Mendagri: Perppu Jangan Diobral, Revisi UU Terorisme Bisa 3 Hari Selesai

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 19 Januari 2016
Kategori: Berita
Dibaca: 19.006 Kali
Mendagri menjawab pertanyaan wartawan usai rapat konsultasi Presiden dengan lembaga negara di Istana Negara, Jakarta (19/1) (Foto:Humas/Oji)

Mendagri menjawab pertanyaan wartawan sebelum pertemuan pemerintah dengan lembaga negara di Istana Negara, Jakarta (19/1) (Foto:Humas/Jay)

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menolak saran sejumlah pihak agar pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai jalan pintas menyelesaikan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

“Menurut saya Perppu itu jangan diobral ya pada hal-hal yang memang kegentingan memaksa, yang sesegera. Karena memang ada sejumlah pasal kecil yang seharusnya bisa diubah dari revisi Undang-Undang Terorisme, kalau mau serius 2-3 hari selesai. Itu aja,” kata Tjahjo kepada wartawan sebelum mengikuti rapat konsultasi antara pemerintah dengan pimpinan lembaga negara, di Istana Negara, Jakarta, Selasa (19/1) pagi.

Yang penting, lanjut Tjahjo, Badan Intelijen Negara (BIN) itu  tidak sendirian, ada intel TNI, ada intel kepolisian, imigrasi, bea cukai, kejaksaan. “Yang penting tugas BIN adalah mengkoordinasikan. Itu aja intinya,” ujarnya.

Sudah Dideteksi

Sementara itu Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung mengatakan, pertemuan pimpinan lembaga negara dengan Presiden dan Wakil Presiden, di Istana Negara, Jakarta, Selasa (19/1) ini mengagendakan secara khusus mengenai hal yang berkaitan dengan tindakan terorisme yang terjadi beberapa waktu yang lalu .

Seskab menyebutkan, sebenarnya pemerintah jauh-jauh hari sudah telah mendeteksi dini bahwa akan ada tindakan terorisme, yang mereka sebut dengan melakukan “konser”.  Tetapi karena kewenangan ataupun juga payung hukum, tidak bisa dilakukan tindakan.

“Maka pada waktu itu hanya 19 orang yang kemudian memang ada bukti yang kuat untuk ditangkap, baik oleh Densus 88 maupun oleh Polri pada waktu itu,” terang Pramono.

Nah, belajar pada hal tersebut, menurut Seskab ketika terjadi peristiwa di Jalan Thamrin, Jakarta, pekan lalu, ternyata jaringan itu ada, yang sudah diduga bahwa mereka bagian dari hal tersebut. Mereka, lanjut Seskab, melakukan dan secara resmi, dan sampai dengan kemarin Polri telah menyampaikan ada 14 yang ditangkap.

“Ini kan menunjukkan bahwa ada hal yang perlu dilakukan penyempurnaan, perbaikan, terutama tindakan preventif  dan yang kedua adalah  tindakan yang berkaitan dengan deradikalisasi,” kata Pramono.

Dua hal itulah, kata Pramono, yang nanti akan menjadi hal bahasan pertemuan Presiden Joko Widodo dengan pimpinan lembaga-lembaga  negara. “Apakah kemudian ini masuk dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang terorisme, tindakan terorisme, ataukah kemudian seperti yang diusulkan oleh Ketua DPR RI Ade Komarudin yang mengusulkan lebih singkat melalui Perppu,” jelas Pramono. Lebih lanjut Seskab Pramono menjelaskan bahwa usulan-usulan seperti  itu dikaji mendalam tanpa menghilangkan hal yang paling utama, karena sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia maka faktor itu menjadi faktor penting.

Menurut Pramono, kita juga perlu belajar dari beberapa negara tetangga. Salah satunya Malaysia dan Singapura, kenapa mereka tidak sempat melakukan itu. Ketika mereka sampai, yang baru pulang dari Suriah sampai mereka sudah bisa diambil atau dideteksi karena mereka baru pulang dari perang, di Malaysia dan di Singapura.

“Tetapi di kita tidak ada, payung hukumnya tidak ada. Padahal kita tahu ada 100 lebih yang baru kembali ke tanah air,” pungkas Mas Pram, panggilan akrab Pramono Anung. (FID/ES)

Berita Terbaru