Pancasila, Fondasi Rumah Besar INDONESIA
Pada tanggal 1 Juni 2017 ini, peringatan hari kelahiran Pancasila dilaksanakan, dengan mengacu pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila. Penetapan Hari lahir Pancasila berdasarkan pertimbangan bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Republik Indonesia harus diketahui asal usulnya oleh bangsa Indonesia, dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi, sehingga kelestarian dan kelanggengan Pancasila dapat senantiasa dijaga dan dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebagai anak bangsa, kita perlu menanamkan dalam diri sendiri bahwa kita telah membuat kesepakatan bahwa Pancasila sebagai dasar keberadaan negara kita, Republik Indonesia.
Peringatan hari lahir Pancasila ini hasil dari serangkaian rentetan peristiwa sejarah dari tanggal 29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945. Dimulai dengan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dipimpin oleh dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat pada sidang yang pertama pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 dengan agenda sidang membahas tentang dasar negara Indonesia merdeka.Kemudian untuk pertama kalinya Pancasila sebagai dasar negara diperkenalkan oleh Ir. Soekarno di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 1 Juni 1945, yang pada waktu Ir. Soekarno sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Sejak pada tanggal 1 Juni 1945tersebut, rumusan Pancasila mengalami perkembangan hingga menghasilkan naskah Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan dan disepakati menjadi rumusan final pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Rumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni 1945 yang dipidatokan oleh Ir. Soekarno, rumusan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 dan rumusan final tanggal 18 Agustus 1945 merupakan satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai Dasar Negara. Peristiwa rumusan final pada tanggal 18 Agustus telah ditetapkan sebagai Hari Konstitusi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2008, sehingga untuk melengkapi sejarah ketatanegaraan Indonesia perlu ditetapkan hari lahir Pancasila
Pancasila sebagai lemperekat bangsa Indonesia yang beragam. Semua tahu bahwa negara sejak negeri berdiri telah memiliki kekayaan terdiri dari suku bangsa, bahasa, adat istiadat dan agama yang berbeda-beda. Penduduk Indonesia tinggal tersebar di gugusan di pulau-pulau Nusantara memiliki cara hidup yang berbeda. Mereka tinggalPulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua atau pulau pulau lebih kecil lainnya, yang jumlah lebih dari17.000 buah, diantaranya berjumlah13.466 buah pulau telah didaftarkan ke Perserikatan Bangsa Bangsa dalam sidang United Nation Conference on Standardization of Geographical Names (UNCSGN) ke-10, 2012 di New York, AS (Kompas.com, 13/05/2016).
Beragamnya bangsa ini tercermin dari penduduk didalamnya yang banyak diantaranya terjadi persilangan (intersection) dari suku, ras, bangsa, dan agama. Dalam satu pulau didiami tidak hanya satu etnis, suku atau agama tertentu. Penduduk satu pulau terdiri dari berbagai suku yang berbeda, seperti di Pulau jawa terdapat Suku Jawa, Sunda, Betawi, Banten, begitu pula agama dan warna kulit/ras.Dalam satu sukubangsa juga terdapat adat istiadat, budaya dan gaya atau style yang berbeda. Sepertidi daerah yang berdekatan,antara Yogyakarta dan Surakarta, suatu daerah yang hanya berjarak +/- 60 km. Kedua daerah ini memiliki gaya yang berbeda dalam budayanya. Misalnya dalampergelaran wayang kulit, terdapat gaya Solo (Surakarta) dan gayaNgayogyakarta (Yogyakarta). Wayang Kulit Gaya Yogyakarta atau Wayang Kulit gagrag Yogyakarta memiliki ciri bentuk, pola tatahan, dan sunggingan (pewarnaan), lakon wayang ( alur cerita), catur ( narasi/percakapan), karawitan ( gendhing, sulukan dan properti dalam panggung), berbeda dengan gagrak Surakarta.
Perbedaan itu memang terdapat di mana-mana. Apakah kita hendak memaksa menjadikan satu? Tentu tidak, karena akan melawan sunatullah, hukum Tuhan.Hampir tidak kita jumpai di dalam masyarakat di dunia ini adanya uniformitas mutlak. Sulit ditemuisuatu bangsa di dunia yang hanya mengikuti satu agama saja. Dinegara-negara arabtidak semua penganut Islam, terdapatpula penganutagama Nasrani. Begitu pula dinegara-negara Eropa pun banyak pengikut Islam. Di Indonesia, dalam satu suku bangsa pun juga didalamnya terdapat penganut agama yang berbeda. Di Suku Jawa, selain muslim juga terdapat komunitas pengikut Kristen seperti jemaat Gereja Jawa Wetan yang terdapat di Jombang, Kota Pesantren di Jawa Timur.Di Nusa Tenggara Timur terdapat juga kampung yang berpenduduk mayoritas muslim. Adalah hal yang biasa di Wilayah Kabupaten dan kecamatan terdapat pluralitas pemeluk agama. Jadi tidak hal yang aneh kondisi beragam ini di Indonesia.
Jadi, perbedaan adalah sunatullah. Yang mengikat adalah tenggang rasa, toleransi terhadap cara hidup dan kehendak untuk hidup bersama. Di masa Rosulullah Muhammad SAWhidup sudah ditemui kondisi beragam ini. Dalam komunitas kota Madinah saat itu terdapat penganut lslam, Yahudi, dan Nasrani. Beliau mengajarkan bagaimana hidup dalam masyarakat yang plural, seperti membuat kesepakatan untuk hidup berdampingan melalui perjanjian Hudaibiyah pada tahun 623 Masehi.Nabi mengadakan perjanjian dengan kaum Quraisy di Hudaibiyah di dekat Makkah. Dalam perjanjian tersebut nabi setuju untuk menghilangkan beberapa kata untuk dapat terjadinya kesepakatan untuk hidup berdampingan, dengan kaum yang berbeda keyakinan tersebut. Pelajaran dari Nabi dalam perjanjian Hudaibiyah, yang penuh dengan semangat rahmat untuk orang lain (rahmatan lil alamiin) tersebut sepertinya juga terjadipada Peristiwa kesepakatan bangsa kita untuk hidup bersama sebagai bangsa melalui penetapan Pancasila sebagai dasar negara.
Kita harus tetap optimis terhadap keberlanjutan bangsa kita. Kita telah memiliki integralitas. Bangsa kita telah banyak dirajut oleh tali-tali pengikat, telah diikat oleh sejarah yang sama, yaitu pernah bersama menjadi korban penjajahan. Bangsa kita telah memiliki perasaan sejarah yang sama sebagai satu bangsa, yaitu membuat kesepakatan atau konsensus jauh sebelum peristiwa sidang BUPKI, yaitu sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Konsensus ini telah membentuk integrasi bangsa, berupa pengakuan bertumpah darah satu, berbangsa satu dan berbahasa satu, sebagai gerakan nasionalisme Indonesia di awal abad 20. Warga kita di seluruh pelosok tanah air memiliki media budaya untuk bergembira bersama ketika mendengarkan musik dangdut yang merakyat. Pertandiangan sepakbola telah menyatukan kita sebagai bangsa, yang nampak dari bersatunya bangsa kita tanpa memandang suku, ras dan agama mendukung Tim nasional sepak bola Indonesia menghadapi Thailand dan Vietnam dalam laga pertama final Piala AFF 2016. Dalam bidang lain kita lihat diberbagai daerah di Indonesia dari Sabang sampai Papua banyak dtemui kuliner seperti masakan padang, warung tegal, bubur Menado pecel lele dari lamongan.Semua budaya, kreasi, olah raga, kegiatan ekonomi tersebut memperkuat jalinan kita sebagai bangsa.
Pancasila sebagai dasar atau fondasi rumah besar bangsa Indonesia. Semua potensi bangsa dapat memperkaya isi muatan dalam Pancasila tersebut, dengan koridor lima Sila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Rumah tersebut sangat luas untuk dapat menampung segala potensi kekayaan bangsa dari ras, agama, suku dan golongan. Nilai-nilai dari agama-agama dapat masuk dalam rumah tersebut, khasanah seni budaya suku bangsa dapat dikembangkan menjadi kekayaan bangsa.Kekayaan budaya tersebut justru dapat menjadi potensi pariwisata untuk dipromosikan atau dilihat wisatawan asing. Apabila kita rajin mengisi rumah besar tersebut dengan hal-hal positif, dan dengan toleran menerima golongan lain berpartisipasi mengisi rumah besar Indonesia tersebut. Maka alangkah kayanya rumah kita, alangkah indahnya rumah kita, Indonesia.
Kita sudah integral sebagai bangsa. Bangunan integral dengan penguatan berbagai rajutan tersebut perlu di rawat. Semua pihak termasuk elit perlu menjaga kebhinekaan yang telah menjadi eka dan perlu memperkuat ikatan sebagai bangsa untuk semakin kokoh. Bukan sebaliknya membuka ikatan yang telah terjalin dengan baik tersebut dengan membuka kembali atau memperbedakan suku, agama, ras, dan antargolongan untuk kepentingan jangka pendek, seperti Pemilhan Kepada Daerah. Perlu mempertimbangkan dengan sungguh untuk kepentingan jangka pendek agar menghindari dari isu-isu golongan, agama, ras, secara langsung atau tidak langsung.
*) Penulis adalah Staf Sekretariat Kabinet RI