Memperkuat Kedudukan Ombudsman Sebagai Lembaga Magistrature of Influence dan Magistrature of Sanction Khususnya Dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik di Masa Pandemi COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 23 Februari 2021
Kategori: Opini
Dibaca: 2.869 Kali

Oleh: Roby Arya Brata *)


A. Pendahuluan
Dalam suatu negara demokrasi konstitusional Pemerintah memiliki kewajiban konstitusional untuk memenuhi hak-hak mendasar warga negara akan pelayanan publik yang berkualitas, berkeadilan dan mensejahterakan. Kewajiban konstitusional demikian juga dinyatakan dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 : “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum…”. Karena itu, untuk melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan masyarakat pemerintah negara Indonesia memiliki kewajiban konstitusional untuk memberikan pelayanan publik dengan sebaik-baiknya dalam rangka melindungi dan memenuhi hak-hak mendasar warga negara seperti kebutuhan akan rasa aman, pendidikan, dan kesehatan.

Untuk memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional mendasar warga negara inilah Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dibentuk. ORI didirikan untuk mengawasi dan memastikan penyelenggara negara dan pemerintah memberikan pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dan hak mendasar warga negara dengan sebaik-baiknya sesuai maklumat dan standar pelayanan yang dijanjikan.

Namun demikian sejak dibentuk 20 tahun yang lalu dengan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional (KON) dan kemudian diperkuat kedudukan dan kewenangannya dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia ORI masih dihadapkan pada kendala dan tantangan mendasar dalam mewujudkan visi dan misinya. Sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai indikator tata kelola (governance indicator) ORI masih belum berhasil ikut mempengaruhi dan mendorong diwujudkannya tata kelola pemerintahan yang efektif, efisien, akuntabel, berintegritas dan melayani (good governance).

Makalah ini, karena itu, akan menganalisis dan memberikan solusi/rekomendasi terhadap masalah tata kelola (governance problem) yang dihadapi ORI dalam menjalankan misinya sebagai pengawas pelayanan publik. Pertama, makalah ini membahas paradigma dan visi misi ORI sebagai instrumen pembangunan. Kedua, makalah menganalisis problematika ORI sebagai lembaga pemberi pengaruh (Magistrature of Influence). Selanjutnya, penguatan ORI sebagai lembaga pemberi sanksi (Magistrature of Sanction) akan didiskusikan. Akhirnya, makalah membahas program prioritas ORI untuk mengawasi dan meningkatkan kualitas, efektivitas dan integritas pelayanan publik dalam mengatasi pandemi COVID-19 dan memulihkan perekonomian nasional.

B. Paradigma ORI Sebagai Instrumen Pembangunan
Dalam negara demokrasi konstitusional seperti Indonesia ORI hakikatnya memperkuat mekanisme checks and balances yang dilakukan kekuasaan legislatif parlemen khususnya dalam mengawasi pelayanan publik yang dilakukan oleh kekuasaan eksekutif. Namun demikian, keberadaan ORI, dengan kewenangannya untuk memberikan rekomendasi (recommendation power) kepada pemerintah, berperan strategis dalam memperkuat kekuasaan eksekutif.

ORI, karena itu, dapat melakukan fungsi konstitusional sebagai jembatan penguat (empowering bridge) antara kekuasaan legislatif parlemen dan kekuasaan eksekutif pemerintah dalam mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan. Di satu sisi ORI dapat memperkuat fungsi pengawasan kekuasaan legislatif parlemen; sementara bagi pemerintah ORI dengan kewenangannya untuk mengoreksi kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan publik dapat memperkuat efektivitas kekuasaan eksekutif dalam menjalankan tugas-tugas pembangunannya.

Di masa depan, karena kedudukan dan fungsinya yang strategis sebagai empowering bridge dalam hubungan ketatanegaraan perlu dikaji kemungkinan ORI dijadikan sebagai lembaga konstitusional (constitutional body).

Dalam menjalankan fungsi empowering bridge dan kedudukan ORI sebagai instrumen pembangunan karenanya krusial untuk merumuskan visi dan misi ORI dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis, melayani, berkeadilan dan mensejahterakan. Visi ORI dapat dirumuskan sebagai berikut :

Visi :
“Pengawasan pelayanan publik yang efektif untuk memperkuat fungsi sebagai jembatan penguat (empowering bridge) dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, demokratis, berkeadilan dan mensejahterakan”.

Misi :
1. Memperkuat kedudukan sebagai lembaga pemberi pengaruh (Magistrature of Influence) dan lembaga pemberi sanksi (Magistrature of Sanction);
2. Melakukan inovasi-inovasi pelayanan yang efektif dan solutif dalam keterbatasan sumber daya organisasi;
3. Memperkuat partisipasi masyarakat dan jejaring kerja dalam pengawasan pelayanan publik.

C. Memperkuat kedudukan ORI sebagai lembaga pemberi pengaruh (Magistrature of Influence)

Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pemberi pengaruh (Magistrature of Influence) ORI menghadapi berbagai kendala yang tidak mudah. Pertama, masalah keterbatasan sumber daya terutama anggaran dan sumber daya manusia. Untuk mengawasi pelayanan publik di negara seluas Indonesia dengan 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota ORI hanya diberi alokasi anggaran sebesar Rp 166 milyar pada tahun 2019 (Renstra ORI 2020 – 2024). Sementara untuk sumber daya manusia pada tahun 2019 ORI hanya didukung oleh 386 tenaga teknis keasistenan yang sebenarnya berperanan penting dalam pelaksanaan fungsi ORI sebagai Magistrature of Influence untuk mempengaruhi perbaikan kualitas pelayanan publik :

Grafik 1 Kekuatan Sumber Daya Manusia ORI Menurut Jabatan

Sumber : Rencana Strategis ORI 2020 – 2024

Di tengah defisit anggaran negara tentu akan sulit sekali untuk menambah anggaran, sumber daya manusia, sarana dan prasarana ORI. Karena itu, di tengah keterbatasan sumber daya demikian ORI harus dapat melakukan terobosan-terobosan yang inovatif, efektif dan solutif dalam memberikan pelayanan dan menjalankan tugas dan fungsinya sebagai Magistrature of Influence dalam mewujudkan good governance dan pelayanan publik yang berkualitas. Ke depan, dalam revisi UU No.37/2008 tentang ORI perlu dikaji perumusan ketentuan tentang jaminan minimal anggaran ORI.

Namun demikian faktor utama yang menyebabkan lemahnya kedudukan dan fungsi ORI sebagai Magistrature of Influence adalah tidak dimilikinya kewenangan ORI dalam memberikan sanksi bagi penyelenggara pelayanan publik yang melakukan maladministrasi. Karena itu penting memperkuat kelembagaan ORI sebagai lembaga pemberi sanksi (Magistrature of Sanction).

D. Penguatan ORI sebagai lembaga pemberi sanksi (Magistrature of Sanction)
Kelemahan ORI sebagai Magistrature of Influence disebabkan karena kewenangan ORI hanya sekedar memberi rekomendasi kepada penyelenggara pelayanan publik untuk mencegah maladministrasi dan memperbaiki kualitas pelayanan publik. ORI tidak memiliki kewenangan memberi sanksi (langsung) untuk memaksa penyelenggara pelayanan publik mematuhi dan melaksanakan rekomendasi yang diberikan ORI. Kelemahan demikian ditunjukkan oleh, misalnya, masih rendahnya tingkat kepatuhan penyelenggara pelayanan publik dalam melaksanakan rekomendasi-rekomendasi ORI untuk mencegah maladministrasi dan memperbaiki kualitas pelayanan publik:

Grafik 2 Tindak Lanjut Terlapor atas Rekomendasi ORI

Sumber : Rencana Strategis ORI 2020 – 2024

Meskipun UU No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik telah memperkuat kewenangan ORI namun dari grafik tersebut terlihat hanya 35,29 % penyelenggara pelayanan publik yang melaksanakan dengan penuh rekomendasi-rekomendasi yang diberikan ORI. Karena itu penting memperkuat kedudukan ORI sebagai Magistrature of Sanction dengan diberikan kewenangan untuk memberikan sanksi (administratif) langsung kepada penyelenggara pelayanan publik yang tidak melaksanakan rekomendasi-rekomendasi yang diberikan oleh ORI.

Salah satu cara untuk memperkuat kedudukan ORI sebagai Magistrature of Sanction adalah mempercepat proses penetapan RPerpres tentang Mekanisme dan Ketentuan Pemberian Ganti Rugi untuk memperkuat fungsi ajudikasi khusus ORI dalam membuat keputusan pemberian ganti rugi.

Proses penetapan RPerpres ini terhenti sejak tahun 2011. Jika lamanya proses penetapan RPerpres ini (diduga) karena ada kekhawatiran pemerintah akan tersedotnya anggaran pemerintah dalam pemberian ganti rugi di tengah kondisi pelayanan publik yang masih buruk maka perlu dikaji opsi bentuk pemberian sanksi lainnya. Misalnya, perlu ditetapkan batas maksimum pemberian ganti rugi atau ORI diberi kewenangan untuk mencopot pejabat penyelenggara pelayanan publik yang melakukan kesalahan berat maladministrasi.

E. Program Prioritas: Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dalam Masa Pandemi COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional
Di tengah defisit/keterbatasan anggaran, krisis ekonomi dan pandemi yang semakin meluas seperti saat ini potensi maladministrasi dan penurunan kualitas pelayanan publik sangatlah besar. Dari grafik berikut terlihat kasus positif per 1.000.000 penduduk di berbagai provinsi menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan:

Grafik 3. Kasus Positif per 1.000.000 Penduduk Menurut Provinsi

Sumber: Kemkes.go.id, 5 Desember 2020

Berdasarkan grafik  di atas , pada tanggal 5 Desember 2020 terdapat 10 provinsi dengan jumlah kasus positif COVID-19 terbanyak per satu juta penduduk, yaitu (berurutan dari jumlah yang paling banyak): 1. DKI Jakarta, 2. Papua Barat, 3. Kalimantan Timur, 4. Sumatera Barat, 5. Papua, 6. Bali, 7. Kalimantan Selatan, 8. Riau, 9. Sulawesi Utara dan 10. Gorontalo.

Karena itu, di tengah keterbatasan sumber daya, ORI perlu memprioritaskan program pengawasan pelayanan publik terkait dampak COVID-19 pada sepuluh provinsi yang jumlah kasus positifnya paling banyak khususnya provinsi-provinsi di pulau jawa. Teknologi informasi perlu diberdayakan untuk melaksanakan fungsi pelaporan dan systemic review dalam mencegah maladministrasi dan penurunan kualitas pelayanan dalam pemberian berbagai jenis bansos pada masyarakat yang terdampak COVID-19.

ORI juga perlu memastikan semua pelayanan publik untuk memulihkan perekonomian nasional, terutama pelayanan perizinan investasi dan kemudahan berusaha, dikawal dan diawasi dengan baik. Untuk mencegah potensi maladministrasi dalam proses pelayanan perizinan investasi dan kemudahan berusaha sebaiknya Pemerintah melibatkan ORI dalam proses perumusan peraturan perundang-undangan pelaksanaan UU N0.11/2020 tentang Cipta Kerja.

Pengawasan pelayanan publik dalam proses pelayanan perizinan investasi dan kemudahan berusaha perlu diperbaiki dan ditingkatkan secara inovatif dan sistemik untuk meningkatkan investasi, menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran/kemiskinan. Permasalahannya, dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya,  penanaman modal asing/PMA ke Indonesia masih rendah. Sebagaimana ditunjukkan dalam grafik di bawah arus masuk PMA ke Indonesia, dalam lima tahun terakhir, rata-rata hanya 1,9% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah Kamboja (11,8%), Vietnam (5,9%), Malaysia (3,5%), dan Thailand (2,6%) (Mirza Afifa, 2021).

Berdasarkan data BKPM (bkpm.go.id, 30 Juli 2019) dibandingkan nilai investasi PMA negara-negara ASEAN khususnya Vietnam nilai investasi PMA Indonesia masih rendah. Nilai PMA  Indonesia  pada kuartal I-2019 tercatat USD 6,08  miliar,  mengalami  perlambatan (-0,9%) dibandingkan kuartal I-2018. Realisasi investasi PMA pada kuartal II-2019 jika dibandingkan kuartal II-2018, naik 9,6%, dari Rp95,7 triliun menjadi Rp104,9 triliun. Sementara pertumbuhan PMA Thailand meningkat pesat sebesar 253% dibandingkan kuartal I-2018 dengan nilai USD2,7 miliar. Sementara Vietnam berhasil mencatatkan pertumbuhan PMA tertinggi sejak tahun 2015 dengan nilai ±USD16,7 miliar (Mirza Afifa, 2021).
Grafik 4. PMA Negara-negara ASEAN Tahun 2004–2018

Dampak pandemi COVID-19 begitu nyata pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sejak kasus pertama COVID-19 diumumkan oleh Pemerintah pada tanggal 2 Maret 2020 dan kemudian dikeluarkan kebijakan yang membatasi mobilitas dan kegiatan ekonomi pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami penurunan. Sisi penawaran (supply) dan permintaan (demand) pasar/perekonomian terus mengalami tekanan. Sebagaimana ditunjukkan dalam Grafik 5 pada akhir Kuartal I tahun 2020 pertumbuhan ekonomi mulai mengalami kontraksi yang mendalam (2,97%) dan puncaknya Indonesia masuk dalam resesi ekonomi pada Kuartal III tahun 2020 (-3,49%) setelah pada Kuartal II mengalami pertumbuhan ekonomi minus (-5,32%).

Grafik 5 Laju Pertumbuhan PDB Periode Triwulan I-2019 s.d. Triwulan III-2020

Sumber: BPS 2020

Faktor kunci untuk memulihkan perekonomian nasional/meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah dengan menggerakkan dan memperkuat sisi supply dan demand. Ekspor ditingkatkan. Impor dikurangi, misalnya dengan kebijakan substitusi impor dan gerakan mencintai dan membeli produk dalam negeri. Investasi harus ditingkatkan. Kegiatan usaha terutama sektor UMKM harus digerakkan. Daya beli masyarakat dan konsumsi rumah tangga harus dijaga dan ditingkatkan untuk membeli produk dan jasa yang dihasilkan dari sisi supply.

Namun demikian perekonomian nasional tidak akan bisa dipulihkan jika pandemi COVID-19 tidak bisa diatasi dengan baik. Pandemi COVID-19 adalah sebab yang mengakibatkan terpuruknya perekonomian nasional. Kebijakan publik yang baik (adequate policy) adalah kebijakan yang dapat mengatasi hubungan kausalitas ini. Kebijakan pemerintah mesti bisa mewujudkan trade off yang optimal antara kebijakan untuk mengatasi pandemi COVID-19 dan kebijakan untuk memulihkan perekonomian nasional.

Di sinilah letak strategis peran dan fungsi ORI sebagai Magistrature of Influence sekaligus sebagai Magistrature of Sanction dalam mengawasi dan meningkatkan kualitas pelayanan publik, terutama pelayanan publik untuk menggerakkan dan memperkuat sisi supply dan demand itu. ORI perlu, misalnya, meningkatkan fungsi systemic review, rapid assessment dan pemberian rekomendasi yang berkualitas untuk mencegah terjadinya maladmisistrasi dan birokratisasi (red tape) dalam proses perizinan investasi dan kemudahan berusaha.

F. Penutup
Sebagai suatu lembaga governance dalam negara demokrasi konstitusional ORI menghadapi tantangan yang tidak mudah. Untuk mewujudkan visi misinya ORI perlu didudukan sebagai empowering bridge antara kekuasaan legislatif parlemen dan kekuasaan eksekutif pemerintah dalam mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan. Untuk mewujudkan visi misi tersebut ORI perlu ditempatkan sebagai constitutional body dengan penguatan fungsinya sebagai Magistrature of Influence dan Magistrature of Sanction.

*) Makalah Fit and Proper Test penulis sebagai calon Anggota Ombudsman RI Masa Bakti 2021 -2026 di Komisi II DPR RI, 27 Januari 2021

Opini Terbaru