Memberantas Kejahatan Seksual Terhadap Anak

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 16 Juli 2014
Kategori: Opini
Dibaca: 110.604 Kali

yuliKasus kejahatan seksual terhadap murid TK di Jakarta International School (JIS) memasuki babak baru. Dalam kasus tersebut, Polda Metro Jaya tidak hanya menetapkan lima petugas kebersihan sebagai tersangka, tetapi juga dua guru sebagai tersangka baru. Kita tentu menghargai langkah Polda Metro Jayadalam menetapkan kedua tersangka baru tersebut, dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah.

Terkuaknya kasus kejahatan seksual terhadap murid TK di JIS sekitar tiga bulan yang lalu itu, seakan menjadi pemicu terbongkarnya kejahatan seksual terhadap anak di daerah-daerah lain di Indonesia. Di Sukabumi, misalnya, Andri Sobari alias Emon diduga telah menyodomi lebih dari 100 anak. Begitu juga di Tegal, Samai mengakui telah menjadi predator seksual terhadap 100 anak.

Yang memprihatinkan, terungkapnya kasus kejahatan seksual terhadap anak di beberapa daerah itu pun masih dianggap sebagai fenomena gunung es.  Karena masih banyak kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak lainnya yang belum terungkap. Bahkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis data, selama tiga tahun terakhir rata-rata terjadi  45 kasus kekerasan seksual per bulan.

Karenanya, perlu langkah khusus untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan seksual terhadap anak. Apalagi, kasus kejahatan seksual terhadap anak kebanyakan terjadi di lingkungan terdekat anak, seperti di rumah dan sekolah.

Pelakunya pun, kerap kali dilakukan orang terdekat korban, mulai dari orang tuanya sendiri, paman, tetangga, sampai dengan guru yang seharusnya melindungi anak di lingkungan sekolah. Belum lagi dampak yang dirasakan oleh korban kejahatan seksual: selain terkena infeksi menular seksual, juga mengalami depresi dan trauma yang berkepanjangan.

Bahkan dalam kasus sodomi, korban sodomi akan berpotensi menjadi pelaku sodomi di kemudian hari. Hal ini diperkuat dengan pengakuan salah satu petugas kebersihan di JIS yang menjadi tersangka, bahwa dia pernah disodomi oleh William James Vahey, predator seks buronan FBI yang pernah mengajar di JIS selama 10 tahun.

Perlunya langkah khusus pencegahan dan pemberantasan kejahatan seksual terhadap anak yang bukan business as usual itu, disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rapat kabinet terbatas dengan organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat, dan dunia usaha pada pertengahan Mei lalu. Hasil dari pertemuan itu adalah, dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak.

Mengingat kejahatan seksual terhadap anak sudah menjadi musuh kita bersama, maka dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2014 tersebut,  tidak hanya melibatkan aparatur pemerintah, tetapi juga mengikutsertakan organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat, dan dunia usaha. Peran serta semua elemen masyarakat tersebut memang mutlak diperlukan, agar pencegahan dan pemberantasan kejahatan seksual terhadap anak dapat berjalan efektif.

Dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2014 tersebut, Presiden SBY memberikan instruksi khusus kepada Kapolri dan Jaksa Agung. Kepada Kapolri, diinstruksikan untuk mempercepat penanganan dan penyelesaian proses penyidikan dan berkas perkara hukum bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Selain itu, Kapolri diinstruksikan pula untuk melakukan penegakan hukum yang optimal kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak di tingkat penyidikan, dan memberikan perlindungan terhadap anak korban kejahatan seksual selama proses penyidikan bersama dengan instansi terkait.

Terkait dengan perlindungan terhadap anak dari kejahatan seksual, Kepolisian nampaknya perlu mempunyai data terpidana pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Data pelaku kejahatan seksual terhadap anak itu penting, dan harus dapat diakses dengan mudah oleh publik. Contohnya, jika Andri Sobari alias Emon, yang saat ini baru berusia 24 tahun, dihukum maksimal 15 tahun menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka ketika bebas dia baru berusia 39 tahun. Ketika sudah bebas, publik mungkin sudah lupa siapa Sobari atau Emon itu, sehingga mungkin saja ia melakukan lagi kejahatan seksual terhadap anak.

Kepada Jaksa Agung, diinstruksikan untuk mempercepat proses penanganan dan penyelesaian perkara yang berhubungan dengan kejahatan seksual terhadap anak. Selain itu, Jaksa Agung juga diinstruksikan untuk melakukan tuntutan pidana seberat mungkin terhadap pelaku tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak sesuai fakta hukum yang ditemukan dalam rangka memberikan efek jera.

Terkait dengan upaya memberikan efek jera, salah satu tuntutan pidana yang dapat dilakukan adalah dengan mengebiri secara kimiawi (chemical castration) terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Chemical castration adalah penggunaan obat untuk mengurangi hasrat seksual yang tinggi. Namun demikian, tuntutan kebiri secara kimia tersebut baru dapat dilakukan apabila KUHP atau UU Perlindungan Anak direvisi dahulu dengan memasukkan sanksi tersebut.

Terlepas dari perdebatan apakah kebiri secara kimia efektif dan bertentangan dengan hak asasi manusia, tapi kenyataannya beberapa negara sudah menerapkan sanksi chemical castration. Di negara bagian California, Amerika Serikat misalnya, sejak 1996 telah memberlakukan kebiri secara kimiawi terhadap residivis pelaku kejahatan seksual terhadap anak berdasarkan Undang-Undang Pidana California (California Penal Code Section 645).

Kembali ke penyelesaian kasus kejahatan seksual terhadap anak di JIS, kita berharap Polda Metro Jaya dapat menyelesaikan penyidikannya secara cepat. Karena kecepatan dalam proses penyelesaian kasus kejahatan seksual terhadap anak dan pemberian efek jera kepada pelakunya, bukan saja sudah menjadi instruksi Presiden SBY sebagaimana dituangkan dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2014, tetapi juga harapan kita semua.

Oleh : Yuli Harsono*)

*) Penulis Adalah Staf Ahli Sekretaris Kabinet

Opini Terbaru