Memayungi Masyarakat Adat di Wilayah Perbatasan
Oleh Usman Manor *
Indonesia merupakan negara yang memiliki bentang wilayah yang sangat luas. Dengan bentangan wilayah daratan seluas 1.892.410,09 km², wilayah lautan seluas 6.653.341,493 km² dan kepulauan berjumlah 17.001, Indonesia menjadi negara terluas di Asia Tenggara (BPS, 2024). Wilayahnya lebih luas dari wilayah Eropa Barat yang hanya sekitar 1.500.000 km² (Mulya, 2013). Jangkauan luas bentang tersebut dipandang menjadi keunggulan Indonesia, namun tidak jarang turut menimbulkan permasalahan. Salah satu permasalahan utama yang dihadapi Indonesia adalah aksesibilitas bagi masyarakat yang mendiami suatu wilayah, khususnya di wilayah terluar dan wilayah perbatasan.
Wilayah terluar dan wilayah perbatasan merupakan wilayah yang memiliki letak strategis dan berhadapan langsung dengan negara lain (Utomo, 2010). Apabila diibaratkan sebuah rumah, wilayah terluar dan wilayah perbatasan yang ada di Indonesia selayaknya serambi yang menampakkan wajah Indonesia. Namun demikian, wilayah perbatasan dan wilayah terluar di Indonesia justru terkesan mengalami ketertinggalan ketimbang kemajuan. Persoalan ketimpangan mengarah pada kerentanan hingga kemiskinan sangat melekat pada serambi negara yang kaya raya sumber daya alam dan adikuasa di bidang kebudayaan. Padahal kekayaan alam dan budaya Indonesia seharusnya memperlihatkan kesejahteraan masyarakat adat yang mendiami wilayah terluar dan wilayah perbatasan.
Kondisi serupa di alami oleh masyarakat adat Lepo’ Ma’ut, Lepo’ Ke, Oma’ Long, Sa’ban, Lepo’ Ndang, Nyibun, dan Punan yang mendiami wilayah Kabupaten Malianu, Provinsi Kalimantan Utara. Keseluruhan masyarakat adat tersebut berasal dari Suku Dayak Kenyah, Nyibun, dan Ngorek (sidakerta.kemdikbud.go.id, 2024). Masyarakat adat yang berjumlah 343 Kepala Keluarga tersebut hidup di Desa Apau Ping, Long Berini, Long Kemuat, Long Alango, Long Tebulo, Long Uli, Kecamatan Bahau Hulu (brwa.or.id, 2024). Sebagai serambi tampak depan dari sudut pandang Malaysia, masyarakat adat Lepo’ Ma’ut, Lepo’ Ke, Oma’ Long, Sa’ban, Lepo’ Ndang, Nyibun, dan Punan justru menghadapi berbagai persoalan.
Maraknya stigmatisasi, minimnya layanan pendidikan, dan merebaknya perampasan wilayah adat terutama hutan adat menjadi persoalan sehari-hari yang dihadapi oleh masyarakat adat. Padahal pengakuan dan penjaminan hak masyarakat adat telah tercantum dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 18 (B) ayat 2, yaitu: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang. Selain itu, masyarakat adat Lepo’ Ma’ut, Lepo’ Ke, Oma’ Long, Sa’ban, Lepo’ Ndang, Nyibun, dan Punan sebenarnya telah didukung oleh Peraturan Daerah Kabupaten Malinau Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di Kabupaten Malinau (brwa.or.id, 2024). Di samping Peraturan Daerah, pada tahun 2019 Pemerintah Daerah telah mengeluarkan SK Bupati Malinau Nomor 189.1/k.335/2019 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Besar Bahau Hulu di Kabupaten Malinau (brwa.or.id, 2024).
Kerentanan yang dihadapi oleh masyarakat adat Lepo’ Ma’ut, Lepo’ Ke, Oma’ Long, Sa’ban, Lepo’ Ndang, Nyibun, dan Punan semakin menguat dengan adanya isu ketahanan pangan. Selain itu, minimnya perhatian dan edukasi bagi perempuan dan anak di wilayah turut membuat kerentanan semakin mengemuka. Padahal perempuan dan anak menjadi tolak ukur keberlanjutan suatu masyarakat. Hal tersebut turut berdampak pada minimnya pendokumentasian dan terhadap objek pemajuan kebudayaan. Ketahanan pangan yang rentan dan keberpihakan terhadap hak masyarakat berkontribusi besar pada melunturnya pelestarian kebudayaan selain pada melemahnya kesejahteraan. Padahal masyarakat adat merupakan lumbung kebudayaan.
Kondisi masyarakat adat Lepo’ Ma’ut, Lepo’ Ke, Oma’ Long, Sa’ban, Lepo’ Ndang, Nyibun, dan Punan di Kalimantan Utara merupakan sebagian kecil contoh kerentanan yang dihadapi masyarakat adat. Secara umum, masih banyak masyarakat adat yang hidup di perbatasan, namun kurang mendapatkan perhatian dari pemangku kepentingan. Perubahan istilah wilayah terluar menjadi wilayah terdepan pada wilayah perbatasan belum mengubah cara pandang terhadap pembangunan berkelanjutan di Indonesia sehingga wilayah terluar belum menjadi prioritas. Padahal perubahan prioritas pembangunan berkelanjutan yang mengedepankan masyarakat adat di wilayah terluar akan mengubah perspektif mengenai ketahanan negara, baik dari sudut pandang masyarakat adat maupun sudut pandang masyarakat negara lain yang berdampingan dengan masyarakat adat.
Perubahan Paradigma Pembangunan
Kerentanan ekonomi, sosial, dan budaya yang dialami oleh masyarakat adat Lepo’ Ma’ut, Lepo’ Ke, Oma’ Long, Sa’ban, Lepo’ Ndang, Nyibun, dan Punan mengharuskan adanya perubahan pendekatan dalam pembangunan. Perubahan tersebut dimulai dari orientasi investasi jangka panjang pada masyarakat adat di wilayah terluar dalam pembangunan, yaitu membangun sumber daya manusia selain membangun infrastruktur penunjang. Pemenuhan gizi seimbang, penyediaan layanan pendidikan yang layak, penyediaan sarana kesehatan yang mumpuni, penyediaan fasilitas perumahan dan sanitasi yang baik, serta pemberian bantuan sosial dan afirmasi masyarakat adat merupakan langkah awal dalam membangun sumber daya manusia pada masyarakat adat di wilayah terluar.
Seringkali upaya membangun masyarakat adat hanya diterjemahkan secara eksplisit melalui pembangunan infrastruktur. Padahal membangun masyarakat adat memerlukan penerjemahan secara implisit yang berdampak lebih besar bagi keberlangsungan masyarakat adat, yaitu pemenuhan hak dasar yang mencakup pendidikan dan kesehatan. Penyelesaian permasalahan pemenuhan hak dasar bagi masyarakat adat di wilayah terluar nyatanya masih belum merata diimplementasikan dan belum terencana secara strategis. Selain itu, pemenuhan hak masih bersifat parsial dan sektoral tanpa melibatkan banyak pihak. Lebih dari itu, pemenuhan hak masyarakat adat di wilayah terluar belum berkelanjutan.
Membangun masyarakat adat di wilayah terluar melalui pemenuhan hak dasar diartikan sebagai membangun ketahanan negara. Pondasi kokoh berupa kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat adat akan menjadi landasan utama dalam membangun ketahanan negara. Oleh sebab itu, pemenuhan hak dasar bagi masyarakat adat sangat penting, terutama dalam upaya menjaga kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat adat dari ancaman kepunahan. Apabila kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat adat mengalami kemunduran, maka ketahanan masyarakat adat akan goyah. Kondisi tersebut lambat laun akan memengaruhi ketahanan negara. Dengan kata lain, ketahanan negara sangat dipengaruhi oleh ketahanan budaya, sementara ketahanan budaya memerlukan stimulus berupa pemenuhan hak dasar bagi masyarakat adat.
Orientasi dalam pembangunan yang mengarah pada investasi jangka panjang memerlukan dasar yang kuat. Namun demikian, saat ini masyarakat adat belum memiliki acuan yang lebih implementatif dari UUD 1945 Pasal 18 (B) ayat 2. Amanat pada aturan dalam UUD 1945 untuk menyusun Undang-Undang yang menjadi operasionalisasi pengakuan dan penjaminan hak bagi masyarakat adat masih belum ada hingga saat ini. Padahal kerentanan yang terjadi terhadap masyarakat adat seharusnya menjadi cerminan pentingnya payung hukum yang bersifat lebih operasional. Kerentanan yang terjadi pada masyarakat adat perlahan akan menggerus identitas kebudayaan. Padahal pada suatu masyarakat adat terdapat banyak kearifan lokal yang berwujud pengetahuan tradisional dan teknologi tradisional yang menjadi jalan kebudayaan sekaligus opsi tambahan dalam menghadapi tantangan maupun kerentanan.
Peran Pemangku Kepentingan dalam Merawat Perbatasan dan Menjaga Keberlanjutan Masyarakat Adat
Masyarakat adat Lepo’ Ma’ut, Lepo’ Ke, Oma’ Long, Sa’ban, Lepo’ Ndang, Nyibun, dan Punan saat ini belum memiliki pilihan untuk menjaga keberlangsungan kehidupan di wilayah perbatasan. Namun demikian, seluruh pemangku kepentingan dapat membuka keran pilihan tersebut melalui kolaborasi dan praktik baik dalam wujud keberpihakan kebijakan. Keberpihakan tersebut dimulai dengan percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat yang menjadi amanat dari UUD 1945 Pasal 18 (B) ayat 2. Rancangan dimaksud telah hampir 1 dekade belum disahkan sehingga proses pengakuan terhadap masyarakat adat masih mengambang. Adanya Undang-Undang yang bersifat lebih operasional dari UUD 1945 akan menguatkan pengakuan terhadap masyarakat adat sehingga hak dasar dan ruang untuk hidupnya dapat terjaga. Pasca pengesahan Rancangan Undang-Undang dimaksud, pembuatan regulasi berupa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang didalamnya terdapat aturan implementasi dan peran berbagai pihak akan semakin memperlihatkan peran seluruh pemangku kepentingan dalam melestarikan kehidupan masyarakat adat.
Penyusunan regulasi yang lengkap tidak hanya melindungi masyarakat adat Lepo’ Ma’ut, Lepo’ Ke, Oma’ Long, Sa’ban, Lepo’ Ndang, Nyibun, dan Punan yang berada di wilayah perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia, melainkan pula akan mendorong pengakuan hak-hak terhadap masyarakat adat lainnya. Selain penyusunan regulasi, saat ini Indonesia belum memiliki data dan peta persebaran yang secara spesifik menjelaskan masyarakat adat yang hidup di wilayah terluar dan wilayah perbatasan. Oleh sebab itu, ketiadaan data dan peta dimaksud dapat menjadi peluang kolaborasi dari berbagai pihak untuk menyusun data dan peta yang nantinya akan menjadi acuan dalam penyusunan kebijakan terhadap masyarakat adat di wilayah terluar dan wilayah perbatasan. Penyusunan data dan peta persebaran tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian/Lembaga, melainkan pula menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah, Akademisi, Media, Pihak Swasta, dan Kemitraan (NGO). Adanya data dan peta persebaran tersebut akan memudahkan penyusunan program afirmasi bagi masyarakat adat di wilayah terluar dan wilayah perbatasan.
Pada akhirnya, pembangunan berbasis kebudayaan yang mengedepankan kearifan lokal pada masyarakat adat di wilayah terluar dan wilayah perbatasan memerlukan campur tangan pentahelix. Masyarakat adat yang berada di wilayah terluar dan wilayah perbatasan perlu dipandang sebagai lumbung kebudayaan yang dapat merawat kebinekaan. Dalam masyarakat adat setidaknya hidup tradisi, pengetahuan tradisional, dan teknologi tradisional yang dapat menjadi alternatif untuk menghadapi kerentanan pada masa sekarang dan masa mendatang. Akan tetapi, kebudayaan yang hidup pada masyarakat adat memerlukan upaya pelestarian melalui pembangunan sumber daya manusia dan pemenuhan hak dasar bagi masyarakat adat. Oleh sebab itu, jalan kebudayaan yang dipandang sebagai solusi alternatif dalam pembangunan memerlukan ruang untuk hidup di tengah masyarakat adat. Jalan kebudayaan tersebut yang akan membuka serambi terluar wilayah Indonesia, memperlihatkan kekayaan alam maupun budaya, dan mendorong praktik baik menjaga ketahanan negara dengan masyarakat adat sebagai pelaku utama sekaligus acuan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk merawat persatuan.
*Analis Sumber Sejarah, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
Referensi
Badan Pusat Statistik. (2024). Statistik Regional dan Statistik Area Kecil. https://www.bps.go.id/id/statistics-table/3/VUZwV01tSlpPVlpsWlRKbmMxcFhhSGhEVjFoUFFUMDkjMw==/luas-daerah-dan-jumlah-pulau-menurut-provinsi–2023.html?year=2023. Diakses pada 11 Oktober 2024 Pukul 09.50 WIB.
Badan Registrasi Wilayah Adat. (2024). Wilayah Adat Besar Bahau Hulu. https://brwa.or.id/wa/view/UzFObUltelJHVzg. Diakses pada 11 Oktober 2024 Pukul 10.00 WIB.
Darmadi, H. (2016). Dayak Asal-Usul dan Penyebarannya di Bumi Borneo (1). Sosial Horizon: Jurnal Pendidikan Sosial, 3(2), 322-340.
Giyarsih, S. R. (2014). Pengentasan Kemiskinan Yang Komprehensif Di Bagian Wilayah Terluar Indonesia-Kasus Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara (Comprehensive Poverty Reduction in Indonesian Outermost Regions-Case Study of Nunukan Regency-North Kalimantan Province). Jurnal Manusia dan Lingkungan, 21(2), 239-246.
Mulya, L. (2013). Postur maritim Indonesia: pengukuran melalui teori Mahan. Lembaran Sejarah, 10(2), 127-134.
Oping, J. S. (2018). Efektifitas Pengamanan Terhadap Pulau-Pulau Terluar Indonesia Sebagai Upaya Mengatasi Konflik Di Wilayah Perbatasan Indonesia. Lex Privatum, 6(6).
Salim, M. (2017). Bhinneka tunggal ika sebagai perwujudan ikatan adat-adat masyarakat adat nusantara. Al Daulah: Jurnal Hukum Pidana Dan Ketatanegaraan, 6(1), 65-74.
Silipta, S., Komar, O., Hufad, A., & Jajat, S. (2021). Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Etnik Dayak. Jurnal PIPSI (Jurnal Pendidikan IPS Indonesia), 6(2), 46-53.
Subiakto, W. D., & Bakrie, I. (2015). Peranan Hukum Adat dalam Menjaga dan Melestarikan Hutan di Desa Metulang Kecamatan Kayan Selatan Kabupaten Malinau Propinsi Kalimantan Utara. Agrifor: Jurnal Ilmu Pertanian Dan Kehutanan, 14(2), 293-314.
Syamsudin, S. (2008). Beban masyarakat adat menghadapi hukum negara. Jurnal hukum ius quia iustum, 15(3), 338-351.
Thontowi, J. (2015). Pengaturan masyarakat hukum adat dan implementasi perlindungan hak-hak tradisionalnya. Pandecta Research Law Journal, 10(1).
Utomo, A. T. S. (2010). Optimalisasi pengelolaan dan pemberdayaan pulau-pulau terluar dalam rangka mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum, 10(3), 319-328.