Menkeu: Adanya Covid-19 Ubah ‘Baseline’ 2020 Sangat Signifikan dan Fundamental
Adanya Virus Korona (Covid-19) maka baseli
Hal tersebut diungkapkan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, usai mengikuti Sidang Kabinet Paripurna (SKP), melalui daring, Selasa (14/4).
“Dampak COVID-19 ini telah menyebabkan ekonomi global kemungkinan masuk di dalam resesi. Kalau proyeksi yang tadinya IMF menyebutkan tahun 2020 itu ekonominya tadinya diperkirakan tumbuh 3,3 persen, maka revisinya mereka akan menjadi negatif tahun ini,” ujar Menkeu.
Koreksinya, menurut Menkeu, bisa minus 2,2 menurut Economist Intelligence Unit atau berdasarkan Fitch Rating Agency tahun ini global gross mungkin ada di kisaran minus 1,9 yang artinya dunia akan kehilangan potensi GDP yang tahun ini seharusnya tercipta sebesar USD5 triliun.
“Ini hampir seukuran dengan satu GDP Jepang saja, hanya karena akibat Covid-19 yang menyebabkan pengaruh kepada kesehatan, sosial, ekonomi,
Dari sisi kondisi Covid-19 inilah, lanjut Menkeu, kemudian menjalar ke berbagai hal misalnya kalau dilihat berbagai indeks keuangan juga mengalami volatilitas atau bahkan cenderung kepada kepanikan.
“Ini muncul dari berbagai indikator, baik itu indikator di pasar saham seperti fixed index maupun di pasar obligasi. Juga pengaruhnya kepada harga komoditas juga menunjukkan suatu yang cukup signifikan,” jelas Menkeu.
Untuk indeks saham di negara-negara emerging, menurut Menkeu, mengalami penurunan 23,9 persen, negara maju 21,4 persen jadi ini adalah kondisi yang tidak biasa sehingga baseline untuk tahun 2020 ini berubah dan ini yang menjadi basis untuk melihat tahun 2021.
“Dalam merespons kondisi 2020 yang sangat extraordinary ini, berbagai negara melakukan langkah-langkah atau policy measures untuk meng-counter perlemahan maupun tantangan dari masalah kesehatan dan keselamatan masyarakat,” imbuh Menkeu.
Negara-negara seperti Australia, Singapura, Amerika, bahkan Malaysia, tambah Menkeu, melakukan ekspansi fiskalnya sampai di atas 10 persen dari GDP.
“Negara lain mungkin lebih rendah dari itu, namun di luar dari fiskalnya, banyak negara juga melakukan melalui bank sentralnya, seperti Federal Reserve bahkan memutuskan Fede
Ini tujuannya, sambung SMI, di berbagai negara agar dampak syok dari COVID-19 yang luar biasa besar tidak menimbulkan permanent damage kepada ekonominya, makanya dibuatlah cushion atau bantal pengalaman melalui kebijakan fiskal dan bahkan juga dari kebijakan moneter maupun kebijakan sektor keuangan.
“Di Indonesia untuk menunjukkan pengaruhnya dari Covid-19 ini kita bandingkan pada saat terjadinya global financial crisis tahun 2009, atau waktu terjadinya taper tantrum tahun 2013, atau waktu terjadinya 2018 normalisasi kebijakan Federal Reserve dengan menaikan suku bunga, atau tahun lalu waktu terjadi apa yang disebut trade war. Dalam tahun-tahun yang sulit tersebut, Indonesia masih mampu menjaga arus modal di pasar keuangan kita,” jelasnya.
Menkeu memberikan contoh yakni waktu global financial crisis kita masih mendapatkan net inflow sampai mendekati 70 triliun pada saat taper tantrum merosot ke 36 triliun dan waktu tahun 2018, saat Federal Reserve menaikan suku bunga net capital inflow di pasar uang drop ke 7,3 (triliun).
“Namun, tahun ini dalam 3 bulan saja, Januari-Maret, capital inflow ke Indonesia justru mengalami negatif, terjadi minus 148,8. Inilah yang menyebabkan kenapa di pasar Surat Utang Negara (SUN), indeks harga saham dan nilai tukar rupiah semuanya mengalami tekanan yang cukup besar,” tandas Menkeu.
Menurut SMI, yield SUN 10 tahun sempat naik di atas 8, indeks harga saham mengalami penurunan tajam di 27,9 persen, dan nilai tukar rupiah sempat terdepresiasi hingga di atas 17 persen sehingga situasi yang menjadi kondisi untuk baseline untuk bagaimana langkah di tahun 2020 dan nanti 2021.
“Untuk GDP, saat ini kita mengestimasi dalam kondisi berat dan sangat berat. Baseline kita di 5,3 akan mengalami tekanan, turun pertumbuhannya sampai di level 2,3 persen. Bahkan dalam situasi sangat berat mungkin juga bahkan menurun sampai negative growth,” jelasnya.
Ini, sambung Menkeu, pasti akan menyebabkan pengaruh ke dampak sosial dan pembangunan. Ia menambahkan bahwa angka kemiskinan mungkin akan meningkat dalam skenario berat bisa naik menjadi 1,1 juta orang atau dalam skenario lebih berat akan menghadapi kemungkinan tambahan kemiskinan 3,78 juta orang.
Angka pengangguran yang selama ini sudah menurun konsisten sama seperti kemiskinan dalam 5 tahun terakhir juga kemungkinan akan mengalami kenaikan. Dalam skenario berat kita perkirakan bisa ada kenaikan 2,9 juta orang pengangguran baru dan kalau skenario yang lebih berat bisa sampai 5,2 juta,” kata Menkeu.
Dalam situasi yang extraordinary/sangat luar biasa, lanjut Menkeu, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 adalah untuk menalangi isu di dalam 2 pilar, keuangan negara dan sektor keuangan karena seluruh tekanan baik di kesehatan, sosial, dunia usaha, semuanya nanti akan bermuara kepada keuangan negara.
“Bagaimana kita melakukan langkah-langkah untuk mengatasi Covid-19 di bidang kesehatan, baik pusat dan daerah, baik untuk membantu masyarakat dengan bansos, baik memberikan bantuan dunia usaha yang sekarang mengalami tekanan luar biasa, itu semuanya muaranya akan kepada APBN atau keuangan negara,” jelasnya.
Oleh karena itu, Menkeu menyebutkan bahwa perpu memberikan landasan hukum untuk bisa melakukan penyesuaian di dalam menghadapi situasi luar biasa ini, termasuk penyesuaian defisit batasan, penggunaan sumber pendanaan alternatif, penyesuaian mandat
Di sektor keuangan, Menkeu menjelaskan juga dilakukan penguatan dari sisi koordinasi KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) untuk mengantisipasi dan berupaya sekuat mungkin tidak menjalar dari krisis sosial kesehatan menjadi dampak ekonomi dan kemudian menjalar menjadi dampak keuangan atau sektor keuangan.
Dalam situasi ini, menurut Menkeu, diperkirakan bahwa untuk skenario pertumbuhan ekonomi 2020 akan sangat tergantung dari jejak ke depan dari dampak Covid-19 ini.
“Untuk skenario yang berat yaitu dengan growth estimasinya 2,3 persen, kita melihat untuk kuartal kedua adalah kuartal yang paling berat, dimana pertumbuhan ekonomi bisa turun di 0,3 persen atau hampir mendekati 0 atau bahkan negative growth di minus 2,6, dan untuk kuartal ketiga akan ada recovery di 1,5 dan 2,8,” tandasnya.
Kalau kondisinya akan berat dan cukup panjang, lanjut Menkeu, kemungkinan bahkan akan terjadi resesi, dimana dua kuartal berturut-turut Indonesia GDP-nya bisa negatif. “Ini yang sedang kita upayakan untuk tidak terjadi. Memang sangat berat, namun ini adalah di dalam kita menghadapi kondisi yang luar biasa dan kita coba untuk atasi,” jelasnya.
Langkah-langkah penanganan seperti yang sering sudah disampaikan Presiden, tambah Menkeu, yaitu pertama menggunakan instrumen APBN fokus untuk tiga hal, yaitu di bidang kesehatan, langkah-langkah untuk menjaga dan mengurangi dampak atau menangani penyebaran Covid-19 ini.
“Kedua, di bidang jaring pengaman sosial (social safety net). Dan ketiga, dukungan kepada dunia usaha, dari mulai usaha sektor informal, sektor UMKM, hingga dunia usaha, karena ini akan pengaruhnya terhadap PHK dan kemudian dampaknya ke sosial lagi,” tambah Menkeu.
Dalam situasi inilah, menurut Menkeu, APBN 2020 akan menanggung beban yang luar biasa karena seluruh kondisi ekonomi mengalami dampak, maka penerimaan negara diperkirakan akan mengalami tekanan ke bawah.
“Kita memperkirakan sekitar 10 persen kontraksi penerimaan negara karena kita memberikan berbagai insentif perpajakan dan adanya perlambatan ekonomi,” tandasnya.
Sedangkan sisi belanja, lanjut Menkeu, diperkirakan akan naik sekitar 3 persen, namun ini yang sedang terus dijaga melalui berbagai langkah refocusing dan penyisiran anggaran, serta penyesuaian anggaran yang Presiden instruksikan hari ini.
“Dan defisit kita diperkirakan akan meningkat di sekitar 5 persen,” jelas Menkeu. (TGH/FID/EN)