Mimpi Manis Swasembada Gula Indonesia

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 8 Desember 2016
Kategori: Opini
Dibaca: 125.369 Kali

okta

Oleh: Oktavio Nugrayasa, SE, M.Si

Dalam kerangka ekonomi nasional, komoditas gula merupakan salah satu komoditas bahan pangan pokok strategis. Strategis karena pentingnya komoditas tersebut untuk memenuhi kebutuhan dan kalori bagi masyarakat Indonesia maupun Industri makanan dan minuman. Sementara dari sisi lain, merupakan sumber pendapatan bagi sekitar 1 juta petani serta hampir 2 juta tenaga kerja yang terlibat langsung pada di sektor industri perkebunan tebu nasional.

Komoditas gula ditetapkan sebagai salah satu target pencapaian sasaran pokok kebijakan pemerintah dalam pembangunan nasional RPJM 2015-2019. Dengan target produksi pada tahun 2019 dapat mencapai produksi sebesar 3,8 juta ton serta baseline di tahun 2014 sebesar 2,6 juta ton.

Saat ini, permintaan komoditas gula jumlahnya terus mengalami peningkatan sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat, serta semakin berkembangnya usaha industri makanan dan minuman yang menggunakan bahan bakunya gula.

Dengan permintaan gula yang terus meningkat setiap tahun telah menyebabkan pemenuhan produksi gula di dalam negeri tidak bisa mencukupi, dimana berdasarkan data BPS RI (2015) jumlah realisasi angka produksi gula nasional pada tahun 2015 angkanya mencapai 2,497 juta ton yang dihasilkan dari areal perkebunan tebu yang ada sebesar 446.060 hektar. Sedangkan, angka kebutuhan konsumsi gula nasional setiap tahunnya membutuhkan kurang lebih sebesar 5 juta ton sehingga produksi gula mengalami defisit jumlahnya mencapai 2,503 juta ton setiap tahun. Pada tahun 2016 diperkirakan stok gula nasional hanya mencapai 3,317 juta ton dan untuk menutupi kebutuhan konsumsi di dalam negeri yang tidak mencukupi tersebut diusahakan melalui impor gula.

Masalah Usahatani Tebu

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian RI, untuk luas areal tebu nasional tahun 2016 angkanya mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2015 sebesar 452 hektare.

Komposisi kepemilikan areal perkebunan tebu di Indonesia terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok besar, antara lain perkebunan besar rakyat (PBR) mencakup luas areal sebesar 208 ribu hektare atau sekitar 62%, dan perkebunan besar negara (PBN) luas areal sebesar 63 ribu hektare atau sekitar 14%, serta perkebunan besar swasta (PBS) mencakup luas areal sebesar 108 ribu hektare atau sekitar 24%. Sedangkan untuk jumlah total produksi gula yang dihasilkan dari masing-masing perkebunan angkanya yang dihasilkan oleh PBR sebesar 1,7 juta ton, PBN sebesar 306 ribu ton, serta PBS angkanya sebesar 723 ribu ton. Dari angka tersebut, maka kemampuan jumlah produksi gula nasional sebagian besar masih dipenuhi dengan menggunakan bahan baku yang banyak di usahakan oleh perkebunan milik para petani.

Dalam upaya meningkatkan produksi gula nasional mutlak diperlukan peningkatan luas areal perkebunan beserta peningkatan produktivitas dan penerapan pola usahatani yang dilakukan oleh para petani melalui peningkatan rendemen tebu, serta efisiensi ditingkat pabrik pengolahan dengan peningkatan teknologi mesin giling. Rendemen tebu, adalah kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen, jika dikatakan rendemen tebu sebesar 10%, artinya dari 100 kilogram tebu yang digiling di pabrik gula akan diperoleh gula sebanyak 10 kilogram.

Terjadinya penurunan rendemen tebu disebabkan oleh ketidakpahaman para petani dalam melakukan sistem tanam tebu. Hal ini dikarenakan tanaman keprasan tebu yang seharusnya di panen maksimal sebanyak 3-4 kali, oleh petani dijadikan 8-12 kali panen. Bagi petani selain menghemat biaya dalam hal pembibitan juga akan menghemat tenaga kerja bongkar maupun tanam. Sehingga mengakibatkan jumlah rendemen tebu berkurang hingga 7,5%, sedangkan standar minimal rendemen yang digunakan untuk gula sebesar 12%.

Dengan jumlah rendemen tebu yang dihasilkan di bawah standar minimal dalam hal penjualan, maka tebu biasanya di hargai jauh di bawah normal. Sebagian petani yang memahami pentingnya menjaga rendemen agar tinggi tidak serta merta menerapkan kepras tebu yang 3 kali untuk mendapatkan rendemen yang tinggi, namun cenderung membiarkan tanaman tebunya tumbuh hingga panen ulang. Kondisi ini dikarenakan banyak para petani tebu yang ada selalu mengeluhkan kesulitan dalam hal permodalan.

Peranan pabrik gula selaku unit pengolahan tebu menjadi gula kristal putih (GKP) sangat menentukan. Dari proses tersebut akan dihasilkan produk berupa gula kristal putih yang dikenal di pasar dengan sebutan gula pasir.

Akibat dari kualitas rendemen tebu Indonesia yang rendah, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengimpor gula mentah (raw sugar) tanpa bea masuk agar pabrik-pabrik tebu yang ada di Indonesia tidak gulung tikar. Namun, dalam kebijakan ini menyusul masalah tebu lain, yaitu jatuhnya harga gula dalam negeri atau kalah bersaing dengan gula impor yang harganya murah serta bocornya gula mentah tersebut yang tidak sehat di pasaran. Langkah untuk mengatasi persoalan jatuhnya harga gula di dalam negeri serta mencegah merembesnya gula rafinasi beredar di pasar tradisonal, maka telah ditetapkan Permendag Nomor 117/M-DAG/PER/12/205 tentang Ketentuan Impor Gula. Kondisi ini merupakan tindak lanjut pemerintah dalam mengatur kembali ketentuan impor agar dapat mengendalikan ketersediaan dan kestabilan harga gula nasional.

Upaya Peningkatan Produksi Menuju Swasembada Gula Nasional

Kemampuan jumlah produksi gula nasional sebagian besar masih dipenuhi menggunakan bahan baku yang banyak di usahakan oleh para petani, sehingga dalam mewujudkan swasembada gula nasional sebaiknya kebijakan pergulaan nasional lebih di arahkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan sekaligus ditujukan untuk meningkatkan pendapatan petani tebu.

Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah menetapkan kebijakan pembangunan perkebunan melalui 5 (lima) poin kebijakan, agar mengarah pada peningkatan produktivitas gula nasional. Ke lima point tersebut antara lain,

  1. Proyeksi Produksi Gula Nasional

Proyeksi produksi selama 2 tahun (2017-2019) diperkirakan akan mengalami kenaikan sebesar 3%. Pada tahun 2017 perkiraan produksi gula kristal putih (GKP) sebesar 3,03 juta ton, kemudian pada tahun 2018 sebesar 3,09 juta ton dan terakhir pada tahun 2019 angkanya mencapai 3,14 juta ton.

  1. Penambahan Luas Areal Perkebunan Tebu di luar Pulau Jawa

Pemerintah akan menyediakan lahan untuk pengembangan tebu seluas 600 ribu hektare di luar Pulau Jawa setiap tahunnya sehingga pada tahun 2019 total perluasan areal sebesar 2,4 juta hektare.

  1. Penetapan 10 (sepuluh) Propinsi Pengembangan Tebu di luar Pulau Jawa

Basis kawasan yang akan dijadikan sebagai sentra perkebunan tebu, yaitu di Aceh, Sumatera Selatan, Lampung, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, Gorontalo dan Papua.

  1. Revitalisasi on farm dan off farm

Sebagian besar pabrik gula-gula milik pemerintah mesinnya sudah berusia tua dengan peremajaan mesin produksi baru diharapkan dapat meningkatkan hasil produktivitas dari hasil tebu maupun gula yang diproduksi mampu 30.000 ton tebu perhari (TCD)

  1. Pembangunan 10 (sepuluh) Pabrik Gula Baru

Pembangunan pabrik gula tersebut diharapkan dapat menaikan rendemen tebu secara bertahap, dimana saat ini angkanya mencapai rata-rata sebesar 6-7,5%, maka dengan pendirian pabrik gula baru tersebut diharapkan mampu menaikan rendemen tebu hingga 11-12%.

Analisis sementara terhadap kinerja industri gula nasional pada umumnya program Revitalisasi Industri Gula yang dilakukan secara terbatas telah menuai hasil yang meningkat dengan peningkatan kapasitas dan efisiensi di seluruh pabrik gula. Konsekuensinya, ke depan sangat diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dalam membina petani untuk meningkatkan produktivitas maupun upaya-upaya perluasan areal pertanaman.

Secara teknis budidaya masih banyak yang mesti dibenahi secara terus menerus, seperti aspek benih/bibit dan penataan varietas yang memberikan pedoman kepada para pengelola kebun tebu untuk memanfaatkan potensi varietas dalam upaya peningkatan produktivitas tebu dan gula yang dihasilkan, sesuai dengan tipologi lahan yang digunakan termasuk didalamnya penyelenggaraan kebun bibitnya, serta manajemen tebang angkut. Hal lainnya adalah diperlukan penguatan modal kepada koperasi tani tebu agar mampu meningkatkan akses petani terhadap kredit dan penyediaan sarana produksi.

Ada yang mengatakan tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang dapat terjadi kecuali awalnya ada sebuah mimpi dan usaha untuk mewujudkannya yaitu menuju swasembada gula nasional di tahun 2019.

Kepala Bidang Ketahanan Pangan, Deputi Bidang Perekonomian, SETKAB RI          

Opini Terbaru