Mengenal Koleksi Benda Seni Kenegaraan (Bag-3)

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 19 Maret 2015
Kategori: Opini
Dibaca: 44.049 Kali

Oleh: Kukuh Pamuji

Foto. 1.  Penangkapan Diponegoro (Die Gefangenhame Diepo Negoro), Raden Saleh (1857), 112 x 179 cm (Sumber: Bagian Pengelolaan  Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Foto. 1. Penangkapan Diponegoro (Die Gefangenhame Diepo Negoro), Raden Saleh (1857), 112 x 179 cm
(Sumber: Bagian Pengelolaan Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Pada tulisan yang ke-3 ini masih menghadirkan lukisan mahakarya dari seorang maestro bernama Raden Saleh Sjarif Bustaman. Lukisan yang dimaksud adalah lukisan yang berjudul “Penangkapan Diponegoro” (Die Gefangenhame Diepo Negoro). Lukisan yang menjadi koleksi Negara ini dan saat ini terpasang di dinding Ruang Pamer Utama Museum Istana Kepresidenan Yogyakarta.

Lukisan ini dibuat pada saat Raden Saleh masih menjabat sebagai pelukis kerajaan Belanda. Lukisan  yang menggambarkan peristiwa yang terjadi pada tanggal 28 Maret 1830 di rumah Residen Kedu di Magelang ini merupakan hasil pengembalian dari pemerintah Belanda yang diserahkan kepada pemerintah Indonesia pada tahun 1978, sesuai dengan perjanjian kerja sama di bidang budaya antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah kerajaan Belanda.

Lukisan“Penangkapan Diponegoro” memiliki satu keistimewaan tersendiri karena merupakan lukisan sejarah pertama di Asia Tenggara di antara sejarah lukisan aliran Eropa yang dilukis oleh orang Asia Tenggara sendiri. Lukisan ini diakui sebagai sejarah kejadian di Asia Tenggara seiring dengan adanya lukisan lain versi kaum kolonial (Kraus dalam I Ketut Winata, 2007: 107). Untuk mengungkap misteri yang terkandung dalam lukisan ini, maka sejarah lukisan “Penangkapan Diponegoro” harus dijadikan dasar pemikiran untuk menggali lebih dalam misteri yang terkandung, sehingga dapat mengungkapkan sejarah dan peran serta Raden Saleh terhadap perjuangan melawan kolonialisme di Indonesia.

Foto. 2. Penangkapan Diponegoro, Raden Saleh pada Dinding Display Museum Istana Kepresidenan Yogyakarta. (Sumber: Bagian Pengelolaan  Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Foto. 2. Penangkapan Diponegoro, Raden Saleh pada Dinding Display Museum Istana Kepresidenan Yogyakarta. (Sumber: Bagian Pengelolaan Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro dan pasukannya terjadi pada saat bulan Ramadhan, hal ini ditandai dengan tidak adanya keris yang merupakan senjata yang menjadi salah satu ciri khas Pangeran Diponegoro yang selalu terselip dipinggangnya. Dalam ajaran Islam, bulan Ramadhan merupakan bulan dimana umat Islam dilarang untuk berperang. Disamping itu, Pangeran Diponegoro beserta pasukannya mempunyai niat yang baik untuk menyambut tawaran berunding. Belanda meminta gencatan senjata. Namun yang terjadi kemudian adalah sebuah pengkhianatan oleh Belanda yang berujung dengan peristiwa penangkapan.

Tampak jelas Jenderal de Kock diam membisu tanda mengalah dari Pangeran Diponegoro atau merasa malu dengan cara penangkapan tersebut. Melalui lukisan yang syarat dengan makna simbolis ini sang maestro ingin mengungkapkan perasaan yang sangat mendalam pada dua sosok utama, yaitu Pangeran Diponegoro dan Jenderal de Kock. Pangeran Diponegoro dilukiskan sebagai seorang pejuang muslim dengan mengenakan pakaian ulama yang terdiri dari sorban, baju koko, jubah, selempang di bahu kanan, dan tasbih yang terselip di pinggang. Sementara keris pusaka Kanjeng Kyai Ageng Bondoyudho tidak terlihat karena sebelumnya telah dilucuti sehingga dengan mudah dapat ditangkap oleh Belanda yang licik.

Apabila kita mengamati dengan baik, terlihat di atas dan di tengah-tengah sorbannya terdapat warna merah dan putih. Hal ini menunjukkan ada sebuah pesan simbolis yang ingin disampaikan Raden Saleh bahwa Pangeran Diponegoro adalah seorang bangsawan, panglima pemberontak terhadap kolonial Hindia Belanda yang memiliki jiwa, pikiran, dan hati yang bersih, serta tetap mempunyai keberanian dalam menghadapi kaum penjajah.

Simbol merah putih pada sorban Pangeran Diponegoro digunakan sebagai simbol perjuangan dan perlawanan rakyat Indonesia melawan kolonial Belanda. Dalam hal ini jelaslah bahwa Raden saleh mempergunakan lambang atau simbol merah putih tersebut sebagai perlawanan dalam ekspresi lukisan anti kolonial jauh sebelum bangsa Indonesia menjadikan lambang nasional yang berupa bendera kebangsaan.

Secara visual kita  juga dapat menyaksikan bagaimana keberanian Pangeran Diponegoro yang tergambar melalui gesture berdiri tegak dengan dada membusung dan ekspresi wajah dengan mata tegas menatap Jenderal de Kock. Bahasa tubuhnya mencerminkan bahwa ia adalah seorang pejuang yang kuat, berani, dan tidak takut sedikitpun kepada petinggi Belanda. Raden Saleh menempatkan Pangeran Diponegoro di sebelah kanan sejajar dengan posisi de Kock. Sedangkan komandan Belanda berada di sebelah kirinya, yang dalam budaya Jawa merupakan sebuah simbol sebagai tempat untuk perempuan. Hal ini juga merupakan simbol bahwa pejabat Belanda menempati posisi kedua.

Objek menarik lainnya dalam lukisan ini adalah postur tubuh para opsir Belanda yang digambarkan dengan anatomi yang tidak proporsional. Kita dapat menyaksikan bahwa tinggi postur orang-orang Belanda dibuat sejajar dengan tinggi postur orang pribumi. Melalui penggambaran ini Raden Saleh ingin menegaskan bahwa orang “Jawa” memiliki derajat yang sejajar dengan para penjajah. Selain itu, kepala opsir yang digambarkan lebih besar dari ukuran yang seharusnya menggambarkan bahwa mereka sebagai penjajah yang angkuh dan sombong.

Bila kita cermati beberapa sosok pribumi yang dihadirkan dalam lukisan itu memiliki wajah yang sama dengan Raden Saleh. Hal ini menyiratkan bahwa Ia seolah-olah menyaksikan secara langsung peristiwa penangkapan ini, padahal ketika peristiwa ini terjadi, ia masih berada di Jerman. Lukisan yang merupakan “tandingan” dari karya dengan tema serupa yang dibuat oleh Nicolas Pieneman sebelumnya, sekilas tampak serupa. Tetapi karena sudut pandang yang digunakan oleh kedua pelukis itu berbeda maka memunculkan interpretasi yang berbeda juga. Lukisan Pieneman dibuat setelah Perang Diponegoro berakhir. Tujuan pembuatan lukisan ini adalah sebagai catatan peristiwa penting dalam sejarah administrasi pemerintahan Hindia Belanda. Penangkapan Pangeran Diponegoro dianggap sebagai sebuah peristiwa besar karena dalam perang yang dipimpin langsung Pangeran Diponegoro ini sangat menguras waktu, korban, dan  keuangan Hindia Belanda.

Foto. 2.  Penaklukan Diponegoro (De Onderwerping van Diepo Negoro), N. Pieneman (1835), 77 x 100 cm. (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro)

Foto. 2. Penaklukan Diponegoro (De Onderwerping van Diepo Negoro), N. Pieneman (1835), 77 x 100 cm. (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro)

Untuk dapat membedakan kedua lukisan tersebut, di bawah ini disajikan lukisan karya Pieneman yang berjudul  “Penaklukan Diponegoro” (De Onderwerping Van Diepo Negoro).

Berbeda dengan lukisan Raden Saleh yang menggambarkan kegagahan dan keberanian Pangeran Diponegoro dengan gesture yang memancarkan perlawanan, maka Pieneman  menghadirkan sosok Pangeran Diponegoro yang tidak berdaya dengan raut muka penuh kepasrahan, dengan kedua tangan terbentang. Tumpukan tombak yang berada di hadapan pasukan Pangeran Diponegoro merupakan sebuah pertanda bagi pasukan yang kalah dalam peperangan. Jenderal De Kock yang berdiri dan bertolak pinggang menunjuk kereta tahanan di belakang Pangeran Diponegoro, seolah memerintahkan penahanan Pangeran Diponegoro. Di sisi lain para pengikut Pangeran Diponegoro seolah-olah dapat menerima hal tersebut karena tidak tercermin rasa sedih dan kecewa. Semua ini menggambarkan seakan-akan peristiwa penangkapan itu dapat diterima dan yang terbaik bagi masyarakat Jawa.

Suasana yang kaku dan resmi sangat terlihat jelas dalam lukisan Pieneman, tidak mencerminkan penangkapan seorang pemimpin besar bagi perlawanan kolonial Hindia Belanda. Suasana yang digambarkan layaknya sebuah kejadian yang telah direkayasa, begitu tenang dan begitu mudah. Padahl yang terjadi sebenarnya adalah betapa gigihnya Pangeran Diponegoro mengadakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Dari kedua lukisan di atas, kita dapat melihat ada dua sudut pandang yang ditampilkan sangat kontras oleh masing-masing pelukis. Raden Saleh sebagai seorang pejuang menghadirkan sebuah sosok Pangeran Diponegoro yang penuh dengan semangat patriotisme, sementara Pieneman memandangnya dari perspektif kolonial. Lukisan “Penangkapan Diponegoro” tersebut menunjukkan bahwa Raden Saleh yang memiliki status “Pelukis Kerajaan Belanda” berpihak pada pemberontak menentang pemerintah Hindia Belanda. Lebih dari itu, lukisan “Penangkapan Diponegoro” adalah lukisan yang menggambarkan kejadian yang sebenarnya.

Dengan menyimak lukisan “Penangkapan Diponegoro” Raden Saleh ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang nasionalis sejati dan lukisan tersebut mengandung makna historis. Nilai sejarah bahwa dirinya telah mengungkap kebenaran suatu fakta kebenaran, sehingga sudah sepantasnyalah pemerintah Republik Indonesia memberikan suatu apresiasi tertinggi. Raden Saleh telah berani mengungkapkan kejadian sejarah bangsanya dengan sebenar-benarnya melalui hasil karya seninya. Raden Saleh lebih mengutamakan kemuliaan bangsanya walaupun ia telah banyak dibantu oleh Pemerintah Belanda sampai menjadi seorang pelukis yang terkenal.

 

Opini Terbaru