Merajut Kebijakan Transisi Penanganan COVID-19

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 19 Juni 2023
Kategori: Opini
Dibaca: 3.872 Kali

Oleh: Ika Narwidya Putri, S.I.A., M.A.*) dan Dewa Ayu Sekar Saraswati, S.H.**))

Berangkat dari kemunculan kasus perdana Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020, pemerintah merespons dengan mencurahkan berbagai sumber daya dalam jumlah besar untuk memutus rantai penyebaran virus.  COVID-19 terbukti secara masif telah mendisrupsi seluruh aspek kehidupan seperti kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Berbagai kebijakan strategis di berbagai sektor telah ditetapkan untuk mengakselerasi upaya penanganan kasus COVID-19 yang secara simultan juga diarahkan untuk menyelamatkan perekonomian nasional.

Pada tanggal 5 Mei 2023, status Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) atau kedaruratan kesehatan masyarakat atas kasus COVID-19 telah dicabut dikarenakan tidak lagi memenuhi tiga kriteria utama yakni: unusual/extraordinary events, berisiko terhadap kesehatan internasional, dan membutuhkan koordinasi lintas negara. Pascakeputusan Badan Kesehatan Dunia (WHO) dimaksud, relevansi kebijakan aktual penanganan COVID-19 dengan perkembangan kasus nasional saat ini menjadi atensi pemerintah yang masih dalam tahap pengkajian secara lintas sektor.

Kondisi Aktual COVID-19 di Tingkat Nasional
Berdasarkan hasil penelitian epidemiologi terhadap status imunitas (sero survei) yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia pada bulan Januari 2023, sebesar 99 persen masyarakat Indonesia telah memiliki antibodi virus COVID-19. Terbentuknya imunitas masyarakat dipengaruhi oleh cakupan vaksinasi dosis pertama nasional yang cukup tinggi yakni mencapai 86,8 persen di mana cakupan vaksinasi dimaksud juga telah melampaui target WHO yakni sebesar 70 persen.

Di samping itu, indikator perkembangan kasus COVID-19 di Indonesia per tanggal 28 Mei 2023 berada pada koridor yang terkendali yakni angka kesembuhan nasional mencapai 97,43 persen di mana persentase dimaksud berada di atas rata-rata kesembuhan dunia yakni sebesar 96 persen dan jumlah kasus aktif nasional mencapai 0,20 persen yang berada di bawah rata-rata dunia yakni sebesar 3 persen.

Sejalan dengan perkembangan kasus COVID-19 yang terus mengalami perbaikan, relevansi kebijakan penanganan COVID-19 nasional perlu untuk segera dievaluasi dan disesuaikan mengingat penyebaran virus ini berikut dampaknya tidak lagi memenuhi kriteria sebagai bencana nasional. Transisi kebijakan penanganan COVID-19 sangat esensial untuk memitigasi adanya kemunduran lebih jauh dalam pencapaian target pembangunan nasional di berbagai sektor khususnya sektor kesehatan yang mengalami hambatan signifikan pasca adanya refocusing kegiatan dan realokasi anggaran dalam rangka percepatan penanganan COVID-19.

Rekomendasi WHO Sebagai Pedoman Transisi Kebijakan Penanganan COVID-19
Perjalanan transisi kebijakan penanganan COVID-19 di Indonesia pada prinsipnya telah dilakukan pemerintah sembari berkoordinasi dengan WHO. Bersamaan dengan dicabutnya status PHEIC, Direktur Jenderal WHO telah memberikan beberapa rekomendasi kepada seluruh negara anggota yang dapat dijadikan pedoman untuk disesuaikan dengan kebutuhan di masing-masing negara. Pada prinsipnya, rekomendasi WHO dapat menjadi acuan bagi pemerintah dalam meramu kebijakan transisi penanganan COVID-19 nasional di antaranya:

1. Mengembangkan kapasitas internal
Mengingat saat ini COVID-19 dianggap sebagai permasalahan kesehatan yang masih terus berlangsung, pemerintah didorong untuk terus mengembangkan kapasitas internal sehingga apabila sewaktu-waktu pandemi terjadi kembali dampak yang ditimbulkan dapat dimitigasi dengan baik. Kapasitas tersebut misalnya memperkuat koordinasi lintas sektor baik dalam mencegah, mendeteksi, dan merespons wabah penyakit/pandemi, dan memperbarui rencana kesiapsiagaan menghadapi pandemi. WHO mengingatkan agar pengembangan kapasitas tersebut mengintegrasikan pembelajaran praktik baik di tingkat nasional maupun daerah.

Pemerintah perlu memikirkan apakah model penanganan pandemi COVID-19 yang diampu oleh Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) sesuai untuk mengelola krisis multidimensi sewaktu-waktu pandemi terjadi lagi? Apakah KPCPEN perlu dipertahankan untuk manajemen COVID-19 jangka panjang? Apa dan bagaimana investasi pada ketahanan kesehatan dapat diwujudkan sehingga mengurangi dampak yang ditimbulkan ketika pandemi terjadi kembali?

Sebagaimana ditegaskan oleh WHO, menguatkan kapasitas internal perlu memperhatikan pembelajaran dan/atau keberhasilan yang sudah diraih selama tiga tahun terakhir dalam tata kelola penanganan pandemi COVID-19. Upaya membatasi penyebaran virus melalui Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang diperbarui per dua minggu sekali, pemberian bantuan sosial untuk kelompok masyarakat terdampak, dan kewajiban vaksinasi COVID-19 yang akhirnya berhasil menaikkan cakupan vaksinasi adalah beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk diintegrasikan dalam tata kelola penanganan pandemi.

2. Mengintegrasikan vaksinasi COVID-19 ke dalam program vaksinasi rutin nasional
Merujuk pada data vaksinasi COVID-19 per 7 Juni 2023, Pemerintah menargetkan sebanyak 234.666.020 orang menjadi sasaran vaksinasi COVID-19 dengan capaian dosis pertama mencapai sekitar 203 juta orang (86,8 persen), dosis kedua sebanyak 174 juta orang (74,5 persen), dosis ketiga sebanyak 68 juta orang (29,3 persen), dan dosis keempat sebanyak 3 juta orang (1,3 persen). Cakupan vaksinasi primer memang menjadi sebuah hal yang patut diapresiasi. Namun seiring dengan mutasi virus yang terus berkembang, ada beberapa kelompok masyarakat rentan yang perlu diberikan tambahan kekebalan dengan vaksin booster.

Apabila merujuk pada panduan WHO terkait vaksinasi COVID-19, terdapat beberapa kelompok masyarakat yang direkomendasikan mendapatkan booster vaksin untuk meningkatkan proteksi terhadap virus atau menurunkan risiko kematian sewaktu-waktu terinfeksi virus COVID-19. Misalnya, untuk kelompok usia 50 ke atas dengan komorbid direkomendasikan mendapatkan booster vaksin per 6 bulan setelah dosis terakhir yang diterima. Untuk petugas kesehatan, direkomendasikan menerima booster vaksin 12 bulan setelah dosis terakhir.

Dengan memperhatikan data cakupan vaksinasi COVID-19 dan rekomendasi WHO tersebut maka menjadi suatu hal yang penting apabila vaksinasi COVID-19 diintegrasikan dalam program vaksinasi rutin nasional. Selain meningkatkan kemudahan akses terhadap vaksinasi COVID-19, ketahanan masyarakat pun setidaknya terjaga secara berkesinambungan. Mengingat status kedaruratan COVID-19 sudah dicabut, Direktur Jenderal WHO tetap akan mengizinkan penggunaan produk vaksin dan diagnostik yang sudah memenuhi kualifikasi perolehan Emergency Use Listed (EUL) agar akses masyarakat terhadap keduanya tidak terhambat.

3. Meningkatkan surveilans patogen/agen penyakit yang berpotensi wabah
WHO mendorong agar setiap negara tetap melaporkan secara berkala terkait tingkat kematian akibat penyakit yang berpotensi wabah. Dengan menggabungkan berbagai sumber data, setiap negara dapat meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi wabah penyakit atau pandemi yang dapat menimbulkan kedaruratan.

Pemerintah melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Nomor 7 Tahun 2022 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis dan Penyakit Infeksius Baru telah mengatur bagaimana surveilans terpadu yang diselenggarakan lintas sektor antarkementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya dilakukan secara terkoordinasi, berbasis laboratorium, dan aktual melalui Sistem Informasi Zoonosis dan Emerging Infectious Diseases (SIZE). Regulasi tersebut tentunya harus segera diikuti dengan investasi sumber daya yang diperlukan sehingga dapat segera digunakan untuk meningkatkan ketahanan kesehatan.

4. Penguatan regulasi terkait penggunaan jangka panjang vaksin, alat diagnosis, dan obat-obatan
Dalam menjaga ketersediaan obat selama kondisi kedaruratan kesehatan akibat COVID-19, pemerintah telah membuat kebijakan khusus untuk mempercepat pengadaan obat dan vaksin COVID-19. Salah satu kebijakan yang telah ditetapkan adalah Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 berikut dengan beberapa peraturan perubahannya.

Pascaberlakunya Peraturan Presiden dimaksud, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah memberikan persetujuan penggunaan pada masa darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) atas obat-obatan dan vaksin COVID-19. EUA diberikan terhadap obat dan vaksin COVID-19 yang belum memiliki izin edar dengan mempertimbangkan urgensi kedaruratan namun tetap memperhatikan aspek keamanan, khasiat, dan mutu berdasarkan hasil uji klinik meskipun, masih memiliki keterbatasan data.

Dalam menginisiasi kebijakan jangka panjang berupa integrasi vaksinasi COVID-19 dalam program vaksinasi nasional, BPOM selaku pengampu tata laksana registrasi obat perlu untuk mempersiapkan kebijakan peralihan izin penggunaan vaksin COVID-19 dari EUA menjadi Izin Edar yang tentunya memerlukan kelengkapan data dan evaluasi yang lebih jauh.

Apabila tidak dipersiapkan kebijakan transisi, dikhawatirkan akan ada beberapa kelompok masyarakat rentan khususnya masyarakat lanjut usia yang kesulitan mengakses vaksin COVID-19 mengingat, penggunaan vaksin atas dasar EUA  tidak dapat dilakukan jika status kedaruratan kesehatan telah dicabut. Untuk memitigasi hal tersebut, BPOM secara bertahap perlu memulai upaya peralihan EUA vaksin COVID-19 menjadi izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Melanjutkan komunikasi risiko dan pelibatan masyarakat dalam mitigasi penyakit berpotensi wabah
Terlepas dari situasi COVID-19 yang sudah terkendali, ancaman penyakit zoonosis dan penyakit infeksius baru di Indonesia diprediksi akan mengalami peningkatan. Dengan ancaman penyakit tersebut, jumlah tenaga kesehatan di Indonesia belum cukup memadai untuk melaksanakan upaya pencegahan dengan optimal dan menyeluruh. Dengan demikian keterlibatan masyarakat menjadi salah satu strategi kunci untuk mendukung pemerintah dalam mencegah terjadinya eskalasi penyakit yang berpotensi wabah.

Pada prinsipnya, pemerintah telah menerapkan kebijakan Surveilans Berbasis Masyarakat (SBM) yang berakar dari inisiasi masyarakat untuk terlibat kegiatan pengamatan, pelaporan, dan respons guna  memberikan peringatan dini terhadap mengenai peristiwa atau kasus kesehatan yang terjadi di lingkungan masyarakat. Kementerian Kesehatan telah menetapkan 32 (tiga puluh dua) jenis penyakit dan faktor risiko yang menjadi objek kegiatan SBM, di antaranya Antraks, Malaria, Flu Burung, Hepatitis, Difteri, Kolera, Campak, Gizi Buruk, dan lain-lain.

Dalam pelaksanaannya, Tim SBM terdiri atas tenaga relawan (kader) yakni masyarakat yang secara sukarela berpartisipasi dalam kegiatan SBM dengan koordinator yang berasal dari perangkat desa atau kelurahan setempat. Adapun tantangan terbesar pemerintah adalah upaya untuk meningkatkan rasa kepemilikan masyarakat untuk turut serta dalam kegiatan surveilans kesehatan guna mengakselerasi jumlah tenaga relawan aktif khususnya di wilayah dengan risiko zoonosis yang cukup tinggi. Perhatian pemerintah terhadap kader SBM dapat diberikan dalam beberapa aspek khususnya kesejahteraan, pelatihan, dan dukungan pendanaan dalam kegiatan SBM.

6. Melanjutkan dukungan untuk kegiatan-kegiatan penelitian pencegahan dan penanggulangan penyakit berpotensi wabah
Kegiatan penelitian terhadap penanggulangan penyakit yang berpotensi wabah di Indonesia pada saat ini mengalami perkembangan. Pada tahun 2022, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyampaikan “Potensi Indonesia sebagai Hotspot Zoonosis” dimana kondisi iklim tropis dan kepadatan penduduk dengan budaya transaksi bebas satwa liar meningkatkan risiko penularan penyakit zoonosis.

Menyikapi berbagai ancaman wabah penyakit, Presiden melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2019 tentang Peningkatan Kemampuan Dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia telah memberikan instruksi khusus kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk meningkatkan kegiatan riset dalam rangka peningkatan kapasitas nasional dalam mencegah dan merespons penyakit yang berpotensi wabah.

Dengan adanya Instruksi dimaksud, diharapkan kegiatan riset dan penelitian dapat berkembang dengan pesat dan berkelanjutan guna mendukung upaya pemerintah dalam mencegah, mendeteksi dan merespons wabah penyakit.

Rekomendasi WHO tersebut tentunya masih terbuka untuk dikontekstualisasikan dengan kebutuhan Indonesia. Beberapa rekomendasi memang sudah ada yang ditindaklanjuti, namun tetap menyisakan pekerjaan rumah yang cukup banyak untuk transisi manajemen pandemi COVID-19 jangka panjang. Tantangan berikutnya adalah membenahi tata kelola yang sudah ada sembari menginstitusionalkan beberapa pembelajaran baik untuk ketahanan kesehatan yang lebih baik.

——————————

*) Analis Kesejahteraan Rakyat pada Subbidang Kesehatan
**) Analis Hukum pada Subbidang Kesehatan

Opini Terbaru