Mencermati Lonjakan Harga Beras Nasional

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 13 April 2015
Kategori: Opini
Dibaca: 59.800 Kali

OktaOleh: Oktavio Nugrayasa, SE, M.Si*)

Jika tidak dikendalikan dengan tepat, situasi melambungnya kenaikan harga beras yang terjadi di hampir seluruh wilayah belakangan ini akan dapat memicu krisis baru, yaitu berdampak pada kenaikan harga bahan kebutuhan pokok yang lain sehingga efeknya akan turut menganggu pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terutama yang berada di lapisan bawah.

Dalam kurun waktu 4 (empat) bulan pertama di tahun 2015, munculnya gejala kenaikan harga komoditas beras yang cukup signitifikan ini menyusul suplai yang cukup besar terhambat karena terjadinya situasi kekeringan di sejumlah wilayah sentra pertanian padi sehingga mengakibatkan panen menjadi tertunda yang seharusnya waktu panen dilakukan pada bulan Januari dan Februari menjadi mundur waktunya pada pertengahan Maret 2015.

Penyebab kedua adalah terjadinya bencana puso di sebagian wilayah Jawa Tengah akibat wabah hama wereng menjangkiti sebagian besar areal sawah pertanian sehingga menyebabkan gagal panen, kemudian yang ketiga adalah banjir yang sempat menenggelamkan lahan pertanian tanaman padi yang melanda beberapa Kabupaten (Subang, Indramayu dan Karawang) di Jawa Barat yang selama ini menjadi sentra produksi beras sehingga menurunkan jumlah produksi padi yang dihasilkan.

Namun lonjakan harga yang sangat ekstrim membuat sejumlah kalangan mengkhawatirkan adanya gejala tidak sehat, karena dua tahun berturut-turut (2013-2014) pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat untuk jumlah produksi padi nasional dapat dikatakan meningkat diatas 5% per tahun, sedangkan penduduk Indonesia bertambah hanya sekitar 1,25% per tahun. Dengan peningkatan angka produksi seperti diatas, seharusnya persediaan beras dapat dikatakan cukup untuk memenuhi permintaan masyarakat dan harga beras di dalam negeri secara otomatis dapat lebih stabil.

Tanpa mengabaikan keberadaan pihak tertentu, silang pendapat mengemuka terkait fenomena terjadinya lonjakan harga beras di beberapa pasar di Indonesia mengalami kenaikan yang cukup besar terutama di kota-kota besar seperti di Jakarta, Surabaya, Bandung dan kota-kota lainnya. Kenaikan di tingkat pengecer bisa mencapai 30 persen.

Untuk harga beras IR 64 dengan kualitas medium menembus angka Rp 10 ribu-Rp 10.500 per kg, sedangkan harga beras untuk kualitas asalan dari sebelumnya Rp. 6.000 menjadi Rp. 8.000. Demikian juga  di Luar Jawa, seperti Jambi harga beras naik hingga Rp. 5.000 per karung, sehingga ditenggarai adanya unsur kesengajaan dari adanya permainan mafia dibalik melonjaknya harga beras, dengan kekuatan besarnya mereka mampu mengontrol harga pada tingkat tertentu.

Apapun penilaian yang disampaikan beberapa kalangan, tidak ada jalan lain bagi pemerintah dalam menghadapi situasi ini dengan segera melakukan penataan pengelolaan beras nasional secara lebih efektif atasi berbagai persoalan mendasar, seperti jumlah pasokan beras yang harus cukup tersedia sepanjang waktu dan dengan tingkat harga yang relatif stabil serta terdistribusinya komoditas beras secara merata diberbagai wilayah untuk memenuhi permintaan masyarakat.

Memperbesar Volume Pasokan  

Beras merupakan salah satu komoditi pangan yang mempunyai arti sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan keberadaannya sebagai makanan pokok bagi hampir seluruh bangsa Indonesia. Angkanya mencapai 97% penduduk Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi untuk mengkonsumsi beras sebagai bahan makanan pokok utama. Selain merupakan pengkonsumsi beras, Indonesia juga merupakan negara produsen beras terbesar ke tiga di dunia.

Pengalaman telah membuktikan bahwa gangguan pada ketahanan pangan, seperti meroketnya kenaikan harga beras pada waktu krisis ekonomi 1997/1998, yang berkembang menjadi krisis multidimensi telah memicu kerawanan sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional. Posisi pangan sangat menentukan dalam stabilitas karena merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi sesuai hak asasinya sehingga merupakan salah satu pilar utama pembangunan nasional.

Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional terutama beras, pemerintah dihadapkan pada banyak tantangan dan beragam masalah. Dukungan dan tekad besar dari Presiden Jokowi untuk kembali memperkuat sektor pertanian menjadi momentum bagi pemerintah untuk lebih serius dan fokus dalam menangani permasalahan ketahanan pangan nasional.

Tantangan ke depan tentunya akan semakin berat terutama dalam jangka panjang, melihat begitu banyak persoalan pangan terutama menyangkut beras, solusi dalam jangka pendek yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan meningkatkan kemampuan Perum Bulog sebagai lembaga yang menangani pengadaan beras dalam negeri untuk Raskin dan berupaya untuk memperbesar cadangan stok beras nasional. Peningkatan cadangan merujuk pada aturan organisasi pangan dunia (FAO) yang mematok cadangan pangan minimal RI sebesar satu juta ton.

Pada tahun 2014 untuk cadangan beras nasional di Perum Bulog sebelumnya sebesar 3,4 juta ton, diharapkan pada tahun 2015 target realisasi pemerintah untuk pengadaan cadangan beras pemerintah (CBP) bisa ditingkatkan minimum besarnya mencapai 4 juta ton beras, sehingga dengan adanya tambahan cadangan beras tersebut maka kemampuan Bulog untuk mengelola stok pangan akan meningkat serta dinilai akan mencegah spekulan bermain.

Mengontrol Harga Beras

Gejolak naiknya harga beras yang terjadi dalam beberapa pekan belakangan ini hingga melonjak sebesar 30 persen, ternyata berdasarkan pantauan disimpulkan bahwa harga tersebut adalah harga yang paling mahal dibandingkan dengan harga beras yang sekarang beredar di pasar Internasional, angkanya cukup fantastis hingga mencapai 100 persen.

Sebagai contoh, untuk beras impor asal negara Vietnam katagori kelas medium dengan kualitas broken 15 persen harganya hanya 400 dollar AS per ton atau jika di rupiahkan akan setara dengan Rp. 5.000 per kg, dan jika beras tersebut sudah sampai di Indonesia harganya bisa mencapai Rp. 6.000 per kg, itu sudah termasuk bea masuk dan ongkos/biaya angkut. Sedangkan untuk beras premenium harganya tak jauh beda dengan selisih lebih mahal 20-25 dollar AS per ton, atau selisih lebih mahal Rp. 200-300 per kg dari beras medium. Dengan harga beras di Indonesia yang sangat tinggi, maka kemungkinan besar praktik penyelundupan beras ke dalam negeri sangat berpotensi besar dan harus di waspadai.

Terhadap situasi dan persoalan yang terjadi pada pasar beras nasional, tentunya tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja akan tetapi harus dilihat secara menyeluruh, artinya terhadap tuntutan penurunan harga beras yang banyak dikeluhkan dan merugikan dari sisi konsumen, sedangkan dari sisi petani terjadinya penurunan harga beras justru dirasakan akan sangat merugikan.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan diversifikasi pangan, dikarenakan negara Indonesia sangat kaya akan produk pangan lokalnya yang lain, tidaklah terbatas pada komoditas beras sebagai konsumsi masyarakat. Dengan demikian jumlah konsumsi beras dapat ditekan dan selanjutnya jika terjadi kenaikan harga beras maka gonjang ganjingnya tidak akan berdampak besar karena diversifikasi pangan telah berhasil diterapkan. Mungkin sudah saatnya, pemerintah mulai menggalakan kembali gerakan diversifikasi pangan lokal sebagai alternatif pola budaya konsumsi masyarakat Indonesia.

*) Kabid Ketahanan Pangan dan PDT Deputi Perekonomian Setkab

Opini Terbaru