Listrik Dari Sampah, Kapan Bisa Dinikmati ?
Pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Demikian bunyi pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sampah memang mempunyai potensi energi biomassa yang dapat dikonversi menjadi energi lain, diantaranya menjadi energi listrik.
Mengacu kepada norma pasal 4 undang-undang tersebut, pada tanggal 7 Desember 2015, Presiden Jokowi kembali menegaskan bahwa tujuan pengelolaan sampah adalah lingkungan menjadi bersih, Indonesia bersih dari sampah, dan kesehatan masayarakat menjadi lebih baik. Sedangkan pemanfaatan pengelolaan sampah menjadi generator listrik, pupuk organik (kompos), dan sebagainya merupakan nilai tambah atau bonus dari pengelolaan sampah yang baik dan benar.
Selanjutnya, Presiden Jokowi menyampaikan tiga arahan terkait pengelolaan sampah menjadi listrik. Pertama, menyederhanakan regulasi dengan menyusun Peraturan Presiden (Perpres) tentang percepatan proyek pembangkit listrik 35.000 MW dan pengelolaan sampah untuk listrik. Kedua, tarif akan diperjelas agar pemerintah kota/kabupaten, investor, maupun PLN mempunyai kejelasan terkait keuntungan dan risiko yang akan ditanggung. Ketiga, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) akan menentukan lokasi proyek percontohan PLTSa agar mudah diawasi dan dimonitor dengan baik.
Sebagai tindak lanjut arahan Presiden dimaksud, sejak pertengahan Desember 2015, Menteri LHK, Menteri ESDM, Menteri Dalam Negeri bersama kementerian dan lembaga terkait lainnya telah menyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Percepaan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar.
Sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) alasan kenapa Perpres ini perlu diterbitkan. Pertama, untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Pengelolaan Sampah, karena sampah selama ini merupakan sumber utama pencemaran lingkungan hidup. Jika sampah sudah dapat dikelola dengan baik, apalagi kalau hasil pengelolaan tersebut tanpa menyisakan sampah sedikitpun, tentu sangat membantu dalam penyehatan lingkungan hidup, dan Indonesia akan lebih indah dan lebih asri tanpa timbulan sampah.
Kedua, dalam rangka mengubah sampah yang selama ini menjadi problem serius di berbagai kota, terutama kota-kota besar, menjadi sumber listrik, guna memenuhi kebutuhan energi listrik sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)Tahun 2015-2019. Sampai saat ini Indonesia masih kekurangan pasokan listrik, sehingga sering terjadi pemadaman bergilir, sebagaimana sering diwartakan oleh berbagai media massa. Artinya keandalan supply tenaga listrik, terutama di desa-desa, masih rendah.
Ketiga, sebagaimana dikemukakan oleh Menteri ESDM, Sudirman Said, bahwa banyak investor yang tertarik untuk menggarap proyek pembangkit listrik tenaga sampah. Namun regulasi yang ada sekarang dinilai belum berpihak kepada investor di sektor energi ini. Lebih lanjut, Sudirman mengatakan bahwa proyek PLTSa ini merupakan upaya pemerintah untuk mencapai target bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Selain itu, pengelolaan sampah kota yang kerap menimbulkan masalah juga dapat diatasi (Bisnis.com. 7/12/2015).
Menteri ESDM menyebut angka definitif sebesar 23%, sedangkan dalam Perpres No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, target bauran energi baru terbarukan lebih dari 17 %. Rinciannya, biofuel atau bahan bakar nabati lebih dari 5%, panas bumi lebih dari 5%, energi baru terbarukan lainnya lebih dari 5%, dan batubara yang dicairkan lebih dari 2%. Untuk lebih jelasnya dapat dibaca pada tabel berikut :
Target Bauran Energi Nasional Tahun 2025
Minyak Bumi | < 20% | Panas Bumi | > 5% | |
Gas Bumi | > 30% | EBT Lainnya | > 5% | |
Batubara | > 33% | Batubara Yang Dicairkan | > 2%. | |
Biofuel / BBN | > 5% |
Penetapan Lokasi
Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi Kementerian Dalam Negeri, maka terpilihlah 7 (tujuh) lokasi tersebut di atas sebagai proyek percontohan. Penetapan lokasi dimaksud dengan mempertimbangkan berbagai aspek, antara lain kesiapan Pemda, ketersediaan sampah minimal 1.000 (seribu) ton per hari, kecuali kota Surakarta. Menurut Menko Perekonomian, Darmin Nasution, kota Surakarta yang menghasilkan sampah sekitar 200 250 ton per hari tetap dimasukkan sebagai proyek percontohan untuk kota-kota menengah lainnya (Pikiran Rakyat Online, 5/2/16).
Penetapan ketersediaan sampah sebesar 1.000 ton perhari diperoleh dari berbagai hasil kajian, bahwa investasi dan biaya pemeliharaan proyeknya akan mencapai nilai keekonomian apabila membakar sampah minimal 1.000 ton perhari.
Jika Pemerintah Kota Surakarta menganggap jumlah sampahnya tidak mencukupi untuk mencapai nilai keekonomian proyek PLTSa, maka dapat dilakukan kerjasama dengan kabupaten-kabupaten sekitarnya, seperti Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, Wonogiri, Sragen, dan Klaten.
Dari tujuh lokasi yang menjadi proyek percontohan, menurut Walikota Bandung, Ridwan Kamil, kota Bandung termasuk yang paling siap. TPA Gedebage dengan luas sekitar 5-6 hektar sudah siap menjadi lokasi PLTSa. Disamping itu, juga sudah ada Peraturan Daerah (Perda) dan pemenang tender yang akan melaksanakan proyek tersebut. Sekarang ini, Pemkot Bandung masih mengkaji teknologi yang akan dipakai. Jika tidak ada halangan, tahun ini Bandung bergerak lagi sesuai arahan presiden (Pikiran Rakyat Online, 5/2/16).
Listrik Dari Sampah
Mungkin ada yang bertanya, apakah sudah ada masyarakat yang menikmati listrik dari sampah sebelum Perpres ini diterbitkan ? Jawabannya : Sudah Ada. Berikut contoh listrik dari sampah yang sudah dinikmati masyarakat.
Pemerintah Kota Baubau Sulawesi Tenggara telah mengolah sampah di TPA Wakonti hingga menghasilkan energi listrik sebesar 5.000 watt. Kapasitasnya akan ditambah menjadi 7.000 watt, dan dapat dinikmati warga sekitar (Kompas.com, 5/1/2016)
Pemerintah kota Surabaya juga telah memulai pengembangan tempat pembuangan sampah yang mampu mengolah sampah menjadi energi listrik. Terdapat tiga TPA yang sudah berhasil mengolah sampah menjadi energi listrik yaitu TPA Bratang, TPA Jambangan, dan TPA Tenggilis. Masing-masing TPA tersebut dapat menghasilkan energi listrik sebesar 4.000 kilowatt. Saat ini TPA Bratang yang sudah beroperasi, sedangkan TPA Jambangan dan Tenggilis baru akan mulai beroperasi (www.olahsampah.com).
Pemerintah DKI Jakarta juga sudah memiliki PLTSa berkapasitas 26 MW dari TPST Bantar Gebang. Potensi listrik dari TPST Bantar Gebang ini sudah menjadi pembangkit listrik oleh PT Godang Tua Jaya sebagai pengelola TPST Bantar Gebang. Jika masing masing rumah rata-rata membutuhkan daya 1.000 watt listrik, maka melalui TPST Bantar Gebang ini mampu memenuhi kebutuhan listrik dari 26.000 rumah (www.olahsampah.com).
Pemerintah kota Palembang juga telah memanfaatkan sampah sebagai sumber pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas 500 kilowatt di Sukawinatan. PLTSa ini telah menerangi sejumlah rumah warga di sekitar lokasi. Menurut Direktur Operasional PT Sarana Pembangunan Palembang Jaya (SP2J), Ahmad Novan, bahwa pembangkit ini telah siap beroperasi penuh paling lambat pada akhir 2015 (www.republika.co.id, 18/9/2015)
Menurut data ISWA (International Solid Waste Association), negara yang sudah banyak memakai teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) adalah Eropa dan Amerika. Setidaknya ada 431 unit PLTSa di Eropa pada tahun 2005 dan 89 unit PLTSa di Amerika pada tahun 2004. PLTSa yang terbesar bernama Ironbridge berkapasitas 740 MW, terletak dikota Seven Gorge, Inggris (finance.detik.com,08/11/2015). Menurut berbagai sumber, di Asia juga sudah banyak PLTSa, seperti di Jepang ada di 23 lokasi dan di Singapura ada 6 lokasi serta di Thailand.
Kalau sudah banyak kota yang membangun PLTSa, buat apa lagi Presiden mengeluarkan Perpres percepatan pembangunan PLTSa ? Begini, PLTSa yang sudah ada sekarang ini pada umumnya menggunakan teknologi pengambilan gas metan yang keluar dari timbulan sampah. Gas metan tersebut digunakan untuk menggerakkan generator listrik. Permasalahannya adalah sampah yang ada tidak terurai, jumlahnya tidak berkurang atau tidak akan habis. Baunya menyebar kemana-mana dan air lindinya mencemari tanah. Disamping itu tanah yang berada dibawah tumpukan sampah tidak bisa dimanfaatkan. Makin lama makin luas tanah yang dibutuhkan untuk menumpuk sampah. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menggunakan teknologi incinerator yaitu dengan membakar sampah sehingga relatif tanpa sisa. Dengan demikian diharapkan kota akan menjadi bersih, lingkungannya indah, dan listriknya dapat dinikmati masyarakat.
Apakah semua sampah akan dibakar ? Tentu saja tidak. Sampah akan dipilah-pilah terlebih dahulu. Alangkah rancaknya kalau sampah sudah terpilah sebelum kita membuangnya ke tong sampah di depan rumah kita, sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Kegiatan 3R, reduce, reuse and recycle merupakan upaya pertama yang harus dilakukan. Sampah yang diangkut ke TPA adalah sampah sisa yang sudah sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi. Kota Makassar sudah mempraktekkan sistem pengelolaan sampah seperti ini. Dan sekarang kota Makassar ikut dalam proyek percontohan PLTSa untuk membakar sampah sisa setelah kegiatan 3 R.
Apakah semua sampah sisa akan dibakar ? Jawabannya, juga tidak. Bahan-bahan yang mengandung chlorine seperti poly vinil chloride (PVC), styroform, poly chlorinated biphenyl (PCB) dan poly bromide biphenils (PBB), tentu saja tidak akan dibakar karena dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk mencegah pencemaran dioxin dan furans yang bersifat carcinogenic (menimbulkan kanker), maka operasional PLTSa harus diatur dengan suhu tinggi, diatas 1.000 (seribu) derajat celcius, sehingga dioxin dan furans tidak terbentuk.
Target Penyelesaian Proyek
Setelah Perpres Nomor 18 Tahun 2016 yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 13 Februari 2016, Pemerintah dan Pemda segera mengapikasikannya, dan diharapkan selesai pada tahun 2018. Pemda segera menugaskan badan usaha milik daerah (BUMD) atau menunjuk badan usaha swasta (BUS) untuk membangun proyek PLTSa dimaksud di daerahnya masing-masing.
Untuk memperlacar pelaksanaan pembangunan proyek oleh BUMD yang ditugaskan atau BUS yang ditunjuk, maka Pemda : (1) memastikan ketersediaan sampah dengan kapasitas minimal 1.000 (seribu) ton per hari; (2) memastikan ketersediaan lokasi pembangunan PLTSa dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota; dan (3) menyusun studi kelayakan pembangunan pembangkit listrik berbasis sampah yang meliputi studi aspek hukum, kelembagaan, pendanaan, sosial budaya, dan teknologi.
BUMD atau BUS tidak perlu khawatir, karena listrik yang dihasilkan pasti dibeli oleh PLN. PLN mendapat penugasan dari Menteri ESDM untuk membeli listrik PLTSa yang dihasilkan oleh BUMD atau BUS, dengan harga yang ditetapkan oleh Menteri ESDM. Menurut Darmin Nasution, Menko Perekonomian, bahwa sekarang dibuat mekanisme dan perhitungan yang jelas. Kalau terlalu mahal, maka pemerintah akan membantu (Pikiran Rakyat Online, 5/2/16).
Sumber pendanaan pembangunan PLTSa berasal dari APBN, APBD, dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Disamping itu, Pemerintah dapat memberikan bantuan biaya pengolahan sampah kepada Pemda. Dukungan lain yang diberikan Pemerintah adalah pengadaan tanah untuk pembangunan PLTSa oleh Pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan dampak ekonomi berganda, maka pembangunan PLTSa mengutamakan penggunaan produk dalam negeri.
Untuk mendukung pelaksanaan percepatan pembangunan PLTSa, dibentuk Tim Koordinasi Percepatan Pelaksanaan Pembangunan PLTSa yang mempunyai tugas melakukan koordinasi dan pengawasan serta memberikan bantuan yang diperlukan untuk kelancaran percepatan pelaksanaan pembangunan PLTSa. Tim Koordinasi tersebut dibentuk dan diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sebagai Wakil Ketua serta menteri/pimpinan lembaga terkait sebagai anggota. Tim Koordinasi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan koordinasi percepatan pembangunan PLTSa tersebut kepada Presiden secara berkala setiap 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
Jika yang direncanakan dan diatur dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2016 ini dapat berjalan lancar, maka pada tahun 2018 proyek-proyek ini telah selesai. Pada akhir tahun 2018 atau di awal tahun 2019, rakyat Indonesia telah bisa menikmati listrik berbasis sampah ini. Kita tunggu !!!