Menghadapi Dampak Konflik Iran-Israel: Strategi dan Implikasi bagi Indonesia
Oleh: Ronald S.G.S. Sipayung *)
Pendahuluan
Konflik berkepanjangan antara Iran dan Israel telah mencapai level baru yang lebih mengkhawatirkan setelah serangan rudal dan drone Iran ke wilayah Israel pada 13–14 April 2024. Serangan ini merupakan balasan atas pemboman Israel di kompleks kedutaan Iran di Damaskus, Suriah, pada 1 April 2024 yang menewaskan tujuh perwira militer Iran, termasuk seorang jenderal senior. Meskipun serangan Iran tidak menimbulkan banyak korban jiwa atau kerusakan fisik yang signifikan di Israel, eskalasi konflik ini membuka peluang bagi pecahnya perang terbuka yang lebih besar di kawasan Timur Tengah.
Sebelumnya, kondisi saat ini telah dikalkulasi oleh OCE Bank Mandiri. Dalam kajiannya di awal konflik Israel-Palestina (Mandiri, 2023), dipaparkan tiga skenario yang diproyeksikan akan membawa dampak berbeda terhadap pertumbuhan ekonomi dunia dan inflasi.
1. Skenario Perang Terbatas (Confined War)
Dalam skenario ini, konflik hanya terbatas pada invasi darat Israel ke Gaza dengan konflik regional yang lebih luas. Produksi minyak mentah Iran juga menurun. Kondisi ini diperkirakan akan mendorong kenaikan harga minyak sebesar 4 Dolar Amerika Serikat (AS) per barel, tetapi tidak berdampak signifikan terhadap indeks volatilitas (VIX) global. Dampaknya terhadap perekonomian global adalah penurunan pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 0,1 persen dan kenaikan inflasi sebesar 0,1 persen.
2. Skenario Perang Proxy (Proxy War)
Skenario ini mencakup perang multidimensi di Gaza, Tepi Barat, Lebanon, dan Suriah, serta ketidakstabilan yang meluas di kawasan Timur Tengah. Kondisi ini diproyeksikan akan mendorong kenaikan harga minyak sebesar 8 Dolar AS per barel dan kenaikan VIX global sebesar 8 poin. Dampaknya adalah penurunan pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 0,3 persen dan kenaikan inflasi sebesar 0,2 persen.
3. Skenario Perang Langsung (Direct War)
Skenario terburuk adalah perang langsung antara Israel dan Iran, disertai keterlibatan seluruh negara Arab. Situasi ini dapat memicu lonjakan harga minyak hingga 64 Dolar AS per barel dan kenaikan VIX global sebesar 16 poin. Dampaknya akan sangat besar, yaitu penurunan pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 1,0 persen dan kenaikan inflasi sebesar 1,2 persen.
Kondisi saat ini telah memasuki skenario perang langsung minus keterlibatan seluruh negara Arab. Semakin eskalatif konflik di kawasan Timur Tengah, semakin besar pula dampak negatifnya terhadap perekonomian global, terutama dalam hal pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Oleh karena itu, upaya diplomasi dan penyelesaian konflik secara damai menjadi sangat krusial untuk menghindari skenario terburuk yang dapat memicu guncangan ekonomi global yang masif.
Indonesia, sebagai negara dengan perekonomian terbuka, tentunya akan terdampak secara signifikan apabila skenario perang langsung antara Iran dan Israel serta negara-negara Arab terwujud. Oleh karena itu, penting untuk menganalisis secara mendalam berbagai aspek yang mungkin terdampak dan menyiapkan strategi mitigasi yang tepat guna meminimalkan efek negatif dari konflik tersebut.
Dampak terhadap Ekonomi Indonesia
1. Kenaikan Harga Minyak Dunia
Salah satu dampak ekonomi yang paling signifikan dari perang Iran-Israel adalah potensi kenaikan harga minyak dunia. Iran merupakan salah satu produsen minyak terbesar di dunia, sementara Israel memiliki pengaruh besar di kawasan Timur Tengah yang kaya akan cadangan minyak. Konflik bersenjata antara kedua negara ini dapat mengganggu pasokan minyak global, baik secara langsung melalui gangguan pada fasilitas produksi dan distribusi minyak, maupun secara tidak langsung akibat ketidakpastian dan risiko yang meningkat bagi investor dan pelaku bisnis di industri migas.
Berdasarkan data Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC), Iran merupakan produsen minyak besar dalam skala global. OPEC mencatat, sepanjang 2022 Iran mampu memproduksi minyak mentah sekitar 2,55 juta barel per hari. Angka tersebut setara 3,5 persen dari total produksi minyak global, menjadikan Iran sebagai negara penghasil minyak terbesar ke-9 di dunia. Iran juga tercatat memiliki cadangan minyak mentah terbukti sekitar 208,6 miliar barel pada 2022, setara 13,3 persen dari total cadangan minyak global. Cadangan minyak Iran hanya kalah dari Venezuela dan Arab Saudi.
Kenaikan harga minyak dunia akan berdampak langsung pada perekonomian Indonesia sebagai negara pengimpor minyak bumi. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada tahun 2022, Indonesia mengimpor 22,7 juta kiloliter minyak mentah dan 22,9 juta kiloliter produk minyak jadi. Dengan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap impor minyak, kenaikan harga minyak dunia akan meningkatkan beban subsidi energi pemerintah dan menekan anggaran negara.
Selain itu, kenaikan harga minyak juga akan mendorong inflasi di dalam negeri, terutama pada sektor transportasi dan industri yang bergantung pada bahan bakar minyak. Hal ini dapat menurunkan daya beli masyarakat dan menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam laporan World Economic Outlook pada April 2024, IMF telah merevisi ke atas proyeksi inflasi global pada tahun 2024 menjadi 5,9 persen, lebih tinggi 0,1 persen poin dari perkiraan sebelumnya di Januari 2024 sebesar 5,8 persen. Lonjakan harga minyak akibat konflik Iran-Israel berpotensi mendorong revisi inflasi global lebih lanjut. Hal ini selanjutnya akan berimplikasi pada suku bunga yang lebih tinggi.
2. Guncangan Pasar Keuangan Global
Perang Iran-Israel juga berpotensi mengguncang pasar keuangan global. Investor cenderung akan mencari aset-aset yang dianggap aman (safe haven) seperti dolar AS dan obligasi pemerintah Amerika Serikat dalam situasi konflik dan ketidakpastian. Hal ini dapat menyebabkan pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS dan meningkatkan biaya pinjaman luar negeri bagi Indonesia.
Secara empiris, nilai tukar Rupiah kerap mengalami pelemahan setelah libur Hari Raya Idul Fitri dalam satu dekade terakhir. Berdasarkan data historis, dalam 7 dari 10 hari perdagangan setelah Idul Fitri, Rupiah melemah rata-rata 0,44 persen dibandingkan dengan nilai sebelum libur. Meskipun peningkatan indeks dolar AS tidak selalu berkorelasi dengan pelemahan Rupiah, sentimen global dan domestik memiliki pengaruh besar terhadap fluktuasi nilai tukar Rupiah.
Saat ini, di luar faktor konflik Iran-Israel, faktor-faktor yang memengaruhi pelemahan Rupiah secara umum terbagi dua. Pertama, perkembangan ekonomi AS dan kebijakan Federal Reserve (The Fed). Perkembangan ekonomi AS dan kebijakan The Fed merupakan faktor eksternal utama yang memengaruhi pergerakan mata uang global, termasuk Rupiah. Ketika ekonomi AS berpotensi membaik atau The Fed memiliki nada kebijakan yang cenderung ketat (hawkish), peluang penguatan dolar AS menjadi lebih signifikan, yang pada akhirnya menekan nilai tukar Rupiah. Kedua, fundamental ekonomi domestik. Di sisi domestik, kondisi fundamental ekonomi, arah aliran dana asing, dan prospek pertumbuhan ekonomi juga menentukan perubahan nilai tukar Rupiah. Inflasi yang tinggi dapat melemahkan Rupiah karena dapat menurunkan daya beli masyarakat. Kebijakan pemerintah dalam mengendalikan inflasi, kinerja ekspor-impor, dan pendapatan masyarakat juga berpengaruh terhadap nilai tukar Rupiah.
Pelemahan nilai tukar Rupiah yang kemungkinan berlanjut sebagai imbas eskalasi perang akan meningkatkan beban utang luar negeri Indonesia dan menekan kemampuan impor. Sementara itu, kenaikan suku bunga global akibat permintaan yang tinggi terhadap aset-aset safe haven dapat menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi domestik.
Guncangan pasar keuangan global juga dapat memicu capital outflow atau berpindahnya modal asing dari pasar keuangan Indonesia. Hal ini dapat mengurangi likuiditas dan mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional, termasuk implikasinya pada kecukupan cadangan devisa.
3. Tekanan terhadap Cadangan Devisa
Cadangan devisa Indonesia terus mendapat tekanan akibat pelemahan nilai tukar Rupiah yang cukup signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Pada Maret 2024, cadangan devisa turun sebesar 3,6 miliar Dolar AS menjadi 140,4 miliar Dolar AS seiring tekanan pada Rupiah yang dipicu oleh faktor-faktor eksternal global. Situasi ini memaksa Bank Indonesia (BI) untuk menggunakan intervensi valas dalam upaya menstabilkan nilai tukar Rupiah.
Penyebab utama pelemahan Rupiah sebagian besar berasal dari faktor eksternal (global). Ekspektasi penurunan suku bunga oleh The Fed mulai memudar, terutama setelah lonjakan harga minyak dunia dan data ekonomi AS yang solid. Hal ini membuat pasar yakin bahwa inflasi yang cukup tinggi dapat lebih persisten dari perkiraan sebelumnya. Kondisi ini kemudian mendorong penguatan indeks dolar AS, khususnya terhadap mata uang Asia.
Selain itu, kebijakan Bank of Japan (BoJ) untuk keluar dari suku bunga negatif gagal menghentikan pelemahan yen Jepang. Sementara itu, nilai tukar yuan China juga terus melemah terhadap fixing rate dari Bank Sentral China (PBoC). Sebagai dua “mata uang acuan (anchor currencies)” di Asia, pelemahan yen dan yuan ini turut menyeret pelemahan mata uang lainnya di kawasan tersebut, termasuk rupiah.
Tekanan eksternal ini semakin diamplifikasi oleh peningkatan permintaan valas dari ekonomi domestik. Data menunjukkan Indonesia mengalami aliran dana keluar (capital outflow) dari obligasi pemerintah sebesar 1,3 miliar dolar AS pada Maret 2024 (BCA, 2024). Selain itu, sekitar Rp5 triliun (0,3 miliar dolar AS) dana asing juga keluar dari Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Meskipun pasar saham mencatat aliran dana masuk (inflow) sebesar 0,5 miliar dolar AS sepanjang Maret, tetapi perlu dicatat bahwa arus dana asing baru-baru ini justru bergerak ke arah yang berlawanan, terutama setelah laporan laba kuartal IV-2023 yang kurang menggembirakan.
Selain tekanan eksternal, cadangan devisa Indonesia juga tertekan oleh peningkatan permintaan valas dari ekonomi domestik. Data menunjukkan penempatan dana valas perbankan di BI turun 2 miliar dolar AS pada Maret 2024. Kondisi ini bukan semata-mata akibat pergeseran alokasi dana perbankan ke instrumen SBI/SBVBI, melainkan indikasi nyata adanya peningkatan permintaan pinjaman valas oleh korporasi.
Peningkatan permintaan pinjaman valas ini dapat mencerminkan lonjakan impor sementara yang dipicu oleh konsumsi yang meningkat selama Ramadan dan Lebaran. Namun, kondisi ini juga dapat mencerminkan kesenjangan antara penurunan pendapatan valas dengan tetap tingginya minat investasi di sektor-sektor tertentu, seperti energi/komoditas dan proyek-proyek pemerintah/BUMN.
Menghadapi situasi ini, BI dihadapkan pada pilihan apakah akan menaikkan suku bunga atau tetap mengandalkan intervensi valas, atau bahkan membiarkan rupiah terdepresiasi menembus ambang psikologis Rp16.000 per dolar AS. Namun, opsi terakhir tidak terlalu buruk mengingat rupiah masih lebih kuat dibandingkan sebagian besar mata uang negara berkembang lainnya dalam siklus kenaikan suku bunga saat ini, terutama dibandingkan dengan mitra dagang di Asia.
Pertumbuhan impor yang kuat justru dapat menjadi tanda bahwa Indonesia membutuhkan sedikit pelemahan nilai tukar untuk mengembalikan surplus perdagangan.
Sementara itu, efektivitas intervensi BI bergantung pada kecukupan cadangan devisa terhadap potensi aliran dana keluar jangka pendek. Dalam beberapa bulan terakhir, rasio cadangan devisa terhadap potensi aliran dana keluar cukup rendah. Kondisi ini dapat menjadi tanda bahwa intervensi lebih lanjut hanya akan semakin mengurangi efek pencegahan (deterrent effect) dari intervensi BI.
4. Potensi Gangguan Rantai Pasok Global
Perang antara Iran dan Israel berpotensi mengganggu rantai pasok global, terutama untuk komoditas energi dan bahan baku industri yang vital. Selat Hormuz adalah jalur pelayaran minyak terpenting di dunia di antara Teluk Arab dan Teluk Oman. Selat sepanjang 39 kilometer ini merupakan satu-satunya rute menuju samudera terbuka bagi lebih dari seperenam produksi minyak global dan sepertiga dari gas alam cair (LNG) dunia. Konflik bersenjata di kawasan ini dapat mengancam keamanan jalur perdagangan maritim dan mengganggu arus ekspor minyak dari negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, Irak, Kuwait, Bahrain, Qatar, dan Uni Emirat Arab.
Jika aliran minyak mentah dari Teluk terganggu, hal tersebut akan memicu lonjakan harga minyak dunia dan mengganggu pasokan energi bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Sebagai contoh, kilang-kilang minyak Pertamina sangat bergantung pada pasokan minyak mentah impor, khususnya dari Teluk. Gangguan pasokan ini dapat memaksa Pertamina untuk mencari sumber alternatif dengan biaya yang lebih tinggi atau bahkan mengurangi aktivitas produksinya.
Selain minyak, gangguan di Selat Hormuz juga dapat mempengaruhi ekspor gas alam cair (LNG) dari Qatar, eksportir LNG terbesar ketiga di dunia (AS Geser Australia dan Qatar sebagai Eksportir LNG Terbesar Dunia – Energi, n.d.). Indonesia sendiri mengimpor LNG dalam jumlah besar, dengan hampir 40 persen pasokan pada 2022 berasal dari Uni Emirat Arab dan Qatar (Indonesia Impor Gas 6,8 Juta Ton pada 2022, Ini Pemasok Utamanya, n.d.). Kelangkaan pasokan LNG dapat berdampak pada sektor industri yang bergantung pada gas sebagai bahan bakar.
Gangguan rantai pasok global juga dapat mengancam pasokan bahan baku kritis lainnya bagi sektor manufaktur Indonesia. Sebagai contoh, sebagian besar impor bijih besi yang merupakan bahan baku utama industri baja berasal dari Brasil dan Australia. Jika jalur pengiriman terganggu, hal ini dapat memicu kenaikan harga bijih besi dan mengganggu produksi baja dalam negeri.
Gangguan rantai pasok global akibat konflik dapat menyebabkan kelangkaan bahan baku dan meningkatkan biaya produksi bagi banyak industri di Indonesia yang bergantung pada impor bahan baku. Hal ini dapat menurunkan daya saing produk-produk Indonesia di pasar ekspor dan menghambat pertumbuhan sektor manufaktur dalam negeri.
Selain itu, lonjakan harga komoditas energi seperti minyak dan gas akibat gangguan pasokan juga dapat mendorong kenaikan inflasi yang lebih tinggi. Ini tentunya akan mempengaruhi daya beli masyarakat dan menekan konsumsi rumah tangga.
Strategi Mitigasi dan Peran Indonesia
Menghadapi dampak perang Iran-Israel, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk memitigasi risiko dan menjaga stabilitas ekonomi serta keamanan nasional. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat diterapkan:
Menjaga stabilitas sistem keuangan untuk mengantisipasi guncangan pasar keuangan global dan kemungkinan capital outflow. Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan terus menjaga stabilitas sistem keuangan nasional, antara lain melalui bauran kebijakan moneter dan makroprudensial yang tepat untuk menjaga nilai tukar rupiah dan mencegah kepanikan di pasar keuangan domestik.
Memastikan ketersediaan likuiditas valas, terutama dolar AS, dalam pasar keuangan domestik. Bank Indonesia dapat menciptakan instrumen portofolio yang menarik bagi investor asing, meskipun harus mewaspadai persaingan likuiditas domestik yang semakin ketat.
Mendorong kebijakan repatriasi saat nilai tukar rupiah melemah, sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan valas dalam negeri. Hal ini penting mengingat pada bulan April masih dalam siklus pembayaran dividen bagi beberapa perusahaan yang dapat meningkatkan permintaan dolar AS.
Mengatur permintaan impor minyak, seperti yang dilakukan pada tahun sebelumnya, untuk mengantisipasi kenaikan harga minyak dunia, pelemahan rupiah, dan tingginya konsumsi bahan bakar minyak dalam negeri.
Menjaga sentimen di pasar obligasi dengan komunikasi yang efektif terkait pengelolaan fiskal yang tetap prudent dan risiko supply obligasi yang relatif kecil.
Menjaga inflasi domestik dengan memaksimalkan distribusi pangan di saat musim panen, mengingat inflasi selalu menjadi faktor penting dalam situasi pasar yang berfluktuasi seperti saat ini.
Diversifikasi sumber energi untuk mengurangi ketergantungan pada impor minyak bumi dan meminimalkan dampak kenaikan harga minyak dunia. Pemerintah telah dan akan tetap memperkuat ketahanan energi nasional dengan mendorong pemanfaatan sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan biomas, serta meningkatkan efisiensi penggunaan energi. Peningkatan produksi minyak dan gas bumi dalam negeri juga perlu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada impor. Selain itu, diversifikasi sumber impor bahan baku juga penting untuk mengurangi ketergantungan pada wilayah-wilayah rawan konflik.
Kebijakan suku bunga acuan dapat menjadi langkah terakhir jika kondisi memburuk, dengan mempertimbangkan perubahan stance kebijakan The Fed dan memastikan suku bunga riil Indonesia tetap kompetitif dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya.
Selain itu, sektor perbankan perlu memperhatikan pentingnya kecukupan likuiditas, terutama likuiditas valas, dan menjaga kualitas aset di tengah kondisi risk averse yang meningkat. Sektor-sektor yang berisiko tinggi terhadap depresiasi rupiah dan kenaikan suku bunga perlu diawasi dengan saksama, seperti industri farmasi, tekstil, kendaraan bermotor, mesin-mesin, bahan kimia, lembaga keuangan khususnya multifinance, industri mesin-mesin dan alat berat, konstruksi, jalan tol, bandara, dan pelabuhan.
Dengan mengambil langkah-langkah kebijakan yang tepat dan terkoordinasi, Indonesia dapat menjaga stabilitas ekonomi dan menghadapi turbulensi global dengan lebih baik.
Diplomasi dan Kerja Sama Internasional
Dalam situasi konflik seperti ini, diplomasi dan kerja sama internasional menjadi sangat penting bagi Indonesia. Indonesia diharapkan akan terus mengambil peran aktif dalam mendorong upaya-upaya perdamaian dan menghindari eskalasi konflik yang lebih besar. Kerja sama dengan negara-negara sahabat dan organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dapat dilakukan untuk mencari solusi damai bagi konflik Iran-Israel.
Penutup
Perang Iran-Israel berpotensi menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi nasional Indonesia. Dampak negatif seperti kenaikan harga minyak dunia, guncangan pasar keuangan global, serta gangguan rantai pasok, perlu diantisipasi dengan strategi mitigasi yang tepat.
Pemerintah Indonesia akan bertindak cepat dan terkoordinasi dalam menghadapi tantangan ini. Menjaga stabilitas sistem keuangan, diversifikasi sumber energi, serta diplomasi dan kerja sama internasional, menjadi kunci untuk meminimalkan dampak negatif dari perang Iran-Israel.
Sebagai negara yang terus memproyeksikan soft power secara konsisten di kancah internasional, Indonesia akan terus mengambil peran aktif dalam mendorong upaya-upaya perdamaian dan menghindari eskalasi konflik yang lebih besar. Hanya dengan kerja sama dan solidaritas internasional yang kuat, ancaman perang dan konflik dapat dihindari demi menciptakan perdamaian dan stabilitas global yang berkelanjutan.