Optimalkan Serapan Garam Rakyat, Kemenristek Kembangkan Teknologi Garam Terintegrasi
Presiden Joko Widodo memerintahkan jajarannya untuk mengintensifkan penggunaan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas garam rakyat agar bisa diserap oleh industri. Terkait arahan tersebut, saat ini Kemenristek/BRIN (Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset Nasional) tengah mengembangkan teknologi garam terintegrasi.
“Pabrik garam yang terintegrasi langsung dengan lahannya, sehingga para petani garam nantinya bisa menjual hasil garam rakyatnya yang NaCl-nya masih di bawah 90 persen kepada pabrik,” kata Menristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro menjelaskan kepada wartawan usai mengikuti Rapat Terbatas melalui video konferensi mengenai Percepatan Penyerapan Garam Rakyat, Senin (5/10), di Jakarta.
Di pabrik tersebut, lanjutnya, kualitas garam rakyat tersebut akan ditingkatkan menjadi garam industri dengan NaCl di atas 97 persen melalui teknologi washing plant serta instalasi garam industri yang dikembangkan oleh BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi).
Dengan washing plant diharapkan kualitas NaCl garam rakyat yang di bawah 90 persen dapat dinaikkan menjadi 92 persen. “BPPT sudah mengembangkan teknologi untuk meningkatkan kapasitas atau kualitas NaCl tersebut, yaitu dalam bentuk pabrik garam atau kita sebut instalasi garam industri di mana kualitas NaCl-nya akan naik lagi dari 92 persen menjadi 98 persen,” kata Menristek.
Dengan keberadaan garam industri terintegrasi, ditambahkan Bambang, harga garam rakyat akan menjadi naik karena sudah sesuai dengan standar industri, yaitu NaCl di atas 97 persen.
Saat ini sudah ada satu pabrik garam terintegrasi yang selesai dan sudah beroperasi di Gresik, Jawa Timur. “Arahan Bapak Presiden tadi agar segera ditambah, terutama untuk 1-2 pabrik paling tidak di tahun depan, dan tentunya akan bertambah lagi,” kata Bambang.
Satu unit konsep garam industri terintegrasi ini, lanjutnya, dapat menghasilkan 40 ribu ton garam per tahun. “Kalau kita bisa menambah 14-15 unit yang serupa, maka kita bisa menghasilkan kira-kira sampai 600-700 ribu ton (garam) per tahun. Kami optimis dengan penggunaan teknologi yang investasinya per pabrik sekitar Rp40 miliar maka kita nantinya bisa substitusi impor dan mandiri untuk kebutuhan garam aneka pangan maupun garam kebutuhan pertambangan,” kata Bambang Brodjonegoro.
Sedangkan untuk kebutuhan chlor alkali plant (CAP) untuk industri kaca, disampaikan Menristek, pihaknya akan memulai pengembangan pengolahan garam dari PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap).
“Kita akan mulai dulu dengan PLTU di Banten dengan pilot (project) yang kapasitasnya 100 ribu ton per tahun. Kebutuhan impornya memang besar, sekitar 2,3 juta ton per tahun,” kata Menristek/Kepala BRIN.
Jika pilot project tersebut berhasil, ujarnya, akan dilakukan penambahan kapasitas dan penambahan PLTU-PLTU lain yang air buangannya nanti tidak diteruskan ke laut tetapi diolah menjadi garam untuk keperluan industri CAP tersebut. (MAY/UN)