Menyikapi Potensi Eskalasi Konflik Di Kawasan Indo-Pasifik Sebagai Dampak Dari Kesepakatan Aukus

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 17 November 2021
Kategori: Opini
Dibaca: 14.312 Kali

Yehuda Bimo Yudanto Purwantoro PutroOleh:  Yehuda Bimo Yudanto Purwantoro Putro, S.H., M.Si. *)

Pada tanggal 17 September 2021, Perdana Menteri Australia (Scott Morrison), Perdana Menteri Inggris (Boris Johnson), dan Presiden Amerika Serikat (Joe Biden) menyepakati kemitraan strategis antara tiga negara tersebut dalam bentuk trilateral defence partnership Australia-UK-US (pakta pertahanan trilateral AUKUS). Agenda utama dari pakta pertahanan tritateral AUKUS adalah penguatan kerja sama militer antara Australia, Inggris, dan Amerika Serikat (AS) yang bertujuan untuk menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik dengan berfokus pada pengembangan industri dan teknologi militer, khususnya dalam hal pengembangan kapal selam tenaga nuklir. Disepakatinya pakta pertahanan tritateral AUKUS membuat Australia menjadi negara ketujuh di dunia yang memiliki kapal selam bertenaga nuklir setelah AS, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Rusia, Inggris, Perancis, dan India.

Setelah disepakati, pakta pertahanan tritateral AUKUS mendapatkan banyak sorotan dari dunia internasional karena dalam pakta tersebut terdapat kesepakatan bahwa Australia akan mendapatkan ekspor kapal selam bertenaga nuklir serta bantuan teknologi dalam pembangunan delapan kapal selam bertenaga nuklir dari AS dan Inggris yang akan dilaksanakan di Adelaide, Australia Selatan. Selain itu, dalam pakta pertahanan tritateral AUKUS disepakati pula bahwa AS akan melakukan penambahan jumlah personil militer yang akan ditempatkan di pangkalan militer AS di Darwin, Australia Utara.

AUKUS Sebagai Upaya AS Menghadapi RRT
Disepakatinya pakta pertahanan trilateral AUKUS oleh Australia, Inggris, dan AS dapat diasumsikan sebagai reaksi atas agresivitas RRT dalam konflik Laut Tiongkok Selatan (LTS), dimana sejak dekade 1990-an RRT telah secara masif melakukan perluasan wilayah melalui klaim kepemilikan wilayah secara sepihak di LTS menggunakan sembilan garis putus-putus (nine dashed line), yang membuat RRT terlibat dalam konflik perebutan wilayah dengan beberapa negara di Asia Tenggara, yaitu Vietnam, Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Brunei Darussalam. Adapun konflik LTS telah menjadi salah satu isu utama politik internasional karena menyebabkan konflik yang bermuara pada ketidakstabilan keamanan di kawasan Indo-Pasifik karena seringkali mengakibatkan konflik militer secara terbuka antara RRT dan negara-negara Asia Tenggara tersebut.

Agresivitas RRT tersebut telah menjadi ancaman bagi AS sebagai negara adidaya yang juga memiliki kepentingan strategis di kawasan Indo-Pasifik, dimana hal tersebut membuat konflik kepentingan dan perebutan pengaruh sebagai negara hegemon di bidang politik dan ekonomi antara AS dan RRT makin meruncing, setelah sebelumnya kedua negara tersebut terlibat dalam Perang Dagang yang telah berlangsung sejak 2018.

Dalam konteks geopolitik kawasan Indo-Pasifik, meski Australia, Inggris, dan AS dalam pernyataan resminya berkomitmen untuk menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik, namun pengembangan teknologi kapal selam bertenaga nuklir yang dilakukan oleh Australia, Inggris, dan AS melalui pakta pertahanan tritateral AUKUS justru sebaliknya berpotensi menjadi ancaman stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik.

Hal ini dapat dianalisis karena kepemilikan kapal selam nuklir oleh Australia yang ditopang oleh AS serta Inggris (sekutu lama AS) merupakan bentuk penyeimbangan kekuatan AS terhadap RRT. Adapun penyeimbangan kekuatan tersebut merupakan respon politik AS terhadap RRT yang dilakukan dengan cara memperlengkapi Australia, yang dalam hal ini memiliki letak geografis di kawasan Indo-Pasifik dan dekat dengan kawasan LTS, dengan kapal selam bertenaga nuklir sebagai bentuk antisipasi terhadap possibility of war yang dapat terjadi sewaktu-waktu, sebagai dampak dari agresivitas RRT di LTS yang disertai dengan peningkatan kekuatan militer RRC yang semakin masif, dimana hal tersebut menjadi ancaman terhadap kepentingan AS di kawasan Indo-Pasifik.

Secara teoretis, sikap AS tersebut sesuai dengan salah satu teori dalam paradigma neorealis pada ilmu hubungan internasional, yaitu balance of power. Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa pada dasarnya balance of power merupakan bentuk upaya penyeimbangan kekuatan (power) yang dilakukan oleh suatu negara/kelompok negara dengan cara melakukan kerja sama dengan negara/kelompok negara lain untuk menghadapi negara/kelompok negara lain yang menjadi ancaman, yang dengan demikian dapat menciptakan stabilitas dan perdamaian (Mearsheimer, 2001).

Potensi Eskalasi Konflik di Kawasan Indo-Pasifik
Meski pakta pertahanan trilateral AUKUS pada dasarnya dimaksudkan sebagai penyeimbang kekuatan militer RRT oleh AS demi terciptanya stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik, namun pakta tersebut justru sebaliknya dapat menimbulkan potensi eskalasi konflik di kawasan Indo-Pasifik karena komitmen Australia, Inggris, dan AS untuk menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik dengan menggunakan instrumen pengembangan teknologi persenjataan merupakan sebuah konsep kuno yang lazim digunakan pada era perang dingin melalui perlombaan persenjataan (arm race) yang lazim dilakukan oleh AS dan Uni Soviet serta negara-negara proxy-nya.

Selain itu, keberadaan delapan kapal selam bertenaga nuklir di Australia akan menambah dampak negatif bagi stabilitas keamanan ASEAN yang sebelumnya telah menjadi wilayah sengketa dengan RRT, karena kapal selam tersebut berpotensi melalui wilayah perairan ASEAN, dimana hal tersebut akan melanggar traktat Southeast Asia Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ) yang disepakati oleh negara-negara ASEAN pada 15 Desember 1995 sebagai komitmen untuk melestarikan kawasan Asia Tenggara sebagai kawasan bebas nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya untuk mewujudkan perdamaian dan keamanan internasional.

Meski Scott Morrison, Boris Johnson, dan Joe Biden telah menyatakan bahwa Australia, Inggris, dan AS tidak akan melanggar Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) yang turut ditandatangani ketiga negara tersebut pada 1 Juli 1968, namun arm race yang terlihat dari disepakatinya pakta pertahanan trilateral AUKUS tersebut dikhawatirkan akan meningkatkan ketegangan antara AUKUS dengan RRT yang dapat memicu perang nuklir, dimana hal tersebut dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi keamanan kawasan Indo-Pasifik, bahkan bagi perdamaian dunia.

Adapun dalam NPT disepakati bahwa negara-negara yang menandatangani NPT berkomitmen untuk melakukan pembatasan kepemilikan senjata nuklir melalui pelucutan senjata nuklir, non-proliferasi nuklir, dan penggunaan bahan nuklir untuk tujuan damai.

Lebih lanjut lagi, pengembangan kapal selam bertenaga nuklir melalui pakta pertahanan trilateral AUKUS telah mendapatkan banyak kecaman dan sorotan dari banyak negara, seperti RRT, Perancis, dan Rusia, yang pada intinya menyatakan bahwa pakta pertahanan trilateral AUKUS merupakan tindakan provokasi yang dapat merusak stabilitas keamanan kawasan Indo-Pasifik, membawa sentimen era perang dingin, mengintensifkan arm race, serta menjadikan kawasan Indo-Pasifik sebagai zona nuklir.

Posisi Indonesia
Sebagai negara tetangga Australia yang juga terlibat dalam konflik LTS, letak geografis Indonesia tersebut tentu membuat Indonesia berada di tengah pusaran potensi konflik antara AUKUS dan RRT. Berdasarkan hal tersebut, menjadi suatu hal yang menarik untuk menganalisis arah kebijakan Pemerintah Indonesia menanggapi kesepakatan pakta pertahanan trilateral AUKUS serta hubungannya dengan konflik RRT-ASEAN di LTS dan politik bebas aktif yang dianut oleh Indonesia. Namun sebelum menganalisis perihal sikap yang dapat ditempuh oleh Indonesia, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai posisi faktual Indonesia saat ini terhadap AUKUS dan RRT.

Beberapa hari sebelum pakta pertahanan trilateral AUKUS disepakati, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melakukan pertemuan bilateral dengan Australia Minister of Defence (Peter Dutton) dan Australia Minister of Foreign Affairs (Marise Payne) pada 9 September 2021 di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, Indonesia dan Australia menyepakati beberapa poin kerja sama di bidang militer, yaitu penandatanganan MoU on Countering Terrorism and Violent Extremism, MoU on Cyber Cooperation and Emerging Cyber Technology, dan kesepakatan untuk melakukan latihan bersama antara TNI dengan Australian Defence Force (ADF). Selain itu, Australia juga menyumbangkan 15 kendaraan taktis Armoured Personnel Carrier (APC) untuk TNI.

Setelah pertemuan tersebut, pada tanggal 16 September 2021 (sehari sebelum disepakatinya pakta pertahanan trilateral AUKUS), Menteri Pertahanan Prabowo Subianto kemudian menghadiri Defence and Security Equipment International, pameran industri pertahanan yang diselenggarakan di London, Inggris. Setelah menghadiri pameran tersebut, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto kemudian melakukan pertemuan bilateral dengan Secretary of State for Defence, Ben Wallace. Dalam pertemuan bilateral tersebut, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Ben Wallace menyepakati lisensi untuk memproduksi kapal tempur Inggris di Indonesia, yaitu kapal tempur tipe fregat Arrowhead 140, yang rencananya akan diproduksi sebanyak dua kapal oleh PT PAL di Surabaya dan ditargetkan selesai pada tahun 2026.

Sebagai catatan tambahan, sebelumnya Indonesia juga telah menyepakati peningkatan kegiatan kerja sama militer dan keamanan maritim dengan AS pada tanggal 19 Oktober 2020 melalui kesepakatan bilateral antara Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan US Secretary of Defence, Mark Esper.

Melalui kerja sama di bidang militer yang telah disepakati oleh Indonesia dengan Australia dan Inggris tersebut, Indonesia kini memiliki hubungan militer yang baik dan strategis dengan negara AUKUS. Namun, hubungan militer antara Indonesia dan RRT justru berada pada keadaan yang kurang baik oleh karena sengketa kepemilikan Laut Natuna Utara yang turut diklaim secara sepihak oleh RRT sebagai bagian dari wilayahnya melalui nine dashed line.

Menanggapi hal tersebut, menjadi sebuah tantangan bagi Indonesia untuk tetap berperan secara aktif di tengah eskalasi ketegangan yang terjadi antara AUKUS dan RRT yang sewaktu-waktu dapat berujung pada konflik militer dan bahkan perang nuklir di kawasan Indo-Pasifik.

Sebenarnya, Indonesia dapat berperan aktif melalui multilateralisme bersama dengan ASEAN dengan memiliki sikap bersama untuk menyerukan stabilitas keamanan dan perdamaian kawasan, terlebih karena ASEAN merupakan salah satu aktor penting di Indo-Pasifik yang secara geografis berada di antara RRT dan Australia. Namun dalam hal ini, multilateralisme ASEAN nampaknya akan sulit terwujud mengingat negara-negara ASEAN cenderung memiliki sikap yang berbeda. Terhadap kesepakatan pakta pertahanan trilateral AUKUS, Filipina menjadi negara ASEAN yang telah secara jelas mendukung kesepakatan AUKUS melalui pernyataan resmi yang disampaikan  Secretary of Foreign Affairs of the Philippines, Teodoro Locsin, pada tanggal 21 September 2021. Adapun sikap Filipina tersebut menjadi suatu hal yang dapat dipahami, mengingat Filipina merupakan sekutu lama AS. Selain itu, Filipina merupakan salah satu negara ASEAN dalam konflik LTS yang wilayahnya paling banyak diklaim oleh RRT, tepatnya di Kepulauan Spratly.

Jika ditarik ke belakang, sejak RRT melancarkan agresivitasnya di LTS, negara-negara ASEAN  sesungguhnya tidak pernah memiliki sikap bersama terhadap konflik LTS karena masing-masing negara memiliki kepentingannya sendiri. Jika Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Indonesia sebagai disputing state secara nyata bersikap menentang nine-dashed line RRT, namun Brunei Darussalam dan Kamboja menunjukkan sikap pasif terhadap RRT. Hal ini kemudian diketahui karena Brunei Darussalam dan Kamboja memiliki ketergantungan ekonomi terhadap RRT. Hal ini berlatar belakang serupa dengan sikap Filipina yang dilatarbelakangi kedekatan dengan AS.

Oleh sebab itu, dapat disimpulkan sikap bersama dan multilateralisme ASEAN dalam menyikapi ketegangan antara AUKUS dan RRT menjadi sulit diwujudkan karena sesungguhnya negara-negara ASEAN memiliki preferensi dan kepentingan nasional masing-masing.

Sikap Indonesia dan Implementasi Politik Luar Negeri Bebas Aktif
Menanggapi sulitnya mewujudkan sikap bersama dan multilateralisme ASEAN, Indonesia perlu memiliki sikap sendiri menanggapi situasi di kawasan Indo-Pasifik berdasarkan prinsip politik luar negeri bebas aktif yang selama ini dianut oleh Indonesia. Namun, prinsip politik luar negeri bebas aktif dalam hal tidak dapat dimaknai sebagai sebuah kenetralan tanpa sikap yang jelas.

Banyak pihak yang menyatakan bahwa ketegangan antara AUKUS dan RRT berpotensi menjadi arm race dengan skala yang berpotensi terus membesar, dimana hal tersebut dapat bermuara pada perang dingin edisi kedua, terlebih karena kepemilikan senjata nuklir oleh kedua pihak. Hal ini perlu ditanggapi oleh Indonesia sebagai suatu sinyal peringatan terhadap prospek keamanan di kawasan Indo-Pasifik, karena keberadaan RRT dan AS sebagai dua “pemain besar” di kawasan Indo-Pasifik akan memunculkan negara-negara satelit yang disebut dengan proxy. Dalam ini, oleh karena Indonesia memiliki hubungan militer yang dekat dengan negara-negara AUKUS serta secara teknis sedang berkonflik dengan RRT di LTS, dapat dikatakan berpotensi besar memihak AUKUS dan menjadi proxy AUKUS, didukung dengan gestur diplomatik Indonesia belakangan ini yang cenderung memihak AUKUS.

Dalam kaitannya dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif, dalam ini Indonesia perlu memiliki sikap yang sesuai dengan prinsip tersebut namun berorientasi pada kepentingan nasional. Posisi Indonesia yang terlibat dalam konflik LTS serta berada di tengah pusaran ketegangan dan potensi konflik militer antara AUKUS dan RRT membuat Indonesia kedepannya tidak dapat menghindarkan diri dari dampak yang dapat ditimbulkan oleh ketegangan antara kedua pihak. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia seyogianya tidak bersikap netral tanpa bersikap, melainkan bersikap hati-hati dalam membuat kebijakan luar negeri yang tentunya dapat menguntungkan Indonesia.

Jika dilihat dari perspektif keuntungan, kedekatan Indonesia dengan negara-negara AUKUS dalam bidang militer akan menguntungkan Indonesia dalam melakukan modernisasi alutsista TNI. Meski kedekatan tersebut membuat Indonesia seolah cenderung memihak AUKUS dan tidak menjalankan politik luar negeri bebas aktif, namun pilihan tersebut menjadi pilihan yang rasional bagi Indonesia, mengingat saat ini Indonesia masih terlibat sengketa di Laut Natuna Utara dengan RRT sebagai bagian dari konflik LTS, sehingga melakukan modernisasi terhadap alutsista dan elemen-elemen pertahanan lain menjadi suatu hal penting yang perlu mendapat perhatian Pemerintah Indonesia.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa politik luar negeri bebas aktif tidak dapat dimaknai sebagai sebuah kenetralan tanpa sikap yang jelas, maka kedekatan dengan AUKUS dapat dimaknai sebagai sebuah sikap politik yang berorientasi pada kepentingan nasional dalam bidang pertahanan, bukan sebagai keberpihakan secara terang-terangan kepada salah satu pihak sebagaimana yang dilakukan oleh Filipina, sehingga Indonesia tidak melabelkan diri sebagai proxy dari salah satu pihak, baik AUKUS maupun RRT.

Lebih lanjut lagi, kedekatan Indonesia dengan AUKUS dalam bidang pertahanan dapat berjalan beriringan dengan kedekatan Indonesia dan RRT dalam bidang ekonomi yang tengah berlangsung saat ini, sehingga kedepannya Indonesia tetap berada di posisi tawar yang menguntungkan untuk melakukan kerja sama ekonomi, mengingat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan menjadi salah satu program utama pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Dalam hal ini, Indonesia dapat mengambil keuntungan dari kedua belah pihak yang sedang bersitegang tersebut dalam bidang pertahanan dan ekonomi sekaligus. Hal ini sesuai dengan ungkapan “mendayung di antara dua karang” sebagai prinsip utama politik luar negeri bebas aktif yang dicetuskan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 2 September 1948. Lebih lanjut lagi, sikap yang dapat dilakukan Indonesia terhadap AUKUS dan RRT tersebut dapat menjadi penegasan bahwa sesungguhnya politik luar negeri bebas aktif masih tetap relevan dengan perkembangan politik internasional yang telah jauh berbeda dengan era perang dingin terdahulu, karena tetap dapat diterapkan dengan berorientasi pada kepentingan nasional Indonesia.

Dalam melakukan hal tersebut, Pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah diplomasi dengan melakukan komunikasi yang intens serta merangkul pihak-pihak yang berada di pusaran konflik, baik AUKUS, RRT, bahkan ASEAN, dengan tetap menjadikan stabilitas keamanan dan perdamaian kawasan Indo-Pasifik serta komitmen melaksanakan NPT 1 Juli 1968 dan pencegahan perang nuklir sebagai narasi utama. Hal ini menjadi penting dalam pengambilan kebijakan oleh Pemerintah Indonesia kedepannya, sehingga meskipun dalam hal ini tujuan utama kebijakan luar negeri Indonesia berorientasi pada kepentingan nasional, namun dalam pelaksanaannya tetap memperlihatkan image Indonesia yang tidak berat sebelah atau lebih condong ke satu pihak tertentu.

Sumber:
Mearsheimer, John. 2001. The Tragedy of Great Power Politics. W.W. Norton.


*) Penulis adalah Analis Hukum pada Kedeputian Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Sekretariat Kabinet RI

Opini Terbaru