Paket Kebijakan Ekonomi dan Katalis Investasi
Presiden Joko Widodo telah meluncurkan Paket Kebijakan Jilid II untuk mengkatrol perekonomian di Indonesia. Terdapat lima poin pokok kebijakan besar tersebut. Antara lain pengurusan izin investasi di kawasan industri menjadi hanya tiga jam; pemangkasan tahap perizinan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dari 14 tahap menjadi enam tahap; Pengurusan tax allowance diselesaikan maksimal 25 hari; penerbitan PP 69 tahun 2015 yang membebaskan impor alat angkutan kereta api, galangan kapal, pesawat, termasuk suku cadangnya dari pajak pertambahan nilai (PPN); serta insentif pengurangan pajak bunga deposito terutama untuk eksporter yang memiliki kewajiban laporan dana hasil ekspor (DHE) kepada Bank Indonesia (BI).
Paket kebijakan Jilid II tersebut merupakan langkah inovatif yang solutif untuk merombak akselerasi dalam birokrasi. Meski nampak radikal, apabila dibandingkan dengan kondisi sebelumnya, Paket Kebijakan ini justru diharapkan mendorong perubahan. Misalnya, terkait perizinan, sebelumnya pengurusan izin investasi untuk badan usaha membutuhkan waktu delapan hari, belum lagi ditambah dengan perizinan lain memerlukan 526 hari. Sementara perizinan dalam sektor kehutanan, pengurusan izin pinjam pakai dan izin pelepasan kawasan hutan selama ini memakan waktu 2-4 tahun. Selain itu, terkait pengurusan insentif investasi seperti tax allowance atau keringanan pembayaran pajak sebelumnya mencapai maksimal 28 hari.
Di satu sisi, pembebasan PPN terhadap impor sejumlah barang tersebut juga menjadi penyambung nafas bagi industri yang akan melakukan importasi. Sebab, sebelumnya kebijakan PPN pada sejumlah produk impor dinilai industri memicu peningkatan cost atau biaya produksi industri alat transportasi di Tanah Air.
Begitu pula insentif terhadap DHE juga diharapkan efektif mengerek awareness dari eksporter untuk comply terhadap kewajiban melaporkan hasil ekspornya, syukur-syukur menempatkan valuta asing hasil ekspornya di bank-bank nasional. Insentif terhadap DHE tersebut tak tanggung-tanggung. Apabila dikomparasikan dengan kondisi sebelumnya, pajak bunga deposito dollar AS jangka satu bulan bisa mencapai 20 persen. Sebaliknya pascakebijakan ini, tingkat pajak bunga deposito dollar AS menjadi hanya 10 persen.
Kondisi Aliran Modal Asing
Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara yang menerima ekses negatif kondisi perekonomian dunia yang tengah lesu darah. Ekonomi Tiongkok yang berdarah-darah memicu lemahnya permintaan pasar terhadap produk ekspor dari Indonesia khususnya komoditas. Belum lagi, sikap Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat, Janet Yellen yang menarik ulur keputusan kenaikan suku bunga acuan, memicu para investor asing untuk berbondong-bondong menarik dananya keluar. Kondisi kelesuan ekonomi ini semakin diperparah oleh gairah para spekulan yang berebut mengambil untung di tengah volatilitas pasar.
Volatilitas pasar ini nampak secara benderang pada jumlah capital outflow atau arus keluar dana asing di pasar modal yang tercermin dari net sell atau jual bersih asing mencapai lebih dari Rp13 triliun sejak awal tahun ini. Hampir seluruh indeks saham di pasar modal sepanjang tahun ini berguguran. Misalnya merujuk konsolidasi data Bursa Efek Indonesia (BEI) per 30 September 2015, indeks harga saham gabungan (IHSG) yang minus 19,19 persen year to date (ytd). Indeks LQ45 atau kumpulan saham terlikuid di lantai bursa minus 21,55 persen ytd. Saham-saham di sektor industri dasar dan kimia adalah yang paling terpukul atas aksi jual investor pasar modal, sehingga membukukan return minus 37,49 persen ytd. Diikuti dengan indeks saham-saham sektor pertambangan minus 32,82 persen, dan saham pada sektor agrikultur minus 30,51 persen ytd.
Namun demikian, kondisi volatilitas di pasar modal tersebut agaknya perlu disikapi dengan bijak. Sebab, data terbaru Bank Indoesia (BI) cukup memberikan optimisme tersendiri. Hal ini bisa terlihat dari perkembangan posisi investasi internasional (PII) Indonesia pada kuartal kedua 2015 yang mencatat penurunan net kewajiban berdampak positif pada perbaikan beberapa indikator sustainabilitas eksternal. Net PII Indonesia pada periode tersebut mencapai 419,13 miliar dollar AS, atau menurun dari kuartal pertama 2015 (quarter to quarter/qtq) sebesar 429,05 miliar dollar AS.
Pada sisi solvabilitas, indikator yang perlu digarisbawahi adalah porsi sumber pembiayaan berjangka panjang yang mengalami perbaikan. Porsi sumber pembiayaan berjangka panjang, yang tercermin dari rasio net kewajiban investasi langsung terhadap PDB tersebut mencatat kenaikan seiring dengan masih besarnya aliran masuk modal investasi langsung. Net kewajiban instrumen berjangka panjang tersebut mencapai 546,7 miliar dollar AS. Sebaliknya, instrumen berjangka pendek mencatat net aset sebesar 127,7 miliar dollar AS.
Katalis Investasi
Adanya Paket Kebijakan jilid II dari Presiden Joko Widodo tersebut seolah menjadi secercah harapan bagi Tanah Air untuk memberikan daya ungkit yang besar bagi perekonomian di tanah air. Sebab, stimulan-stimulan dalam Paket Kebijakan tersebut lebih fokus dan riil untuk mengatasi problematika investasi yang ada saat ini. Setidaknya, minimal, kebijakan ini mampu menarik uang-uang yang berasal dari Indonesia namun diparkir di luar negeri.
Saat ini paling tidak uang korporasi Indonesia yang diolah di luar negeri dan enggan masuk kembali ke Indonesia diperkirakan mencapai Rp3.600 triliun, atau hampir dua kali lipat dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) Indonesia pada 2016 yang dipatok Rp 1.848,1 triliun. Apabila dana perusahaan Indonesia yang diparkir di luar negeri tersebut masuk 10 persen saja, maka bisa menjadi pelumas yang murah bagi pasar valas Indonesia, ketimbang menyedot pundi-pundi devisa Tanah Air melalui intervensi yang dilakukan oleh otoritas moneter atau Bank Indonesia (BI).
Merujuk data BI, kondisi foreign reserves atau cadangan devisa per periode Agustus mencapai 105,346 miliar dollar AS, atau turun lebih dari 2 miliar dollar AS dibandingkan Juli 2015 (month to month/mtm) sebesar 107,553 miliar dollar AS. Penurunan tersebut diperuntukkan menjaga pita volatilitas agar tidak terlampau lebar. Meski demikian, kondisi likuiditas yang mengalami penurunan ini masih ditunjang dengan indikator kecukupan cadangan devisa terhadap impor yang meningkat dan mengalami perbaikan.
Kebijakan ini juga diperkuat dengan apresiasi lembaga rating internasional seperti Standard and Poors (S&P) yang menyematkan rating BB+ dengan outlook positif dari yang sebelumnya stabil untuk Indonesia, pada rilis terbarunya pada akhir September 2015. Kondisi Indonesia sejatinya, menurut S&P, jauh lebih baik ketimbang Turki yang mendapatkan rating BB+ namun dengan outlook negatif. Yang membuat S&P yakin terhadap kondisi perekonomian di Indonesia adalah terjadi peningkatan kebijakan-kebijakan yang ramah investor di Indonesia. Sebaliknya, ada tren kebijakan yang cenderung memburuk di Turki. Bahkan, menurut S&P, Turki saat ini tengah memiliki utang luar negeri yang tinggi dan kebutuhan pembiayaan yang cukup besar. Hal ini membuat perekonomian Turki lebih sensitif terhadap peralihan sentimen investor ketimbang di Indonesia.
Apalagi, indikator perekonomian riil di dalam negeri baru-baru ini juga menunjukkan perbaikan. Badan Pusat Statistik (BPS) pada Oktober 2015 merilis data terbarunya. Yakni tekanan harga yang justru mengalami deflasi 0,05 persen pada September 2015, dengan indeks harga konsumen (IHK) sebesar 121,67. Deflasi tersebut terjadi karena adanya penurunan harga yang ditunjukkan oleh turunnya beberapa indeks kelompok pengeluaran antara lain kelompok bahan makanan 1,07 persen, kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan 0,40 persen. Birunya rapor Indonesia menjelang penghujung kuartal terakhir tahun ini diharapkan mampu menyerap kembali likuiditas global yang sempat menguap.
*) Penulis adalah staf di Sekretariat Kabinet; tengah menempuh Magister Manajemen di Universitas Paramadina; penerima Medco Energy-Paramadina Fellowship. Tulisan ini adalah opini pribadi dan tidak merepresentasikan kebijakan tempat penulis bekerja.