Mengenal Koleksi Benda Seni Kenegaraan (Bag-5)

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 15 April 2015
Kategori: Opini
Dibaca: 73.971 Kali
Foto.1: Gatutkaca dan Anak-anak Arjuna (Pergiwa dan Pergiwati), Basoeki Abdullah (1956),  150 x 100 cm  (Sumber: Bagian Pengelolaan  Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Foto.1: Gatutkaca dan Anak-anak Arjuna (Pergiwa dan Pergiwati), Basoeki Abdullah (1956), 150 x 100 cm
(Sumber: Bagian Pengelolaan Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Oleh: Kukuh Pamuji

Pada bagian ke-5 kita akan mengenal  koleksi lukisan Basoeki Abdullah bertema mitologi dan legenda yang cukup populer di kalangan budaya Jawa. Sebagai seorang yang sangat mencintai budayanya, Basoeki Abdullah sangat akrab dengan cerita wayang yang sarat dengan ajaran budi pekerti dan keagamaan. Kecintaannya dengan wayang jugalah yang kemudian menjadikannya sebagai salah satu objek dalam lukisannya seperti dapat dilihat dalam karyanya yang berjudul  Gatutkaca dan Anak-anak Arjuna (Pergiwa dan Pergiwati).

Pembuatan lukisan ini dilatarbelakangi oleh permintaan Bung Karno agar Basoeki Abdullah melukis dunia pewayangan. Semula Soekarno menginginkan Bima, salah seorang prajurit besar Pandawa menjadi objek lukisannya. Soekarno mengidentifikasikan dirinya sebagai Gatotkaca setelah sebelumnya menyebut dirinya Bima, seperti ketika ia menuliskan namanya dalam artikel yang dimuat di Oetoesan Hindia. Menurut kesaksian Sukmawati, lukisan ini sengaja dipesan sesuai dengan ukuran tembok di Istana Merdeka. Lukisan ini kemudian dipasang berhadapan dengan lukisan Joko Tarub pada saat Bung Karno menjadi Presiden.

Lukisan yang bergaya realis-naturalis ini menggambarkan tiga tokoh pewayangan sesuai dengan judulnya, yaitu Gatutkaca, Pergiwa dan Pergiwati.  Endang Pergiwa dan Endang Pergiwati merupakan dua bersaudara kembar. Sejak kecil Pergiwa dan adik kandungnya, Pergiwati tinggal bersama ibu dan kakeknya di pertapaan Andong Sumiwi. Setelah remaja, keduanya pergi meninggalkan pertapaan Andong Sumiwi menuju ke Madukara untuk menemui ayahnya yang bernama Arjuna.

Untuk menemani perjalanan Pergiwa dan Pergiwati mencari ayahnya, sang kakek meminta tolong kepada cantrik (muridnya) yang bernama Janaloka. Janaloka ternyata memiliki niat untuk menyunting kedua putri Arjuna itu, akan tetapi ia telah bersumpah dihadapan gurunya (kakek dari Pergiwa dan Pergiwati) bahwa ia akan mati dikeroyok 100 orang apabila menikahi keduanya.

Pada sisi kisah yang lain diceritakan bahwa Suyudana dari kerajaan Astinapura akan menikah lagi dan sedang mencari gadis kembar yang akan dijadikan sebagai pengawal kedua mempelai. Untuk mendapatkan gadis kembar tersebut maka dikerahkan 99 orang kurawa beserta Adipati Karna ke berbagai pelosok negeri. Dalam perjalanan Adipati Karna dan 99 orangKurawa bertemu dengan Pergiwa dan Pergiwati. Kemudian mereka menanyakan tentang asal-usul dan maksud perjalanan keduanya.

Setelah menceritakan asal-usul dan maksud perjalanannya, maka kedua gadis kembar tersebut diminta untuk menjadi pendamping calon mempelai dari Astinapura. Ternyata keduanya menolak dan melarikan diri. Janaloka yang sedang mengawasi dari jauh mengetahui bahwa kedua purti Arjuna tersebut memerlukan pertolongannya. Akhirnya Pergiwa dan Pergiwati meminta tolong  kepada Janaloka, akan tetapi Janaloka mengajukan syarat apabila ia berhasil mengalahkan  Kurawa dan Adipati Karna, keduanya harus mau menjadi isterinya. Namun, sebelum kedua puteri itu menjawab, Janaloka sudah harus menghadapi pasukan Kurawa. Dalam pertempuran yang begitu dahsyat, akhirnya Janaloka tewas sesuai dengan sumpah yang pernah ia ucapkan.

Pergiwa dan Pergiwati terus dikejar oleh para Kurawa, namun dalam pengejaran itu mereka bertemu dengan Abimanyu, kakak mereka berdua tetapi dari lain ibu. Setelah menceritakan permasalahan yang dihadapinya maka Abimanyu kemudian menyerang para Kurawa. Karena jumlah yang tidak seimbang, maka Abimanyu terdesak dan datanglah Gatutkaca dari Angkasa. Karena serangan yang dilancarkan Gatutkaca maka para Kurawa akhirnya dapat dikalahkan, dan Pergiwa dan Pergiwati diantar Abimanyu dengan pengawalan Gatutkaca untuk menghadap ayahnya. Saat ini lukisan yang memiliki nilai asset sebesar Rp 815.000.000,- (berdasarkan penilaian asset pada tahun 2011)  masih tersimpan di Ruang Resepsi Istana Merdeka dan didisplay secara khusus untuk diperlihatkan kepada masyarakat luas pada program Istana Untuk Rakyat yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Foto.2: Joko Tarub, Basoeki Abdullah (1959),  255 x 170 cm  (Sumber: Bagian Pengelolaan  Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Foto.2: Joko Tarub, Basoeki Abdullah (1959), 255 x 170 cm
(Sumber: Bagian Pengelolaan Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Seperti yang telah dijelaskan di atas lukisan yang lain yang berhadapan dengan lukisan Gatutkaca dan Anak-anak Arjuna (Pergiwa dan Pergiwati) adalah lukisan Joko Tarub. Legenda Joko Tarub mengisahkan tujuh bidadari yang turun ke bumi untuk mandi yang oleh Basoeki Abdullah kemudian diekspresikan berdasarkan imajinasinya. Dalam lukisan ini digambarkan Joko Tarub sedang mengambil pakaian Dewi Nawangwulan. Pose bidadari yang sedang mandi digambarkan penuh dengan suka ria menikmati suasana air terjun dan alam pegunungan dengan pemandangan sekitar penuh dengan pohon hijau. Semantara itu Joko Tarub dilukiskan dengan warna kemerah-merahan yang mengandung makna simbolis “semangat yang membara” karena adanya motivasi terhadap sesuatu.

Konon, Jaka Tarub adalah seorang pemburu yang kemudian diceritakan mencuri selendang salah satu bidadari tercantik bernama Dewi Nawangwulan. Karena selendangnya disembunyikan oleh Joko Tarub maka Dewi Nawangwulan tidak dapat kembali ke kahyangan dan kemudian ia tidak dapat menolak ketika kemudian Joko Tarub bermaksud memperisterinya. Singkat cerita pada akhirnya perkawinan Joko Tarub dan Dewi Nawangwulan membuahkan  keturunan. Pada suatu waktu kemudian Dewi Nawangwulan dapat menemukan selendang sakktinya, maka ia kemudian kembali lagi ke kahyangan meninggalkan suami dan anaknya yang masih kecil.

Selain beredar di masyarakat Jawa, legenda Joko Tarub juga di kenal di Bali. Berdeda dengan di Jawa, di Bali Joko Tarub dikenal dengan sebutan Rajapala. Inti ceritanya sama mengisahkan pertemuan antara dunia manusia biasa dengan bidadari (dunia supernatural). Konsep ini kemudian dikenal dengan istilah “Jumbuhing Kawulo Gusti”. Konsep keagamaan tertinggi ini diwujudkan dalam bentuk cerita rakyat popular yang dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat awam. Anak hasil perkawinan Joko Tarub dengan Dewi Nawangwulan dapat diartikan sebagai hasil pertemuan antara kekuatan adikodrati dengan manusia yang tetap harus dipelihara demi kelangsungan hidup manusia iitu sendiri. Saat ini, lukisan Joko Tarub yang memiliki nilai asset Rp 3.910.000.000,- (berdasarkan penilaian asset pada tahun 2011)  disimpan di Ruang Film, Gedung Induk Istana Kepresidenan Bogor.

Ada sebuah kisah yang menarik terkait dengan lukisan Joko Tarub ini. Hal yang seringkali ditanyakan oleh para pengunjung Istana Kepresidenan Bogor adalah bagaimana Basoeki Abdullah melukis para bidadari. Rupanya Basoeki Abdullah menggunakan seorang model yang diminta untuk memeragakan gerakan tubuh (gesture) tertentu dari setiap bidadari. Dengan kepiawaian melukisnya, Basoeki Abdullah mampu melukiskan bidadari dengan tingkat kehalusan dan imajinasi yang sangat kuat. Hasilnya, kita dapat melihat lukisan yang secara visual sangat indah, cantik, semampai, dengan panorama yang sangat menyegarkan.

Hal yang menarik lainnya adalah ternyata jumlah bidadari yang dilukis bukanlah berjumlah tujuh seperti halnya yang diceritakan dalam legenda ini. Mengapa Basoeki hanya melukiskan enam bidadari saja. Banyak sekali tafsiran yang kemudian muncul dalam lukisan ini. Beberapa pemandu Istana Kepredisenan Istana Bogor ketika menjelaskan kepada para pengunjungnya menyatakan dengan penuh humor, bahwa Bidadarinya hanya berjumlah enam karena bidadadi yang satunya lagi diambil oleh Bung Karno. Menurut Sukmawati Lukisan Joko Tarub dipesan secara khusus oleh Soekarno. Lukisan ini sengaja dipesan untuk ditempatkan pada sebuah dinding yang berada di Istana Merdeka. Oleh karena itu, ukurannya pun disesuaikan dengan luas dinding yang akan dipasangi lukisan tersebut.

 

 

 

Opini Terbaru