Mengenal Koleksi Benda Seni Kenegaraan (Bag-9)
Oleh: Kukuh Pamuji
Dua tokoh penting yang memiliki peran yang begitu besar terhadap lahirnya seni lukis modern di Bali dan karyanya menjadi koleksi Istana Kepresidenan. Kedua tokoh dimaksud adalah Rudolf Bonnet dan Walter Spies.
Johan Rudolf Bonnet yang lahir di Amsterdam 30 Maret 1895 dan meninggal pada 18 April 1978 di Laren, Belanda adalah seorang pelukis berkebangsaan Belanda yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Ubud, Bali. Ia adalah salah seorang dari banyak pelukis asing yang cukup berkontribusi pada kemajuan seni lukis di Indonesia, khususnya di Bali. Gambar dan lukisan Bonnet selalu bersifat kiasan dan kerap menunjukkan pengaruh klasik kuat.
Walter Spies lahir di Moskow 1895 dan meninggal 1942 adalah pelukis berkebangsaan Jerman yang juga merupakan musisi berpendidikan Rusia. Ia berangkat ke Indonesia untuk
mengembangkan keseniannya. Dari Jakarta ia singgah di Bandung dan sempat menjadi pemain piano untuk mengisi musik film bisu. Pada tahun 1925 ia menetap di Yogyakarta untuk belajar seni karawitan, namun atas permintaan Sultan Yogyakarta, kemudian ia mengajar musik Barat di dalam keraton. Gaung namanya kemudian terdengar oleh Cokorda Gde Agung Sukawati, seorang Camat di Ubud, Bali. Ketika ia berkunjung ke Yogyakarta maka diundanglah Spies ke Bali. Spies kemudian datang dan tinggal secara resmi di Bali pada tahun 1927 dan setahun kemudian (1928) Bonnet menyusulnya dan tinggal di Bali.
Dua orang perupa ini mencemaskan kondisi seni lukis Bali yang berkembang pada saat itu yang sebagian besar dilatarbelakangi oleh industri dan turisme. Mereka kemudian mencoba untuk melobi penguasa Ubud untuk memperhatikan masalah tersebut. Cokorde Gede Agung Sukawati, penguasa Ubud yang juga mencintai seni lukis ini sepakat dengan pemikiran Spies dan Bonnet dan kemudian pada tahun 1935 mendirikan perkumpulan pelukis dan pematung Bali yang diberi nama Pitamaha.
Sebagai sebuah perkumpulan, Pitamaha berhasil menggelorakan semangat perubahan seni lukis Bali secara lebih progresif. Mereka mengembangkan lukisan yang tidak hanya bertema pewayangan, tetapi juga lukisan yang bertema kehidupan sehari-hari.
Sejarah telah mencatat bahwa dari Pitamaha itulah kemudian lahir para pelukis legendaris Bali, seperti A.A. Gde Maregeg, Ida Bagus Made Poleng, Ida Bagus Made Wija, A.A. Gde Sobrat, Dewa Putu Bedil, Ketut Regig dan sebagainya yang kemudian sebagian karya-karya dari pelukis tersebutmenjadi koleksi Istana Kepresidenan. Mereka berhasil melahirkan karya-karya dengan tema suasana pasar, suasana di sawah, suasana di pura, dan suasana lain yang menarik bagi mereka.
Spies pandai menstimulasi pelukis lokal Bali untuk membuat ekspresi baru dengan media karya yang baru pula. Objek yang dilukisnya adalah wajah sebuah desa yang berbukit, seperti kebanyakan daerah di Bali yang berbukit dan dikelilingi gunung. Hal pertama yang menjadi daya tarik adalah Spies pandai menciptakan perspektif ruang. Dengan kemampuan ini ia dapat melukiskan objek yang berjarak jauh dan dekat tetap bisa dilukis.
Daya tarik ini sedikit banyak dipengaruhi oleh lukisan dekoratif tradisional Bali yang juga menggambarkan jauh dekat. Unsur kedua yang sangat penting adalah pencahayaan. Di sinilah Spies memberi peran penting dan individual. Ia pandai mengontrol kontras cahaya antar objek dalam setiap sudut karya. Ia pandai menggunakan warna-warna monokrom dalam lukisan. Di satu sisi, ia memakai warna coklat kekuningan atau warna tertentu untuk memberi aksentuasi pada objek utama, seperti pada manusia dan kerbau dalam lukisan ini.
Dengan teknik yang sedemian rupa, lukisan Walter Spies seperti ingin menggambarkan Bali yang temaram, selalu pagi, mistik dan cenderung mistis. Walaupun ia sendiri terpengaruh oleh gaya seni lukis Bali, Spies ikut memengaruhi perkembangan seni lukis setempat. Utamanya dalam gaya pencahayaan dan teknik pewarnaan. Ia hampir selalu menyertakan berkas-berkas cahaya (ray of lights) dalam karya-karya lukisannya. Terdapat kesan bahwa lukisan-lukisannya itu seolah-olah menggunakan teknik dodge dan burn yang biasa digunakan dalam proses kamar gelap pada era film hitam putih dan berlanjut ke era digital sekarang. Salah satu lukisan karya Walter Spies yang paling terkenal adalah Het schilderij Iseh im Morgenlicht.Spies juga dikenal sebagai pengembang tarian sakral yang sangat terkenal, yakni tari kecak.
Pada tahun 1942 Jerman mengekspansi daratan Eropa, dan menguasai Belanda. Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia sangat marah kepada pemerintah Jerman, sehingga hal ini berdampak negatif terhadap semua warga Jerman. Demikian pula terhadap warga Jerman yang ada di Indonesia. Mereka ditangkapi dan dijadikan tawanan, untuk kemudian dibuang ke negeri lain. Spies termasuk yang terangkut kapal tawanan yang akan dibuang ke Ceylon. Namun nasibnya malang karena pada tahun itu Jepang yang berambisi menguasai Asia menyerbu Indonesia, dan kapal tawanan yang ditumpangi Spies bersama ratusan tawanan lain di bom oleh Jepang di Selat Makassar dan Spies tewas.
Karya Spies yang menjadi koleksi Istana Kepresidenan antara lain adalah Pagi Hari di Iseh yang saat ini tersimpan di Istana Kepresidenan Bogor. Iseh merupakan sebuah desa yang terletak di kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem. Desa Iseh ini terkenal dengan pemandangan alamnya yang menawan. Desa Iseh terletak sekitar 52 km dari kota Denpasar dan bisa ditempuh dalam 1,5 2 jam perjalanan. Lokasi ini dapat ditempuh langsung melalui Klungkung atau melalui daerah kota Amlapura. Lukisan Pagi Hari di Iseh ini memiliki nilai asset Rp 8.825.000.000.
Karya Spies yang lain adalah lukisan yang dibuat pada tahun 1930 yang berjudul: Pertunjukan Tari di Wilayah Borobudur pada Abad ke-9 (Hofleven op Java Voor Duizen Jaar). Koleksi yang saat ini tersimpan di Gedung Perkantoran Istana kepresidenan Jakarta (R. Kepala Biro Pengelolaan Istana). Berdasarkan penilaian asset yang dilakukan pada tahun 2011 lukisan ini bernilai Rp 5.234.000.000.
Bung Karno mulai menyukai lukisan Bonnet sejak pameran lukisan yang dilakukan Bonnet di Jakarta pada tahun 1951. Pada saat itu Soekarno memesan lukisan Bonnet untuk Istana Negara. Karena seringnya Soekarno datang ke studio Bonnet, hubungan keduanya semakin akrab. Sekitar 14 buah lukisan Bonnet akhirnya menambah koleksi Soekarno. Dari 14 buah lukisan tersebut beberapa diantaranya adalah lukisan yang berjudul Penari Bali Sedang Berhias. Lukisan ini terpasang di Istana Kepresidenan Bogor. Berdasarkan penilaian asset yang dilaksanakan pada tahun 2011 lukisan ini bernilai Rp 3.445.000.000, selanjutnya lukisan Dua Orang Gadis Menyunggi Djun yang saat ini juga terpasang di Istana Kepresidenan Bogor memiliki nilai asset Rp 1.553.000.000,- dan Seorang Pengarit yang saat ini terpasang di Istana Kepresidenan Yogyakarta bernilai Rp 4.611.000.000.
Satu lagi karya Bonnet yang dibuatnya pada tahun 1952 yang terpasang di Gedung Utama Istana Kepresidenan Cipanas adalah Keluarga Italia (Famiglia d Anticoli). Lukisan itu
menggambarkan kehidupan sebuah keluarga Italia yang tengah sibuk dengan aktivitas masing-masing di sebuah gubuk sederhana. Seluruh anggota keluarga menggunakan busana khas warga Eropa, bergaun dan berlengan panjang. Dua laki-laki di lukisan tersebut terlihat memakai topi dengan bentuk agak kerucut berukuran panjang. Selain menggambarkan kehidupan sebuah keluarga, lukisan tersebut juga memperlihatkan bahwa manusia dan hewan mampu hidup berdampingan. Seekor anjing dan dua ekor burung berada diantara kehidupan keluarga tersebut.
Lukisan Famiglia d Anticoli cukup mengingatkan kembali akan sejarah kehidupan sang pelukis. Ketertarikan Bonnet untuk hidup sebagai seniman membawanya ke Italia pada tahun 1920, dimana dia mendapat banyak pengaruh dari lukisan-lukisan renaisans, yaitu zaman kelahiran kembali kebudayaan Yunani-Romawi di Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 M. Bonnet menetap di desan Anticoli Corrado dio sebelah selatan Kota Roma. Lukisan Keluarga Italia (Famiglia d Anticoli) ini bernilai Rp 4.300.000.000.