Meski Iklim Berubah, Ketahanan Pangan Harus Tetap Berlanjut
Oleh : Oktavio Nugrayasa, SE, M.Si*)
Untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan masyarakat atas produk pangan terutama mempertahankan sekaligus meningkatkan produksi pertanian di bidang pangan, pada kondisi level di lapangan masih terkendala banyak hambatan yang sering dijumpai. Dari sekian banyak hambatan tersebut, ada yang dapat ditangani melalui introduksi teknologi yaitu suatu cara merubah dan mengendalikannya dengan tehnik rekayasa tertentu, tetapi ada pula yang sangat sulit ditangani terutama yang berkaitan dengan kejadian fenomena alam yaitu perubahan iklim.
Perubahan iklim atau seringkali disebut climate changes, merupakan salah satu fenomena alam yang terjadi karena adanya perubahan nilai dari unsur-unsur iklim baik secara alamiah maupun buatan karena dipercepat oleh segala aktifitas dan kegiatan manusia di muka bumi. Perlu diketahui, bahwa kegiatan pemakaian gas rumah kaca (GRK) yang banyak dilakukan, pembangunan industri-industri baru yang menyumbang begitu besar polusi dan gas karbon di udara, serta tidak terkendalinya penebangan kayu di hutan, mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap segi kehidupan terutama bagi ketahanan pangan nasional.
Perubahan iklim dan cuaca ekstrim seringkali menyebabkan peningkatan suhu udara, naiknya batas permukaan air laut, dan dapat menyebabkan anomali iklim seperti kejadian fenomena El-Nino yang ditandai oleh adanya musim kemarau yang panjang, dan La-Nina dengan musim hujan lebih lama dari biasanya dan menjadi lebih sering terjadi dari siklus 3-7 tahun sekali menjadi 2-5 tahun sekali (BMKG, 2014).
Perubahan iklim bukan lagi menjadi persoalan untuk diperdebatan keberadaannya, tetapi sudah menjadi permasalahan bersama antar komunitas, antar instansi, antar Negara dan bahkan secara global untuk mendapatkan penanganan serius karena begitu banyak aspek kehidupan yang terkena dampaknya, apalagi bagi peningkatan produksi dan produktifitas di sektor pertanian bidang pangan. Diantara perubahan nilai dari unsur-unsur iklim, seperti perubahan suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan radiasi sinar matahari serta perubahan kondisi tanah pada akhirnya akan sangat besar implikasinya terhadap masa pertumbuhan, hasil produksi ataupun mutu hasil akhir tanaman pangan yang dihasilkan.
Perubahan iklim akan mengancam ketahanan pangan di seluruh negara di dunia, contoh yang paling aktual adalah terjadinya banjir yang sangat ekstrim di negara Thailand sehingga menyebabkan negara ini menghentikan sementara waktu ekspor berasnya ke negara lain akibatnya berdampak pada kenaikan harga beras di seluruh dunia.
Prospek Ketahanan Pangan Ke Depan
Tantangan yang akan dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan di masa mendatang adalah, berkaitan dengan perubahan iklim yang berpengaruh langsung kepada tingkat produksi pertanian sebagai penyedia konsumsi pangan kebutuhan masyarakat. Diperkirakan jumlah penduduk dunia akan mencapai 6 miliar jiwa pada tahun 2050, di antaranya 318 juta jiwa penduduk Indonesia.
Pertambahan penduduk dunia mengalami peningkatan setiap tahun, akan tetapi tidak dibarengi dengan peningkatan produksi tanaman pangan yang dihasilkan, justru keadaannya berbanding terbalik, yaitu produksi mencapai stagnasi atau bahkan terjadi penyusutan jumlah produksi yang dihasilkan. Diperkirakan pada periode tahun 2015-2050 angka tingkat produktivitas sektor pertanian di Negara-negara berkembang akan mengalami penurunan, dan angka penurunannya dapat mencapai 9% sampai dengan 20%.
Berdasarkan Data Badan Pusat statistik (BPS) untuk Produksi Tanaman Pangan Angka Ramalan (ARAM) I tahun 2014, Indonesia diperkirakan akan mengalami angka penurunan jumlah produksi pertanian terutama produksi padi dan jagung, yang tercacat angkanya masing-masing sebesar 1,41 juta ton (1,98%) dan 875, 17 ribu ton (4,51%) dibandingkan produksi yang dihasilkan pada tahun 2013. Angka pelandaian tingkat produksi pertanian terutama sumber pangan pokok (staple food), selain secara inherent disebabkan oleh faktor tingkat kesuburan tanah yang terus mengalami penurunan, juga disebabkan oleh penyempitan lahan pertanian, serta secara langsung maupun tidak langsung akibat faktor perubahan iklim ekstrim.
Kenyataan tersebut merupakan tantangan bagi Indonesia sebagai negara tropis yang berlimpah sumberdaya alamnya dan memiliki lahan pertanian yang sangat subur untuk dapat mengalokasikan secara efektif dan secara adaptif berbagai unsur baik itu udara, lahan, air, dan unsur lainnya seperti unsur hara, iklim dan ekosistem dalam mendukung peningkatan produksi tanaman pangan.
Teknologi Adaptasi
Sektor pertanian sangat rentan sekali terhadap perubahan iklim dan perubahan tersebut akan sangat berpengaruh pada pola tanam, waktu tanam, produktivitas dan luas areal tanam karena adanya keterlambatan musim tanam. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim agar produksi pangan di Indonesia tetap berlanjut mengalami peningkatan adalah melalui upaya penggunaan teknologi adaptasi. Teknologi adaptasi yang dilakukan bertujuan untuk menyesuaikan terhadap dampak dari perubahan iklim dalam mengurangi resiko kegagalan panen produksi pertanian.
Teknologi adaptasi meliputi kegiatan penyesuaian waktu dan pola tanam, penggunaan varietas unggul yang tahan terhadap kekeringan, dapat tumbuh di lahan rawa, serta pengembangan teknologi adaptasi terhadap pengelolaan air.
1. Penyesuaian Waktu dan Pola Tanam
Penyesuaian waktu dan pola tanam merupakan upaya yang sangat strategis guna mengurangi atau menghindari dampak perubahan iklim akibat pergeseran musim dan perubahan pola hujan. Kementerian Pertanian pada tahun 2004, telah menerbitkan Atlas Peta Kalender Tanam di Pulau Jawa yang menggambarkan potensi pola dan waktu tanam bagi tanaman pangan terutama padi dan jagung berdasarkan potensi dan dinamika sumber daya, sehingga perencanaan tanam dapat disesuaikan dengan keadaan iklim dan sumber air yang tersedia.
2) Penggunaan Varietas Unggul
Penggunaan beberapa varietas/galur tanaman yang dapat toleran terhadap iklim kering, pada genangan di lahan rawa yang memiliki potensi dan prospek yang besar untuk pengembangan pertanian, khususnya dalam mendukung ketahanan pangan nasional.
3. Teknologi Pengelolaan Air
Dalam menyikapi perubahan iklim, perlu diterapkan teknologi pengelolaan air antara lain, teknologi panen hujan, yaitu prinsipnya menampung kelebihan air hujan dan memanfaatkannya pada musim kemarau dalam mengairi tanaman dengan pembuatan embung dan dam parit.
Kebijakan adaptasi perubahan iklim yang telah dilakukan melalui penerapan teknologi adaptasi belum cukup besar menopang dan mewujudkan ketahanan pangan nasional. Karena itu, pemerintah mendatang perlu mempertimbangkan dan mendorong alternatif bentuk adaptasi-adaptasi lainnya, seperti pengembangan inovasi teknologi untuk mengurangi kerentanan, atau meningkatkan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim dan cuaca yang ekstrim. Hal ini dilakukan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan produksi pertanian bagi penyediaan pangan menuju terwujudnya stabilitas ketahanan pangan nasional yang lebih kuat.
*) Kabid Ketahanan Pangan dan PDT Kedeputian Perekonomian Setkab