran militer dan polisi menjadi multidimensional. Perubahan tersebut terjadi baik dari segi mandat PBB maupun komposisi personel yang ditempatkan di daerah misi, yaitu semakin melibatkan komponen sipil.

Saat ini lebih dari 14.000 warga sipil bertugas di MPP PBB yang tersebar di berbagai belahan dunia. Angka tersebut menunjukkan permintaan PBB yang tinggi untuk kalangan sipil, terutama dalam bidang hukum, politik, dan isu gender. Sebagai gambaran, MPP PBB terbesar saat ini adalah MONUSCO dengan 22.492 personel, di mana 3.424 merupakan petugas sipil (Caka Alverdi Awal, 18 Januari 2023). Umumnya, personel sipil yang bertugas di MPP PBB mengerjakan jenis tugas yang merupakan mandat PBB, di antaranya, 1) pemberdayaan perempuan di daerah misi; 2) membantu menegakkan dan melindungi hak asasi manusia (HAM); 3) mendukung penegakan hukum oleh pemerintah setempat; 4) mendukung proses politik dan rekonsiliasi; serta 5) memberi informasi kepada masyarakat setempat terkait situasi konflik dan MPP PBB. Selain mandat tersebut, tugas lainnya di MPP PBB yang dapat dikerjakan personel sipil, antara lain, tugas keuangan, logistik, komunikasi dan teknologi, sumber daya manusia (SDM), perawatan pesawat dan helikopter, supir, administrasi umum, relawan PBB, konsultan, dan konstruksi.

Mengapa peran sipil penting dalam MPP PBB?
PBB telah sejak lama memberi perhatian pada pentingnya kontribusi sipil di wilayah konflik. Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Resolusi Nomor A/RES/66/255 tentang Civilian Capacity in the Aftermath of Conflict pada tanggal 15 Mei 2012 oleh Majelis Umum PBB, yang menekankan pada pentingnya peran sipil pada proses bina-perdamaian paska konflik, sehingga diharapkan pemerintah dan organisasi internasional dapat terus mendukung pengembangan kapasitas sipil melalui kewenangannya masing-masing. Peran sipil sangat penting dalam MPP PBB karena praktiknya 95 persen tugas MPP adalah untuk memastikan kehidupan masyarakat sipil dapat terus berlangsung dan sedapat mungkin mencegah terjadinya kerusuhan sipil dan politik setelah tercapai perjanjian damai di wilayah konflik (Caka Alverdi Awal, 18 Januari 2023). Kontribusi kapasitas sipil di daerah misi faktanya sangat dibutuhkan pada situasi tertentu yang tidak dapat ditangani oleh pasukan pemeliharaan perdamaian yang berasal dari militer maupun kepolisian. Para personil sipil dapat memberikan sentuhan humanis dalam usaha membangun kembali struktur sosial dan ekonomi masyarakat pascakonflik.

Operasi perdamaian yang dijalankan PBB saat ini cenderung dipusatkan di wilayah konflik perang saudara, dengan mandat sebagian besar mencakup tugas sipil, seperti memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pemilu di wilayah pascakonflik, memberikan bantuan kemanusiaan, memperkuat institusi lokal, dan menegakkan HAM sebagai prasyarat untuk perdamaian jangka panjang. Spektrum kontribusi sipil dalam MPP PBB sangat luas dan mencakup berbagai aspek, mulai dari pembangunan ekonomi, penegakan HAM, peningkatan keamanan, hingga pemulihan kehidupan sosial masyarakat. Dalam situasi konflik, kehidupan ekonomi masyarakat sering terdampak. Kontribusi sipil dapat membantu memulihkan ekonomi pascakonflik melalui berbagai kegiatan, seperti pelatihan kerja dan pengembangan usaha kecil di wilayah pascakonflik. Secara tidak langsung, kontribusi sipil dapat membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat di wilayah konflik. Untuk bidang keamanan, kontribusi sipil yang paling dapat dirasakan manfaatnya adalah ketika personel sipil membantu polisi dalam mewujudkan keamanan di masyarakat, melalui pendidikan untuk meningkatkan awareness masyarakat terhadap isu keamanan dan konseling bagi korban kekerasan dan trauma akibat konflik. Personel sipil pun dapat bersama-sama dengan personel militer dan kepolisian saling bahu-membahu membangun kembali infrastruktur pascakonflik, seperti jalan dan jembatan, serta menyediakan layanan dasar air dan sanitasi. Simpulannya, kontribusi sipil merupakan bagian integral dari upaya untuk mencapai perdamaian berkelanjutan di wilayah pascakonflik.

Upaya peningkatan kontribusi kapasitas sipil Indonesia
Sejatinya, Indonesia telah memiliki payung hukum untuk mengirim kapasitas sipil ke MPP PBB, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2015 tentang Pengiriman Misi Pemeliharaan Perdamaian. Namun, kisah sukses keterlibatan aktif personil militer dan polisi dari Indonesia pada MPP PBB belum diikuti oleh peran personel sipilnya. Ada sejumlah masyarakat sipil asal Indonesia yang pernah bertugas di MPP PBB maupun sebagai relawan PBB, namun keikutsertaan tersebut melalui jalur pribadi dengan mendaftar secara mandiri di situs web PBB, sehingga belum terdata secara resmi sebagai bagian dari kontribusi Indonesia pada MPP PBB.

Diproyeksikan, civilian capacity akan semakin banyak dibutuhkan karena perannya yang sangat strategis dalam MPP PBB. Dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo memberikan apresiasi atas berbagai keberhasilan Indonesia dalam berpartisipasi di MPP PBB. Lebih lanjut, Presiden juga mengamanatkan untuk terus melanjutkan peran Indonesia dalam upaya pemeliharaan perdamaian dunia sebagai amanat konstitusi, sekaligus mengingatkan tentang pentingnya Indonesia duduk dalam berbagai posisi penting di organisasi internasional agar Indonesia mampu memberi pengaruh arah kebijakan, demi mengamankan kepentingan nasional. Untuk itu, Indonesia perlu merespons peluang kebutuhan akan civilian capacity tersebut dengan mempersiapkan sebaik mungkin kerangka kebijakan nasional pengembangan dan pengiriman kapasitas sipil Indonesia ke MPP PBB.

Saat ini belum terdapat kelembagaan yang menaungi secara khusus pengiriman kapasitas sipil Indonesia ke MPP PBB. Dalam tata kelola nasional, untuk TNI telah dibentuk Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP) TNI melalui Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi TNI dan Peraturan Panglima TNI Nomor 73 Tahun 2019 tentang Organisasi dan Tugas Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian TNI. Sementara itu, kepolisian telah memiliki Pusat Misi Internasional Polri yang baru saja diresmikan tanggal 31 Mei 2023. Kedua pusat misi tersebut berfungsi untuk menyeleksi dan menyiapkan personel TNI dan Polri yang akan ditugaskan ke MPP PBB, yang meliputi pelatihan bahasa, pengetahuan umum, keterampilan, maupun kesiapan fisik dan mental, termasuk menyiapkan kebutuhan operasi, administrasi, dan logistik pasukan yang akan bertugas di MPP PBB.

Ada beberapa negara yang telah berhasil mengembangkan civilian capacity dalam MPP PBB, di antaranya, Jerman, Swedia, India, Bangladesh, dan Rwanda. Negara-negara tersebut telah memiliki pusat misi sipil yang berada di bawah kementerian luar negeri negara bersangkutan. Ambil contoh Jerman, Zentrum fur Internationale Friedenseinsatze (Zif)/Center for International Peace Operations merupakan lembaga yang berada di bawah German Federal Foreign Office yang fokus pada pelayanan terintegrasi satu atap berupa perekrutan dan pelatihan ahli sipil untuk misi perdamaian internasional, salah satunya MPP PBB. Selain itu, ZIF juga memberikan rekomendasi kebijakan kepada Pemerintah Federal Jerman terkait isu perdamaian internasional. Pendekatan terintegrasi ZIF yang menggabungkan penyiapan sumber daya manusia dari komponen sipil dan penyusunan rekomendasi kebijakan terkait isu pemeliharaan perdamaian dalam satu atap, telah diakui secara internasional sebagai model terdepan kelembagaan civilian capacity. Indonesia perlu mempelajari model kelembagaan terbaik dari beberapa negara tersebut untuk mulai menjajaki kemungkinan pembentukan lembaga serupa di Indonesia.

Berkaca dari kinerja positif Indonesia pada MPP PBB saat masa implementasi Road Map Vision 4000 Peacekeepers 2015-2019, seyogianya perlu dipertimbangkan untuk disusun sebuah peta jalan guna meningkatkan kontribusi Indonesia dalam pengiriman civilian capacity ke MPP PBB yang diproyeksikan jauh, setidaknya 5 hingga 10 tahun ke depan. Peta jalan tersebut idealnya mengakomodir seluruh kebijakan strategis dan taktis pengiriman civilian capacity dari Indonesia, yang dapat menjadi pedoman bagi kementerian/lembaga terkait dalam menyusun kebijakan sesuai kewenangan yang dimiliki. Peta jalan dimaksud setidaknya perlu memuat: 1) tahapan rencana kontribusi civilian capacity; 2) tata kelola lembaga yang bertanggung jawab menyelenggarakan pengiriman civilian capacity; 3) pola koordinasi antara kementerian/lembaga; 4) sumber pembiayaan yang paling tepat; 5) jenis kompetensi jabatan yang dapat ditugaskan di MPP, baik yang berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN) maupun non-ASN; 6) mekanisme dan metode perekrutan peacekeeper sipil; dan 7) rencana kerja sama pelatihan dengan PBB untuk pengembangan kapasitas sipil. Diharapkan dengan adanya kehadiran negara dalam memfasilitasi kontribusi civilian capacity tersebut, maka akan semakin banyak pakar sipil Indonesia yang bertugas di MPP PBB. Hal tersebut dapat menjadi instrumen diplomasi yang efektif dalam menciptakan peluang lebih besar bagi warga negara Indonesia untuk mengisi jabatan strategis di Markas Besar PBB dan di misi-misi PBB.

—-

*) Kepala Subbidang Strategi Pertahanan, Asisten Deputi Bidang Pertahanan, Keamanan, Komunikasi, dan Informatika.

Opini Terbaru