Lelang Jabatan, PR Presiden dan Kinerja Pajak

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 11 Desember 2014
Kategori: Opini
Dibaca: 135.018 Kali

Oleh:  Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*)

Ktr PajakDalam siaran persnya, Menteri Keuangan (Menkeu) menyatakan untuk dapat mengejar target penerimaan pajak di tahun 2015 sebesar Rp1.380 triliun. Hal ini disampaikan setelah berkoordinasi dengan aparat pajak dan bea cukai. Namun demikian, Menkeu juga menekankan pentingnya kepastian hukum bagi aparat dalam menjalankan tugas sehari-harinya sehingga koordinasi dengan pihak kepolisian dan kejaksaan dapat lebih dioptimalkan. Tanpa itu semua, sekeras apapun aparat pajak dan bea cukai bekerja, niscaya tidak akan ada hasilnya. Dalam APBN 2015 sendiri, pemerintah dan DPR sepakat mematok target penerimaan perpajakan sebesar Rp1.201,7 triliun atau naik dibandingkan APBN-P 2014 sebesar Rp1.072,4 triliun.

Sebelumnya dalam rapat kabinet terbatas, Presiden mempertanyakan rendahnya realisasi penerimaan pajak dalam kurun 10 tahun terakhir. Di tahun 2009 misalnya, dari target Rp591 triliun pemerintah kemudian merevisi menjadi Rp528 triliun dengan realisasi Rp494 triliun, sehingga shortfall sekitar Rp34 triliun. Sementara di tahun 2011, dari target Rp709 triliun harus disesuaikan menjadi Rp698 triliun, dengan realisasi Rp667 triliun dan shortfall nya Rp31 triliun. Sementara di 2012, target pajak Rp853 triliun, direvisi menjadi Rp817 triliun dengan realisasi Rp753 triliun, shortfall meningkat hingga sebesar Rp65 triliun.

Dan sepertinya pola tersebut kembali terjadi di tahun 2014 ini, mengingat hingga 29 Agustus, realisasinya baru mencapai 56,6% atau sebesar Rp705,2 triliun dari target Rp1.246,1 triliun dalam APBN-P 2014. Dilihat dari sisi komponen, pajak penghasilan (PPh) tetap menjadi primadona dengan realisasi sebesar Rp347,2 triliun atau 60,9% dari target Rp569,9 triliun. Realisasi tersebut didukung oleh PPh non-migas yang mencapai Rp295,5 triliun atau 60,8% dari target serta PPh migas sebesar Rp51,8 triliun atau 61,7% dari target 2014. Berikutnya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang mencapai Rp246,3 triliun atau 51,8% dari target Rp475,59 triliun APBN-P 2014.

Lelang Jabatan dan PR Presiden

Permasalahan menjadi makin menarik ketika Kementerian Keuangan (Kemenkeu) secara resmi membuka lelang jabatan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak. Tantangan mencari Dirjen Pajak yang baru bukan hal yang mudah. Dibutuhkan seorang Dirjen Pajak yang memiliki pemikiran out of the box serta berani ”gila” meminjam istilah yang sedang populer. Ini tak lepas dari pentingnya peran sektor perpajakan ke depan, disamping fakta masih besarnya basis pajak yang mungkin belum tesentuh oleh aparat. Kurangnya sumber daya manusia (SDM) mau tak mau memang harus diakui menjadi persoalan utama disamping perilaku moral hazard lainnya.

Menkeu sendiri berjanji akan bekerja lebih keras, khususnya dalam mengejar potensi perpajakan dari sektor pertambangan. Potensi penerimaan pajak sektor pertambangan diyakini masih sangat besar dalam upaya menutup gap yang terjadi, dibandingkan potensi penerimaan di sektor lainnya. Secara umum, pendapat Menkeu tersebut sangat rasional. Namun, persoalan perpajakan juga menjadi pekerjaan rumah Presiden.

Karenanya Presiden harus sesegera mungkin memfokuskan diri pada upaya mencari solusi tepat, cepat dan implementatif atas perlambatan kinerja pajak, demi mengejar target pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran yang berkelanjutan. Perlu diingat bahwa penerimaan pajak yang optimal memberikan banyak manfaat khususnya bagi sisi penganggaran APBN. Ruang fiskal pemerintah menjadi lebih lebar, tekanan defisit berkurang serta meningkatnya kemampuan pemerintah dalam melakukan berbagai akselerasi pembangunan infrastruktur di berbagai daerah.

Pengesahan APBN 2015, dapat menjadi contoh pentingnya peran penerimaan perpajakan ini. Pemerintah dan DPR menetapkan target defisit anggaran 2015 sebesar 2,21% PDB atau setara Rp245,9 triliun. Angka tersebut lebih kecil dibandingkan defisit APBN-P 2014 sebesar 2,40% PDB dengan nominal Rp241,5 triliun. Penetapan defisit tersebut kemudian menuai banyak polemik di beberapa kalangan. Banyak pihak mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mendukung transisi kepemimpinan, mengingat begitu kecilnya ruang fiskal yang dialokasikan  dalam menjalankan segala program dan kebijakan sesuai platform yang telah digariskan.

Perdebatan tersebut tentu dapat dihindari jika kinerja pajak 2014 cukup mumpuni. Pemerintah sebetulnya juga sudah menempuh banyak cara terkait dengan optimalisasi penerimaan perpajakan. Sensus pajak misalnya, di bulan Oktober hingga Desember 2011, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menyisir perkantoran hingga pusat perbelanjaan untuk mendata Wajib Pajak (WP) baru. Bulan Mei hingga Oktober 2012, DJP kembali melakukan sensus pajak dengan hasil 2,46 juta WP baru yang terdiri dari WP pribadi sebanyak 2,25 juta sementara WP badan sekitar 206.507.

Strategi perluasan basis pajak khususnya sektor pertambangan dan perkebunan serta menyederhanakan metode pengenaan PPh untuk sektor usaha kecil dan menengah (UKM) juga sudah ditempuh pemerintah. UKM dengan omzet Rp1 miliar hingga Rp4,8 miliar dikenakan tarif PPh 1% dari omzet sejak Juli 2013. Dalam tubuh pemerintah sendiri, saat ini sedang ada pembahasan mengenai wacana pemisahan DJP menjadi sebuah Badan Penerimaan Negara (BPN) yang independen, langsung dibawah kendali Presiden. Pengembalian aset negara yang hilang karena penggelapan pajak juga menjadi opsi yang telah dilakukan pemerintah sebelumnya.

Terlepas dari apapun kebijakan yang akan ditempuh, lelang jabatan di tubuh Kemenkeu seharusnya dipandang sebagai salah satu terobosan dalam upaya menemukan orang yang bukan hanya tepat, berdedikasi dan loyal namun harus berani berpikir di luar sistem serta ”gila” dalam mencari terobosan baru sumber-sumber penerimaan perpajakan yang selama ini belum tersentuh dan terjamah oleh aparat perpajakan.

*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.

 

Opini Terbaru