Oktober-November 2017, 76% Wilayah Indonesia Masuk Awal Musim Hujan

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 8 September 2017
Kategori: Nusantara
Dibaca: 8.684 Kali
Konferensi Pers BMKG, Kamis (7/9) sore.

Konferensi Pers BMKG, Kamis (7/9) sore.

Jika dibandingkan tahun 2016, di tahun 2017, sebagian wilayah Indonesia lebih kering dan lebih basah dibandingkan tahun 2015. Sesuai dengan rilis yang dilakukan BMKG pada Maret 2017, sebanyak 85% wilayah Zona Musim Indonesia telah memasuki musim kemarau pada awal September 2017.

Sementara berdasarkan pantauan Hari Tanpa Hujan bahwa beberapa tempat di Jawa hingga NTT telah mengalami Hari tanpa Hujan berturut-turut selama lebih dari 60 hari. Bahkan di beberapa tempat di Jawa Timur, NTB, NTT mengalami Hari Tanpa Hujan lebih dari 100 hari. Hal ini diutarakan Deputi Bidang Klimatologi, Prabowo R. Mulyono di depan media massa saat kegiatan jumpa pers awal musim hujan 2017/2018 Kamis (7/9) sore di Kantor BMKG Pusat.

Lebih lanjut, Prabowo mengutarakan bahwa pada bulan ini, sebagian besar pulau Jawa bisa dikatakan sedang mengalami puncak musim kemarau, dan akan masuk awal musim hujan pada Oktober-November 2017.

“Saat ini sekitar 86% wilayah Indonesia sudah masuk musim kemarau, sedangkan 14% masih banyak terjadi hujan. “Beberapa wilayah seperti Sumatera bagian selatan, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan bagian Selatan, Jawa bagian Tengah, Jawa Tengah, Jawa bagian Timur, Jawa Timur, dan Papua memasuki awal musim hujan Oktober-November 2017,” tambah Prabowo seraya menyampaikan bahwa untuk wilayah Maluku bagian Tengah mengalami curah hujan rendah pada bulan Oktober-November.

Berdasarkan pantauan, menurut Deputi Bidang Klimatologi, untuk 3 dasarian bulan September untuk wilayah Sumatera bagian Utara, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua memilki curah hujan 50-100 mm/hari, kondisi ini kebalikan dengan Pulau Jawa yang memiliki curah hujan 40-45 mm per 10 hari.

Prabowo menjelaskan untuk wilayah Jabodetabek sendiri awal musim hujan di mulai pada Oktober yang dimulai dari Jabodetabek bagian Selatan, Tengah, dan Jabodetabek bagian Utara.

“Sementara untuk kondisi ENSO (El-Nino Southern Oscillation) netral dengan indeks ENSO =-0.2, tidak El-nino maupun tidak La-Nina sehingga tidak memmpengaruhi penambahan dan pengurangan uap air. Untuk Suhu Muka Laut di wilayah Pasifik Timur sendiri dingin, kondisi menandakan adanya anomali negatif sehingga mengakibatkan wilayah Indonesia mendapatkan tambahan supply uap air untuk pembentukan dan pertumbuhan awan hujan,” kata Prabowo.

Menjawab beberapa pertanyaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat kapan wilayah Indonesia masuk awal musim hujan dan mengalami puncak musim hujan?, Prabowo menuturkan bahwa Awal Musim Hujan 2017/18 di sebagian besar daerah diprakirakan mulai akhir Oktober – November 2017 sebanyak 260 ZOM (76.0%) dan mengalami puncak musim hujan pada Desember 2017-Februari 2018.

Sementara Deputi Bidang Meteorologi, Dr. Yunus Subagyo Swarinoto, M.Si. menekankan masyarakat perlu mewaspadai daerah-daerah yang rentan bencana, terutama saat massa transisi, seperti angin kencang, puting beliung, dan gelombang tinggi. “Untuk wilayah Pulau Jawa, massa transisi terjadi pada bulan September. Pada puncak musim hujan, masyarakat perlu mewaspadai banjir, tanah longsor, genangan, angin kencang, gelombang tinggi, pohon tumbang, mengingat peluang curah hujan ekstrem meningkat pada puncak musim hujan,” ucap Yunus.

Seminggu kedepan, lanjut Yunus, potensi hujan lebat terjadi di Aceh, Riau, Sumbar, Bengkulu, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Kaltara, Sulteng, Sulut, Malut , dan Papua. Sementara Tinggi Gelombang 2.5-4.0 meter (Rough Sea) berpeluang terjadi pada periode 07-12 September 2017 di Perairan barat Kep. Simeulue – Kep. Mentawai, Perairan barat Enggano, Samudra Hindia barat Sumatera hingga selatan Jawa.

“Masyarakat perlu mewaspadai implikasi dan dampak Awal Musim Hujan 2017/2018 terhadap berbagai sektor antara lain: meningkatnya potensi luas tanam sawah, meningkatkan frekuensi tanam, ketersediaan air untuk pertanian dan waduk. Sedangkan beberapa dampak negatifnya antara lain: peningkatan potensi banjir, longsor dan tingginya gelombang mengganggu kegiatan nelayan,” saran Yunus akhiri keterangan pers. (HUMAS BMKG/EN)

Nusantara Terbaru