Media Sosial, Hoax, dan Runtuhnya Trust

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 23 Januari 2017
Kategori: Opini
Dibaca: 144.024 Kali

thanonOleh: Thanon Aria Dewangga 

“ The PC has improved the world in just about every area you can think of. Amazing developments in communications, collaboration and efficiencies. New kinds of entertaintment and social media. Access to information and the ability to give people who would never been heard.” (Bill Gates)

Teknologi informasi di Indonesia berkembang pesat dimana pengguna internet di Indonesia saat ini berjumlah 132,7 juta atau 52% dari jumlah penduduk Indonesia. Dari jumlah pengguna internet di atas, 129,2 juta memiliki akun media sosial yang aktif dan pengguna internet rata-rata menghabiskan waktu sekitar 3, jam per hari untuk konsumsi internet melalui telepon selular.

Hal tersebut disampaikan Presiden Jokowi saat memberikan pengantar dalam Rapat Terbatas di Kantor Presiden pada tanggal 29 Desember 2016 yang membahas tentang perkembangan media sosial. Sayang,  akhir-akhir ini begitu marak berita-berita bohong dan palsu (hoax) bergerak viral di tengah-tengah masyarakat. Maraknya hoax tersebut mendorong Presiden Joko Widodo meresponsnya dengan serius. Kepercayaan runtuh, kebenaran menjadi semu. Mungkin inilah yang disebut Ralph Keyes (2004) sebagai the post-truth era.

Media sosial sebagai bagian dari inovasi teknologi informasi, memberikan ruang bagi seseorang untuk menyuarakan pikirannya yang sebelumnya mungkin tidak pernah bisa terdengar. Perkembangan media sosial sendiri bergerak sangat cepat. Bila dahulu kita hanya mengenal friendster, saat ini kita telah dimanja dengan adanya facebook, twitter, instagram dan lain-lain yang semuanya berdampak positif untuk menambah wawasan dan pengetahuan, memanjangkan tali silaturrahim serta menyebarkan nilai-nilai solidaritas, toleransi dan optimisme.  Media sosial menjadi ruang ekspresi baru bagi masyarakat dunia dalam beberapa tahun terakhir ini. Simpelnya, in the social media era, everybody publishes whatever they want, kata mantan kepala editorAl-Jazeera Arabic, Ahmed Al Seikh.

Media sosial bahkan turut berperan dalam mendorong perubahan politik sebuah negara. Fenomena the Arab Spring yang meledak beberapa tahun lalu menjadi bukti bagaimana media sosial mampu membawa perubahan politik. Fenomena inilah yang disebut oleh Howard & Hussain (2013) sebagai fourth wavedemocracy. Media sosial mampu menghadirkan suara-suara  individu yang sebelumnya tidak pernah bisa didengar melalui pemberitaan media-media mainstream.

Di Indonesia, kehadiran media sosial juga memberikan pengaruh terhadap perubahan politik, sosial, budaya dan ekonomi di Indonesia. Media sosial menggeser dan menembus batas dari pola relasi interaksi hirarkis menjadi egaliter, baik di ruang politik maupun budaya. Seorang warga negara biasa secara langsung dapat mengkritik dan berkomunikasi dengan Presidennyahanya cukup dengan mengirim mentionkeakun Presidendi twitter.

 

 

Ruang Pertarungan

Kenyataan yang harus diketahui dan dipahami bahwa kehadiran media sosial dalam sistem politik Indonesia yang terbuka membawa konsekuensi menjadikan media sosial hadir sebagai ruang pertarungan berbagai macam aktor dengan membawa berbagai kepentingan. Dalam konteks ini, media sosial bagaikan ‘ring tinju’ yang di dalamnya seluruh elemen masyarakat tidak lagi menjadi penonton, tetapi memungkinkan mereka ikut bertarung di ring tersebut. Akhirnya kegaduhan sulit dihindari di media sosial.

Media sosial yang menjadi ruang pertarungan atau “ting tinju” tersebut menggeser wajah media sosial yang ketika kali pertama muncul sebatas sebagai media curhat dan ajang berinteraksi sosial menjadi ruang yang menghadirkan berbagai pertarungan dari aktor yang kompleks. Kompleksitas aktor-aktor yang terlibat di media sosial tersebut semakin tinggi ketika berhadapan dengan situasi atau momentum politik, karena aktor yang terlibat tidak hanya rakyat biasa, tetapi juga berbagai kelompok-kelompok kepentingan; partai politik, elite politik, ormas, pelaku bisnis dan lain sebagainya.

Harus diakui, suka atau tidak,akhir-akhir ini isu politik menjadi pemicu maraknya konfrontasi di media sosial seperti hate speech, saling hujat, dan lain sebagainya di Tanah Air. Ekspresi politik, saling hujat, saling bela pilihan politik dan merendahkan pilihan lain yang awalnya di dunia nyata, kini bergeser ke dunia maya. Tidak heran kemudian intensitas fake news dan atau berita-berita hoax di media sosial begitu viral di media sosial. Para aktor dan korban penyebar hoax tidak lagi tuggal, melainkan lebih kompleks. Aktor penyebar hoax pun tidak hanya disebarkan pelaku kriminal, banyak juga dilakukan oleh mereka yang sekadar iseng, menyerang bermuatan politik, menyuarakan hatinya, atau hanya sekedar mencari sensasi. Wajar Presiden Jokowi merespons kenyataan hoax karena mengganggu stabilitas jalannya roda pemerintahan.

Setidaknya ada dua alasan untuk menjelaskan fenomena hoax dan fake news di media sosial. Pertama, kesempatan yang sama seluruh individu dalam menyebarkan informasi. Sebelum era digital, penyedia informasi hanya milik industri media. Politik framingpun tidak hanya bisa dilakukan oleh media mainstream, tapi juga dapat dilakukan oleh individu atau kelompok di luar media mainstream dengan mem-framing kepentingannya dalam sebuah informasi-informasi palsu. Kedua, informasi dan wacana media mainstream tidak lagi langsung dianggap publik sebagai informasi dan wacana yang sepenuhnya objektif. Disini, ada proses personalisasi institusi media. Keterlibatan pemilik media dalam politik praktis melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi media tersebut. Begitu juga sebaliknya. Media kini dianggap tidak steril dari kepentingan. Anggapan ini melahirkan distrust, sehingga publik dengan mudah mengonsumsi informasi hoax.

  

Peran Pemerintah

Dalam femonena hoax yang bergerak pada era digital dengan berbagai kelompok kepentingan di dalamnya, acapkali pemerintah justru menjadikorban. Pada era media sosial, ruang pemerintah untuk melakukan kooptasi dan pendekatan persuasif terhadap penyebar informasi hoax sangat kompleks. Tidak cukup dengan mengontrol atau menegur institusi media sebagaimana dilakukan sebelum era media sosial. Muncul berbagaikekhawatiran perkembangan komunikasi di media sosial yang diisi berita-berita tendensius, fitnah, bohong, menyesatkan, menanamkan kebencian, atau ujaran-ujaran kebencian. “Itu sekarang cukup merebak. Memang kebebasan boleh, negeri ini memang memberikan suatu kebebasan. Kebebasan adalah hak dalam demokrasi. Tapi kewajiban untuk menaati hukum peraturan perundangan itu juga merupakan kewajiban yang harus ditaati,” kata Menko Polhukam Wiranto kepada wartawan usai Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (4/1).

Pemerintahan Presiden Jokowi dengan tegas telah menyatakan bahwa demokrasi di dunia maya tidak boleh dibungkam, namun juga jangan sampai berita kebohongan dan fitnah diterima begitu saja oleh masyarakat karena masyarakat jelas berhak untuk mendapatkan berita yang sebenarnya. Beberapa contoh telah diterapkan oleh negara lain dimana pemerintah melakukan berbagai cara untuk menghadapi masalah yang sama diantaranya :

  • Jerman menyusun regulasi ketentuan denda bagi Facebook dan platform media sosial setiap berita hoax yang diterbitkan;
  • Amerika Serikat meluncurkan program “Think Again, Turn Away”;
  • Myanmar dengan gerakan “Panzagar” yang menyerukan masyarakat untuk menghindari hate speech.

Dengan potensi dan sumber daya yang dimiliki oleh Pemerintah, dalam menghadapi fenomena negatif media sosial saat ini sebaiknya tidak terjebak oleh rutinitas. Artinya persoalan ini harus ditangani bersama antara pemerintah dengan penggiat media sosial untuk memberikan pemahaman untuk lebih bijak bersosial media. Dari sisi regulasi, Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang  Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sudang mulai berlaku tanggal 28 November 2016 dimana salah satunya yang dapat dikaitkan dalam artikel ini adalah menuntut masyarakat agar lebih berhati-hati di ranah media sosial. Membuat dan  menyebarkan informasi yang bersifat fitnah, tuduhan maupun SARA yang mengundang kebencian, dilarang dan dapat dikenakan tuntutan. Jadi marilah kita mulai dari diri sendiri untuk ber-sosmed dengan bijak sehingga berkontribusi positif bagi kemajuan bangsa dan negara.

*) Thanon Aria Dewangga – Staf Ahli Bidang Hukum dan Hubungan Internasional Sekretariat Kabinet

Opini Terbaru