Menkumham: Instruksi Saya Jelas, Terbukti Pungli Langsung Pecat
Menteri Hukum dan HAM, (Menkumham), Yasonna H. Laoly berjanji akan menindak tegas oknum yang melakukan dugaan pungutan liar (pungli) terhadap warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang menjalani asimilasi dan integrasi sesuai Permenkumham 10 Tahun 2020.
Yasonna meminta masyarakat berani melaporkan oknum nakal tersebut kepadanya melalui berbagai saluran yang tersedia, atau melalui jajaran di Ditjen Pemasyarakatan untuk memudahkan proses penindakan dan akan menjamin data pelapor dirahasiakan.
“Instruksi saya jelas, terbukti pungli saya pecat. Instruksi ini sudah saya sampaikan secara langsung lewat video conference kepada seluruh Kakanwil, Kadivpas, Kalapas, dan Karutan ” ujar Yasonna, melalui keterangan tertulis, Kamis (16/4).
Yasonna menegaskan, Kemenkumham sudah melakukan investigasi dan menerjunkan tim ke daerah untuk menelusuri dugaan pungli tersebut.
“Namun investigasi belum menemukan adanya pungli. Kalau ada yang tahu, tolong laporkan. Supaya mudah, silakan sampaikan lewat pesan di Instagram dan Facebook fan page saya,” kata Yasonna.
Sebelumnya, Yasonna sudah memberikan lima instruksi terkait pengeluaran WBP yang menjalani asimilasi dan integrasi, sebagai berikut:
Pertama, tidak boleh ada pungutan liar, karena prosesnya gratis.
Kedua, proses pengeluaran WBP asimilasi dan integrasi tidak boleh dipersulit.
“Mereka yang menjalani program ini adalah WBP yang sudah menjalani 2/3 masa hukuman, tidak menjalani subsider, bukan napi korupsi atau bandar narkoba atau kasus terorisme, berkelakuan baik selama dalam tahanan, dan ada jaminan dari keluarga,” kata Menkumham.
Ketiga, adalah memastikan WBP memiliki rumah asimilasi yang jelas untuk memudahkan pengawasan dan program berjalan dengan baik.
Keempat, seluruh warga binaan yang menjalani asimilasi dan integrasi tetap dibina dan diawasi berkala karena datanya lengkap hingga alamat tinggal.
“Pengawasan dilakukan dengan koordinasi Kepolisian serta Kejaksaan,” imbuh Menkumham.
Kelima, warga binaan harus diedukasi oleh petugas pemasyarakatan agar terhindar dari Covid-19.
Adapun alasan memberikan asimilasi dan integrasi pada warga binaan itu adalah untuk menyelamatkan mereka dari ancaman menyebarnya Covid-19.
Pasalnya, menurut Yasonna, kondisi di dalam lapas dan rutan sudah kelebihan kapasitas sehingga sulit menerapkan protokoler pencegahan Covid-19.
“Ini karena kemanusiaan. Tidak ada yang bisa menjamin Covid-19 tidak masuk ke dalam lapas atau rutan, karena ada petugas yang punya aktivitas di luar dan kita tidak pernah tahu jika dia membawa virus itu ke dalam lapas,” urai Yasonna.
Ia menegaskan, kebijakan memberikan asimilasi dan integrasi pada warga binaan di lapas serta rutan over kapasitas juga dilakukan atas rekomendasi PBB untuk seluruh dunia. Selain Indonesia, negara-negara lain juga membebaskan napi untuk mencegah penyebaran Covid-19 di dalam lapas.
Di antaranya Amerika Serikat, California membebaskan 3.500 napi, New York City membebaskan 900 napi, Haris County 1.000 napi, Los Angeles 600 napi, serta Federal 2.000 napi.
Kemudian Italia membebaskan 3.000 napi, Inggris & Wales membebaskan 4.000 napi, Iran membebaskan 85.000 napi dan 10.000 tahanan politik, Bahrain membebaskan 1.500 napi, Israel 500 napi, Yunani 15.000 napi, Polandia 10.000 napi, Brazil 34.000 napi, Afganistan 10.000 napi, Tunisia 1.420 napi, Kanada 1.000 napi, dan Perancis membebaskan lebih dari 5.000 napi.
“Sekali lagi, ini karena alasan kemanusiaan karena kondisi di dalam lapas dan rutan sudah sangat kelebihan kapasitas dan kondisi di dalam lapas akan sangat mengerikan jika tidak melakukan pencegahan penyebaran Covid-19,” ujar Yasonna. (Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama Kemenkumham/EN)